...Tuhan selalu memiliki banyak cara untuk mempertemukan dua orang yang sudah ditakdirkan bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Meski hati mereka menolak satu sama lain....
"Riz, kapan kau akan menikah?"
Gerakkan jari Fariz di keyboard laptop terhenti. Pria itu menoleh ke arah uminya, Fardah.
"Aku belum menemukan wanita yang cocok menjadi pendampingqku. Dan...aku juga sedang fokus dengan pekerjaan ku," balas Fariz kembali pada aktivitasnya.
Umi Fardah menghela napas berat. Wanita paruh baya itu menatap sekilas layar laptop Fariz.
"Lalu kapan kau akan berhenti bekerja di kota? Lebih baik kau melanjutkan usaha keluarga kita. Umi tidak ingin terus berjauhan darimu, Riz. Apalagi kau pulang dua bulan sekali," ucap umi Fardah protes.
Fariz memutar kursinya menghadap ke arah wanita paruh baya itu. Ia meraih kedua tangan umi Fardah dan mengenggamnya.
"Umi, aku tidak mungkin melepaskan pekerjaan ku begitu saja di perusahaan yang sudah aku impikan untuk bekerja di sana. Apalagi abah banyak mengeluarkan uang untuk biaya kuliahku di Jakarta kemaren. Minimal aku sudah bisa membeli rumah, mobil dan membuka usaha sendiri. Jadi, saat aku berhenti bekerja di sana, uang ku sudah terkumpul banyak," tutur Fariz.
"Terserah kau saja, lah, Fariz. Menikah tidak mau, di suruh melanjutkan usaha keluarga juga tidak mau. Sedangkan umur mu sudah dua puluh delapan tahunan, sudah cukup waktunya untuk berumah tangga."
"Menikah itu bukan hanya modal niat saja Umi, tapi juga modal uang. Mau di kasih makan apa istri dan anakku nanti, sedangkan uang ku belum terkumpul banyak, tidak mungkin bertumpu pada penghasilan usaha toko kue, Umi."
"Rezeki bisa datang dari mana saja kalau niatnya ibadah, Riz." umi Fardah kembali melontarkan ucapannya dan Fariz mendesah.
"Umi tidak usah memikirkan kapan aku akan menikah, yang pasti aku sudah mempunyai calonnya." Ucapan Fariz kali ini membuat mata umi Fardah terbelalak.
"Siapa Riz? Siapa calonnya?" Pancaran kebahagiaan terbingkai jelas di wajah wanita itu.
"Nanti akan aku kenalkan. Sekarang sedang tahap pendekatan," balas Fariz tersenyum.
"Semoga secepatnya dia kamu lamar. Kenapa tidak bilang dari tadi," ucap umi Fardah tersenyum lebar.
"Kita tidak tahu kedepannya bagaimana. Setiap manusia memiliki banyak rencana tapi tetap Allah yang mengaturnya," ucap Fariz dan umi Fardah mengangguk setuju.
•
•
Hujan turun begitu derasnya mengguyur tanah yang mulai membanjir. Di sebuah saung yang lebih tepatnya di pos ronda tampak seorang wanita memeluk dirinya sendiri dengan tubuh gemetar sempurna. Liza melepaskan cadarnya yang basah kuyup. Pandangan matanya melihat ke atas langit yang tampak menghitam disertai kilat dan guntur. Ia baru saja dari warung membeli pesanan sang ayah dan sekarang harus terjebak hujan di sini.
Wanita itu duduk bersandar di pos ronda tersebut sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya sampai menghangat lalu menempelkannya ke pipi.
"Kapan hujannya reda?" gumam Liza. Ada sedikit ketakutan menyentil hatinya apalagi hari sudah mulai menggelap. Wanita itu memeras cadarnya yang basah kuyup hingga serapan air dikain tipis itu berkurang.
Sorotan cahaya motor menerpa wajah Liza yang bergegas memasang cadarnya kembali. Seorang pria memberhentikan motor beatnya di pos ronda tersebut. Sorot netra hitam pekat pria itu terpaku pada wanita yang menundukkan kepalanya.
"Sudah lama berteduh di sini?" Pertanyaan itu Fariz lontarkan pada Liza yang diam membisu. Fariz tampak berdecak merasa di abaikan oleh wanita yang ada di pandangan matanya sekarang.
Pria itu ikut duduk di samping Liza yang langsung bangkit dari tempat duduknya.
"Kenapa berdiri? Sini duduk. Saya tidak akan macam-macam dengan mu," ucap Fariz seakan tahu apa yang tengah di pikirkan wanita itu.
Liza menggeleng." Tidak usah, biar aku berdiri saja." cicitnya pelan dan hampir tidak terdengar.
Wanita itu terperanjat kaget ketika mendengar suara petir yang memekikkan telinga. Hembusan angin yang cukup kencang dan udara dingin yang menusuk ke pori-pori kulit begitu menyiksa Liza yang semakin mengigil kedinginan dengan pakaiannya yang basah saat ini. Fariz yang memang sedari tadi memperhatikan wanita itu bangkit dari tempat duduknya. Ia membuka jok motornya dan mengambil jaket miliknya yang selalu Ia bawa.
"Pakailah jaket ini." Fariz menyodorkan jaket hitam miliknya. Liza hanya melihat sekilas dan menggeleng pelan.
"Tidah usah, pakai saja untuk diri mu sendiri," tolak Liza.
"Tidak apa-apa, ambil saja daripada kau kedinginan." Fariz kembali menyodorkan jaketnya. Meski Ia juga merasa kedinginan tapi menyampingnya keadaan dirinya sendiri demi wanita asing yang kini bersamanya.
Liza melirik pria itu sebatas ekor matanya. Dengan tangan gemetar karna kedinginan dan rasa gugup yang mendekap kuat dirinya. Ia mengambil jaket itu dari pria asing tersebut. Fariz menatap lekat tangan wanita itu yang keluar dari hijab panjangnya sebatas pergelangan tangan yang dilapisi handsock hitam.
"Terima kasih, ustadz..."
Satu alis Fariz terangkat mendengar ucapan terakhir wanita itu pada dirinya.
"Maaf, saya belum bisa mengembalikan sorban milik ustadz..." Liza kembali melontarkan ucapannya. Kedua sudut Fariz terangkat mendengarnya hingga membentuk sebuah senyuman. Ia jadi tahu bahwa wanita dihadapannya sekarang adalah wanita yang kemaren Ia tolong.
"Saya bukan ustadz. Kenapa sampai mengira saya ustadz?" ucap Fariz yang terkekeh pelan memperlihatkan kedua lesung pipinya.
Liza semakin menundukkan kepalanya. Ia mundur beberapa langkah ketika merasa jarak mereka berdua cukup dekat. Kedua Pipi Liza bersemu merah karna merasa malu yang mendekap dirinya. Ia pikir pria itu seorang ustadz.
•
•
Syarifah tampak mondar-mandir di ruang tamu dan sesekali menatap ke arah jendela luar. Ia benar-benar khawatir dengan putrinya, Khaliza. Muhsin menghela napas berat melihat sang istri terus mondar-mandir di hadapannya.
"Tidak usah mengkhawatirkan Liza, Bun. Dia sudah besar dan bisa menjaga dirinya sendiri," ucap Muhsin dan Syarifah menoleh ke arah suaminya.
"Bagaimana Umi tidak khawatir, Yah, kalau sampai sekarang Liza belum pulang ke rumah dan sebentar lagi sudah memasuki waktu magrib. Kenapa tadi Ayah tidak meminta Ihsan saja yang ke warung bukan Liza," gerutu Syarifah protes.
Muhsin menghela napas berat." Ihsan baru saja pulang kerja dan tidak mungkin Ayah langsung meminta dia ke warung. Kasihan dia kelelahan setelah bekerja seharian. Ayah juga meminta Liza ke warung agar anak itu tidak terlalu mendekam di dalam rumah dan hanya keluar saat akan pergi ke pengajian. Bunda tahu sendiri, kan, anak kita yang satu itu jadi bersikap tertutup semenjak suaminya meninggal. Sudah beberapa lamaran dari pria kampung sebelah dia tolak. Ayah sudah muak dengan sikap Liza yang selalu beralasan masih mencintai Danu hingga tidak ingin membuka hati. Sampai kapan putri kita terus mempertahankan statusnya sebagai janda? Kita juga tidak mungkin selalu bersamanya. Liza butuh pria yang bisa menjaga ."
Syarifah terdiam mendengar penuturan suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
yrputri
bueneer ucapan umi fardah
2023-02-06
1