Bab 5: Hari pernikahan

"Sama siapa kamu akan menikah?" tanya Anneke.

"Anak dari teman ayah," jawab Daisha.

"Kalian sudah saling kenal lama?"

"Baru kemarin lusa aku mengenalnya. Teman ayah datang berkunjung dan langsung menentukan waktu pernikahan kami."

"APA?!" kaget Jahra dan Anneke.

"Jangan bilang kalau kamu dijodohkan," ucap Jahra.

Daisha menghela napas. "Ya."

Jahra dan Anneke terdiam sedangkan Fahim hanya menjadi penyimak.

"Lalu, Bagaimana dengan pria yang dijodohkan denganmu? Apakah dia menerima juga perjodohan kalian?"

"Ya. Tadinya aku mau menolaknya karena dia memiliki kekasih, tapi begitu aku mau menjawab dia langsung menyela dan berkata kalau aku menerima pinangannya," jelas Disha.

"Kalau dia punya kekasih kenapa dia mau menikah denganmu? Apa dia pikir pernikahan ini cuma main-main? Bagaimana dengan kekasihnya nanti?" tanya geram Jahra.

"Entahlah, aku juga bingung. Ya sudah, aku pulang sekarang. Nanti ibu khawatir kalau aku diluar terlalu lama."

"Aku akan mengantarkan kamu pulang, Dish" ucap Fahim.

"Tidak usah, Kak. Biar Jahra pesankan aku taksi online," tolak Daisha.

"Aku akan mengantarmu pulang, sekalian ingin bertemu ayah dan ibu," kekeh Fahim.

"Baiklah."

Daisha dan Fahim pun pamit pulang. Mobil yang ditumpangi mereka membelah jalanan beraspal tanpa hambatan. Hening, tidak ada dari mereka membuka suara, hingga Fahim terlebih dahulu memecah keheningan.

"Dish," panggil Fahim.

"Ya, Kak."

"Kalau seandainya ada lelaki yang benar-benar serius mau nikahin kamu, Bagaimana?" tanya Fahim.

Daisha tertawa sumbang. "Hahaha... Mana ada lelaki yang mau nikah sama gadis buta kayak aku. Kakak ini ada-ada saja."

Fahim membatin, 'aku, Dish. Pria itu.'

Tak lama mereka pun sampai di depan halaman rumah. Mesin mobil yang berhenti membuat Disha bertanya, " Apakah kita sudah sampai?"

"Ya," jawab Fahim

Ia turun dari mobil terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk Daisha.

"Ayok!" ajak Fahim.

Daisha turun, lalu berjalan menggunakan tongkatnya.

"Assalamu'alaikum," ucap Disha setelah mengetuk pintu.

"Wa'alaikumussalam." Bu Fatimah membuka pintu, dan beliau terkejut. "Nak, Fahim. Kapan datang?"

"Seminggu yang lalu, Bu" jawab Fahim setelah mencium punggung tangan bu Fatimah.

"Ayok! Mari masuk, Nak."

"Tidak usah, Bu. Saya mau langsung pamit pulang."

"Loh, katanya mau ketemu sama ibu dan ayah," sela Disha.

"Lain waktu aku mampir lagi, Dish."

"Kak, jangan lupa ya minggu depan datang."

"Insya Allah. Kalau begitu saya pamit dulu ya, Bu."

Fahim langsung pergi setelah mengucapkan salam kembali kepada tuan rumah.

.

.

.

.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hari pernikahan Dehan dan Daisha sudah tiba. Kerabat dekat dari kedua belah pihak pun sudah datang dan berkumpul di kediaman ayah Gafi. Prosesi ijab qobul pun akan segera dilaksanakan.

Dengan mantap, Dehan duduk di depan penghulu. Menjabat tangan ayah Gafi selaku wali nikah Daisha, untuk mengucapkan kalimat sakral. Tak lupa ditemani dua orang saksi di kedua sisi.

"Saya terima nikah dan kawinnya Daisha Zain Syafrina dengan seperangkat alat shalat dan seratus gram emas dibayar tunai."

SAH...

SAH...

Kini Daisha dan Dehan resmi sudah menjadi pasangan halal.

"Nak Dehan, istrimu ada dibalik tirai itu. Ayok jemput dia," ujar ayah Gafi.

Dehan pun menghampiri tirai tersebut. Di kedua sisi Jahra dan Anneke sudah siap membuka kain yang menjadi penghalang pasangan pengantin itu. Sedikit demi sedikit kain terbuka dan...

Dehan di buat terkesima oleh sosok wanita anggun di depannya.

Kebaya dan kerudung berwarna putih juga bawahan kain batik, membalut sempurna tubuh Daisha. Ditambah dengan riasan wajah yang soft dan tidak terlalu menor, semakin menambah kecantikannya.

Dehan mengulurkan tangan, dengan bantuan Jahra dan Anneke Daisha menyambutnya. Mereka berjalan beriringan menuju kursi pengantin.

"Sungguh pasangan yang serasi," ucap Anneke kagum.

"Iya."

Pandangan Anneke kesana-kemari mencari sosok seseorang.

"Ra, dari tadi aku gak lihat kak Fahim? Apa dia gak datang?" Anneke bermonolog.

"Ada apa kamu mencari aku?"

Anneke terperanjat, ketika Fahim muncul dengan tiba-tiba.

"Astaghfirullah Kak! Ngagetin aja! aku kira Kakak gak bakal datang."

"Mana mungkin aku tidak datang dihari bahagia Disha. Ya, walaupun hatiku sakit."

"Apa Kak? Barusan Kakak bicara apa?"

"Tidak ada! Ayok kita hampiri Disha untuk mengucapkan selamat."

Anneke, Fahim dan Jahra berjalan menghampiri Daisha dan Dehan.

"Selamat ya Disha, Kak Dehan. Moga pernikahan kalian langgeng dan bahagia selalu," ucap Anneke dan Jahra.

Tak terkecuali Fahim yang juga mengucapkan selamat dan menjabat tangan Dehan sebagai perkenalan.

"Terima kasih, kalian sudah mau menyempatkan waktu untuk datang."

"Oh ya, sekalian aku mau pamit kalau nanti malam aku harus kembali ke Jepang," ucap Fahim.

"Ko sudah mau balik lagi?" tanya Anneke.

"Ada pekerjaan yang mengharuskan aku untuk segera pulang. Lain waktu aku akan berkunjung kembali."

"Maaf Kak, kita tidak bisa mengantar sampai bandara," ujar Jahra.

"Tidak apa, aku mengerti. Lagi pula aku bukan anak kecil," canda Fahim.

Sebelum para sahabat Disha dan Fahim pulang, tak lupa mereka menyempatkan untuk mengambilnya beberapa foto bersama pasangan pengantin tersebut.

Kruk... Kruk...

"Mas lapar?" tanya Disha yang mendengar suara perut Dehan.

"Iya. Tadi pagi aku belum sempat sarapan."

"Ya sudah, Mas makan dulu gih."

"Kamu mau makan juga? Biar aku ambil sekalian," tawar Dehan.

"Aku belum lapar."

"Baiklah, aku makan duluan."

Dehan pun beranjak dari duduknya untuk mengambil makan, lalu ia duduk di meja tamu dan makan disana.

"Selamat ya bro."

Tapi si empu tak menggubris dan malah asyik menghabiskan makanannya.

"Han, kita pulang duluan ya bareng bokap lo," ucap Kamal.

"Ehm...."

"Lo kenapa sih, Han?"

Namun, si empu masih enggan untuk bicara. Tak lama handphone Dehan berdering, ia merogoh saku jas dalamnya. Dilayar tertera nama Calista sang pujaan hati, membuat Dehan mengulas senyum.

"Lo mau ngapain?" tanya Kamal.

"Angkat telepon dari Calista."

"Lo sudah gila! Ini hari pernikahan lo, Han. Jangan lo sampe nyakitin istri lo hanya karena telepon dari Calista," tegur Kamal.

"Berisik!"

"Apa lo gak ngasih tahu dia kalau lo mau nikah?"

"Tidak! Untuk apa gue ngasih tahu dia, lagian gue gak bakal ninggalin dia walaupun gue dah nikah. Gue lakuin ini hanya untuk memenuhi keinginan bokap, dan dalam beberapa bulan gue bakal ceraikan Daisha."

"Brengsek lo, Han!" bentak Kamal. Beruntung suara kerasnya tak ada yang mendengar karena meja yang di tempati mereka cukup jauh.

"Terserah lo mau bilang apa." Dehan berdiri dan meninggalkan kedua sahabatnya.

Ketika Kamal ikut berdiri dan bermaksud untuk menyusul Dehan, Ilham menahan bahunya. "Sudah, Mal. Nanti kita coba bicara lagi dengan Dehan."

"Tapi...."

"Mal, gue mohon. Jangan sampai momen hari ini rusak hanya karena gara-gara permasalahan Dehan," pinta Ilham.

Terpopuler

Comments

Hanum Anindya

Hanum Anindya

degan benar benar tidak lantas melakukan itu lada daisha. daisha kasihan harus menikah dengan laki laki seperti dehan

2023-02-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!