...Tuhan memberikan cobaan padamu bukan untuk melemahkan tapi memperkuat rasa sabar dan mentalmu....
Liza semakin mengeratkan jaket yang Ia kenakan sekarang. Hujan mulai mereda dan hanya gerimis kecil. Liza menatap ke arah pria asing yang kini menyalakan sepeda motornya.
"Ayo naik, biar saya antar pulang. Tidak baik bila wanita pulang malam-malam sendirian," ucap Fariz menoleh ke arah Liza yang bergeming.
Liza menatap pria itu sekilas dan kembali menundukkan pandangannya. Ia benar-benar bingung apa harus ikut pria asing itu atau pulang jalan kaki saja.
"Ayo naik, jangan terlalu banyak berpikir. Bisa saja orang tuamu sangat khawatir karna kau belum pulang." Fariz kembali melontarkan ucapannya membuat Liza mengerjapkan matanya berkali-kali.
Fariz menghela napas berat melihat wanita itu tidak bergerak sama sekali mendekat padanya. Andai boleh, sudah Ia gendong wanita itu dan mendudukkannya di atas jok motor. Satu langkah kaki Liza melangkah mendekat pada Fariz yang terus menatap wanita itu.
Liza mulai menaiki motor tersebut dan memberikan jarak agar tidak terlalu merapat pada pria tersebut.
"Sudah siap?" tanya Fariz.
"Iya..." cicit Liza hampir tidak terdengar.
Fariz mulai menjalankan motor beat birunya. Sesekali Ia melirik dari kaca spion melihat Liza yang tampak memegangi kain penutup wajahnya agar tidak tertiup angin dan berakhir tersingkap.
"Rumah kau di mana? Karna saya tidak tahu jalan menuju ke rumah mu," ucap Fariz mengeraskan suaranya menembus kebisingan mesin motor yang terus melaju di jalan yang remang-remang cahaya.
"Lurus saja, nanti ada perempatan lalu belok kiri!"
Tidak terlalu lama kini motor beat biru yang keduanya tumpangi sudah sampai di depan rumah yang tampak sederhana dengan chat putih yang sudah terkelupas dari tembok rumah itu.
Liza segera turun dari motor tersebut dan bertepatan pintu rumah terbuka. Syarifah tersenyum menatap putrinya dan raut khawatir tercetak jelas di wajah wanita paruh baya itu.
"Kau ke mana saja, Nak? Bunda khawatir kau kenapa-kenapa," ucap Syarifah memeluk putrinya sekilas.
"Tadi aku terjebak hujan jadi berteduh di pos ronda, Bun," balas Liza dan Syarifah mengangguk paham.
Tatapan wanita paruh baya itu beralih menatap ke arah pria yang sedari tadi diam memperhatikan kedua wanita beda usia itu mengobrol.
Syarifah menyikut lengan Liza yang langsung menoleh ke arah sang bunda.
"Dia siapa?" bisik Syarifah seraya melirik Fariz.
"Dia yang mengantarkan ku pulang, Bun," balasnya berbisik juga. Mata Syarifah sedikit melebar mendengar itu.
"Kalau begitu kau ajak masuk ke dalam rumah. Tidak enak bila dia langsung pulang apalagi sudah mengantarkan kau pulang ke rumah."
"Tidak usah, Bun. Tidak baik pria berkunjung ke rumah malam-malam begini," alibi Liza yang memang tidak memperkenankan pria asing itu masuk ke rumahnya.
Syarifah menggeleng pelan." Tidak sopan langsung menyuruh dia pulang, setidaknya tawarkan dia masuk ke dalam rumah sekedar memberikan minuman."
Liza hanya bisa menghela napas panjang.
"Ayo masuk ke dalam rumah dulu, Nak," ajak Syarifah pada Fariz yang mengangguk dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Pria itu tampak tak menolak dengan ajakkan Syarifah.
Liza menatap keduanya masuk ke dalam rumah. Mata wanita itu tak sengaja melirik sepeda motor hitam yang terparkir di depan rumah. Sepertinya ada tamu yang datang.
"Ayo masuk Nak, jangan malu-malu," ucap Syarifah menggiring Fariz yang mengikuti dari belakang.
"Abah..."
Suara Fariz membuat dua pria yang sepantaran usianya itu kompak menoleh.
"Lho? Kau kenapa ada di sini?" tanya Hasan yang bangkit dari sofa dan tampak terkejut dengan kemunculan putranya.
"Dia anakmu?" Kini Muhsin yang buka suara.
Hasan mengangguk." Iya, dia anakku. Baru satu minggu yang lalu pulang dari kota."
"Ternyata sudah dewasa dan sangat tampan. Sudah lama aku tidak melihatnya," ucap Muhsin menepuk-nepuk bahu kokoh Fariz yang terlihat tersenyum. "Apa sudah menikah?"
"Belum, Paman. Masih mencari yang cocok," jawab Fariz sekenanya. Muhsin manggut-manggut.
"Silahkan duduk,"
"Bun, tolong buatkan teh untuk Fariz," pinta Muhsin yang di angguki sang istri.
*
*
"Astagfirullah, Liza..." Syarifah mengusap dadanya terkejut dengan kemunculan Liza yang masuk lewat pintu belakang.
