Disha tersenyum miris, mendengar pertanyaan Dehan yang memiliki kekasih dan terpaksa menikah dengan gadis buta seperti dirinya. Disha sudah bisa menebak kalau Dehan kecewa dengannya.
"Jadi aku harus bagaimana? Apa aku harus menerima pinangan ini atau tidak?" tanya Disha.
"Kenapa kamu bertanya padaku? Itukan keputusanmu."
"Baiklah, maka akan aku katakan kepada papahmu kalau aku menolak pinangannya. Karena aku tahu kalau kamu kecewa dengan aku yang buta ini. Aku sadar akan hal itu. Dan aku minta maaf atas perjodohan ini," jelas Disha.
Dehan di buat melongo mendengar penjelasan Disha. Setegar itukah gadis di depannya ini.
"Bolehkah aku bertanya?"
"Silakan."
"Apa kamu buta sejak lahir?"
"Tidak, aku buta karena sebuah kecelakaan yang menimpaku dan juga almarhum adikku," ucap Disha.
"Kamu punya adik?"
"Ya, namanya Luthfi Rafisqy."
Disela perbincangan Disha dam Dehan, Bu Fatimah datang.
"Disha, nak Dehan, ayok makan dulu! Ayah sama tuan Usman sudah menunggu di meja makan."
"Iya, Bu. Sebentar lagi kami menyusul."
Disha berdiri diikuti dengan Dehan.
"Wah, jadi merepotkan," ucap tuan Usman.
"Tidak merepotkan kok, Pak. Ayok silakan dicicipi, maaf lauknya sederhana."
Bu Fatimah mengambilkan nasi untuk tuan Usman dan Dehan, kemudian untuk ayah Gafi. Sedangkan Disha mengambil nasi sendiri. Dehan yang duduk di depan Disha, mengamati setiap pergerakan wanita di depannya.
"Walaupun kamu buta, tapi kamu cukup mandiri juga," celetuk Dehan.
Disha tersenyum mendengar penuturan Dehan.
"Dari kecil Disha wanita yang mandiri, kebutaan yang dialaminya sekarang tak membuat Disha bergantung pada orang lain sepenuhnya," tutur ibu.
"Ehem," dehem tuan Usman.
Perkataan Dehan mengenai Disha membuat suasana makan menjadi canggung. Selesai makan Ayah Gafi dan tuan Usman duduk di bangku panjang teras depan, sedangkan Disha bersama ibu Fatimah membereskan meja makan.
"Usman, apa kamu yakin akan menjodohkan Dehan dengan anakku?" tanya ayah Gafi.
"Aku sangat yakin, karena menurut aku hanya Disha yang bisa menjadi pendamping Dehan. Dan aku minta maaf atas ucapan Dehan tadi."
Sejenak mereka pun terdiam.
"Lebih baik kita kedalam dan mendengar keputusan Disha," ucap ayah Gafi.
Kini Disha duduk diantara ayah Gafi dan ibu Fatimah. Tangannya di atas paha, memegang erat baju gamis yang dikenakannya. Terdengar hembusan napas dari mulut wanita tersebut, dan dengan mengucapkan basmalah dalam hati ia pun mulai membuka mulut.
"Paman Usman, saya me...."
"Menerima pinangannya. Bukan begitukan, Disha?" sela Dehan.
Disha mengerngit, bukan itu sebenarnya yang ingin ia katakan.
"Diam kamu! Biarkan Disha yang bicara," hardik tuan Usman.
"Saya...."
Disha terdiam, keputusan yang sudah diambilnya membuat ia ragu dengan apa yang dikatakan Dehan barusan. Bagaimana mungkin pria tersebut bisa berkata seperti itu, lalu bagaimana dengan kekasihnya?.
"Jadi apa keputusanmu, Nak? " tanya lembut tuan Usman.
"Saya... Menerima pinangan Paman," ucap ragu Disha.
"Alhamdulillah."
Tuan Usman begitu senang, tapi tidak dengan ayah Gafi dan juga ibu Fatimah. Mereka khawatir dengan rumah tangga yang akan dijalani Disha nanti.
"Baiklah, pernikahannya akan kita laksanakan dua minggu lagi. Apa kalian setuju?"
"Apa itu tidak terlalu cepat, Usman?"
"Lebih cepat, lebih baik bukan."
"Paman bolehkah aku meminta satu hal?" tanya Disha.
"Apa itu?"
"Disha ingin pernikahan ini hanya dihadiri kebarat terdekat saja dengan sederhana," pinta Disha.
"Kenapa?"
"Disha tidak ingin mempermalukan Paman karena memilih gadis buta untuk menjadi menantu."
"Jangan berkata seperti itu. Kita akan mencarikan donor mata untukmu, dan lagi pula Paman tidak malu dengan keadaanmu, semua orang punya kekurangan. Tapi Paman tetap menghormati apa yang menjadi keinginan mu."
Hari pun beranjak malam, tuan Usman dan Dehan pamit pulang. Mereka harus mempersiapkan mahar untuk pernikahan juga beberapa barang seserahan.
Sedangkan Disha masih bergelayut dengan pikirannya yang terus berkecamuk. Ia tak ingin menjadi penghalang kebahagiaan Dehan dan kekasihnya, tapi disaat ia akan memutuskan Dehan justru menyela perkataan Disha.
Ada apa sebenarnya dengan Dehan?
🦋🦋🦋
"Kamal kau sudah datang?" tanya Dehan hendak menuruni tangga.
"Ini sudah jam berapa? sebentar lagi kita harus menghadiri meeting dengan klien dari Jerman," omel Kamal.
"Ayok kita berangkat sekarang!"
Dehan bangun kesiangan, karena merasa lelah setelah pulang dari kediaman Disha. Hingga ia lupa dengan meeting yang dijadwalkan pagi ini. Beruntung Kamal si asisten sekaligus sabahat Dehan selalu mengingatkan nya.
Mereka pun sampai di tempat tujuan. Sebuah restoran mewah dengan interior ala Eropa menjadi pilihan tempat dimana Dehan dan kliennya melakukan meeting.
"Maaf saya terlambat datang," ucap Dehan.
"Tidak apa, saya juga baru datang."
Dehan dan Kamal pun duduk, mereka terlihat serius dengan pembicaraan kerja sama yang akan dilakukan kedua belah pihak. Dua jam sudah berlalu dan sebuah kesepakatan pun terjadi. Beberapa kertas surat kontrak ditandatangani oleh kedua pihak perusahaan tersebut.
"Semoga kerja sama ini berjalan lancar, dan saya ucapkan terima kasih."
"Sama-sama. Kalau begitu saya harus pergi sekarang."
Klien Dehan berlalu meninggalkan restoran terlebih dahulu, tak berselang lama Dehan dan Kamal juga meninggalkan tempat tersebut. Sesampai diparkiran Dehan meminta Kamal untuk mengantarnya ke toko perhiasan.
"Untuk apa kita kesana?" tanya Kamal.
"Membeli mahar pernikahan."
Ciitt...
Ban mobil yang bersentuhan dengan aspal, mendadak berhenti, daan kening Dehan membentur jok depan mobil.
"AWW ... Lo, bisa nyetir gak sih?!" bentak Dehan.
"Lo mau nikah? sama Calista?"
"Bukan!"
Kamal mengernyit. " Terus sama siapa?"
"Panjang ceritanya, cepat anter dulu gue kesana. Sebelum bokap marah."
Kamal pun kembali melajukan mobilnya menuju toko perhiasan. Sesampainya disana Dehan dibuat bingung dengan ukuran cincin kawin untuk Disha.
"Tolong bungkus ini saja," pinta Dehan.
"Baik, Tuan."
Satu set perhiasan mahal di beli Dehan dengan sepasang cincin kawin, tanpa peduli cincin yang dibelinya cukup atau tidak dipakai Disha. Ketika Dehan beranjak dari duduknya, dengan tidak sengaja ia bertemu Calista.
"Hay Sayang, sedang apa kamu disini?" tanya Calista.
"Aku sedang menemani Kamal membeli perhiasan untuk kekasihnya," jawab asal Dehan.
Kamal geleng-geleng kepala melihat Dehan berbohong pada Calista. Tanpa ingin berbicara lebih lama lagi, ia segera pergi meninggalkan Calista, membuat si empu merasa heran. Dering handphone di saku jasnya berbunyi. Terlihat sebuah pesan yang dikirim Calista membuat Dehan tersenyum setelah membacanya.
"Berhenti disini!" pinta Dehan.
"Lo mau kemana lagi?"
"Ada urusan sebentar," jawab Dehan.
Kamal memutar malas bola matanya. Ia sudah tahu kalau Dehan akan bertemu dengan Calista, dan ia pun harus turun dari mobil juga kembali ke kantor sendiri. Aplikasi taksi online menjadi pilihan Kamal.
"Inget! Lo jangan lama-lama. Masih ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani, gue gak mau kalau harus lembur lagi," ucap Kamal.
"Cerewet!"
Kamal turun dari mobil dan menunggu taksi online pesanannya. Sedangkan Dehan langsung pergi meninggalkan si asisten di pinggir jalan. Beruntung tak lama taksi online datang menjemput Kamal.
Dehan kembali ke toko perhiasan tadi dan menjemput kekasih tercintanya. Calista tersenyum manis begitu melihat mobil yang di kendarai Dehan datang dan berhenti di depannya. Ia membuka pintu dan langsung masuk ke dalam.
"Sekarang kita kemana?" tanya Dehan.
"Antar aku pulang ke apartemenku saja."
Kembali mesin mobil Dehan nyalakan. Melaju membelah jalanan beraspal. Waktu yang ditempuh menuju apartemen Calista sekitar 30 menit. Jalanan cukup senggang memudahkan Dehan untuk cepat sampai di tempat tujuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Astuty Nuraeni
kok Dehan mau sih? hmm, jangan jagannn???
2023-02-19
0
👑Ria_rr🍁
lalu apa yg terjadi kk, Iih kenapa kgak ada chapter baru
2023-01-23
0
Hanum Anindya
kenapa kamu menerima lamaran degan, Disha
2023-01-23
0