"Kenapa lewat sini? Kan bisa lewat pintu depan," ucap Syarifah yang kembali mengaduk-aduk teh untuk diberikan pada Fariz.
"Di ruang tamu ada teman ayah, aku malu bila harus lewat sana."
"Ya sudah, sekarang kau ganti pakaian mu. Nanti masuk angin."
"Iya, Bunda."
Liza melangkahkan kakinya menuju ke kamar. Suara tawa ketiga pria terdengar jelas di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Kalau kau setuju, bagaimana bila Fariz dan Liza kita jodohkan saja. Jadi, hubungan kita bukan hanya sebagai sahabat tapi besan," ucap Muhsin pada Hasan.
Sementara itu gerakkan tangan Liza terhenti ketika hendak memutar tuas pintu kamarnya. Ucapan sang ayah terdengar jelas di kedua telinganya. Tubuh wanita itu langsung mematung.
Suasana di ruang tamu itu mendadak hening. Fariz dan abah Hasan saling pandang setelah mendengar usulan Muhsin.
"Kalau urusan tentang itu aku serahkan pada Fariz. Kalau Fariz setuju di jodohkan dengan Liza, aku akan mendukung penuh," balas abah Hasan.
Sedangkan dibalik tembok kaki Liza melemas mendengar itu. Ia menggelengkan kepalanya lirih, air mata perlahan membanjiri pelupuk matanya. Kedua tangannya mencengkram kuat gamis yang Ia kenakan.
"Aku tidak mau..." lirih Liza dengan suara tercekat di tenggorokan.
Fariz, pria itu terdiam sejenak dengan kepala menunduk dan mata yang bergulir menimang-nimang tawaran dari Muhsin.
"Beri aku waktu beberapa hari untuk memikirkan ini," ucap Fariz membuat kedua sudut bibir Muhsin berkedut.
"Tentu, tentu Paman akan memberikan kau waktu. Semoga saja kau menerima perjodohan ini dan menjadikan Liza sebagai istrimu. Paman sudah pusing memikirkan Liza yang selalu menolak pinangan dari pria lain," ucap Muhsin yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan dari raut wajahnya. Walaupun belum pasti Fariz menerima perjodohan ini, tapi tetap saja rasa gembira membuncah di hatinya.
"Tapi, bagaimana bila Liza menolak perjodohan ini?" tanya Fariz dengan kening mengernyit.
"Kau tenang saja, kali ini Liza tidak akan menolak perjodohan ini," balas Muhsin menyakinkan Fariz.
*
*
Butiran air mata berjatuhan membasahi foto pria yang tersenyum hangat. Liza tertunduk sembari memandangi foto mendiang suaminya. Ia mendekap erat figura foto itu dengan rasa perih dan sesak yang meremas kuat.
"Li-liza tidak mau menikah lagi, Liza ingin tetap menjanda sampai kematian menjemput Liza dan kita bisa kembali bersama lagi, mas. Liza hanya mencintai mas Danu dan tidak ada yang bisa menggeser posisi mas Danu di hati Liza."
Liza memejamkan matanya merasakan lelehan air mata mengalir membasahi wajahnya.
Meski sudah dua tahun suaminya meninggal, kenangan manis bersama Danu masih hangat di ingatannya. Tangan Liza terulur mengambil baju kaos yang tergeletak di atas kasur. Ia menyesap aroma wangi parfum suaminya yang masih menempel di baju kaos hitam itu. Sakit, sesak dan rindu bercampur menjadi satu mendekap erat benak Liza.
Dua tahun Ia tersiksa akan kerinduan pada mendiang suaminya yang takkan bisa terbalaskan. Kenapa Tuhan mengambil seseorang yang sangat Ia cintai dan membiarkan Ia tersiksa dengan perasaan cinta seorang diri dan kerinduan yang menyesakkan.
Ceklek
Suara pintu terbuka membuat Liza segera menghapus air mata yang membanjiri wajahnya. Muhsin menghela napas berat melihat putrinya.
"Sampai kapan kau terus seperti ini, Liza?"
Wanita itu tertunduk dalam mendengar lontaran sang ayah yang berjalan menghampiri dirinya.
"Ayah tidak melarang kau untuk terus mencintai mendiang suamimu itu. Tapi tolong pikirkan dirimu juga, tidak mungkin kau hidup seorang diri tanpa ada pasangan. Ayah, bunda, dan Ihsan tidak mungkin selalu bersamamu dan melindungimu setiap saat. Ada waktunya di mana kami akan meninggalkan kau seorang diri..." tutur Muhsin tegas.
Liza mendongak menatap sang ayah. " Ta-tapi sangat sulit bagi ku menerima pria lain, Ayah. Aku tidak ingin kembali menjalin hubungan pernikahan dengan pria lain sedangkan hati ku mencintai mas Danu."
"Terserah kau ingin bicara apa, tapi Ayah tekankan kalau kau sudah Ayah jodohkan dengan Fariz. Mau menerima ataupun tidak dengan perjodohan ini, kau akan tetap menikah dengan dia! Ayah sudah sabar dengan sikap mu ini. Tidak ada wanita yang menghabiskan hidupnya mencintai pria yang sudah tidak ada di dunia ini!"
Rasa sakit begitu menusuk di hatinya mendengar ucapan Muhsin. Bagaimana bisa Ia menjalani sebuah pernikahan tanpa ada cinta di dalamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments