Tok…tok…
“Assalamualaikum,” Aku menatap ayah dan ibu bergantian.
“Siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini?” Kampung kami sedang diberlakukan jam malam untuk menangkap orang-orang yang dicurigai. Oleh sebab itu, tidak ada yang berani keluar malam-malam tapi malam ini tiba-tiba ada orang yang mengetuk rumahku dan ini sudah sangat malam.
“Pak Mae, tolong buka pintunya!” Ayah mengintip lalu membuka pintunya.
Aku melihat banyak tentara yang datang ke rumahku malam ini. Rasa cemas langsung hilang saat melihat mereka memapah salah satu temannya, “Tolong rekan kami, Pak.”
Ayah menyuruh mereka masuk dan hanya lima orang yang masuk itu pun dengan senjata lengkap dan mata mereka tidak tinggal diam. “Ada apa, Pak?”
“Teman kami tadi membetulkan pos karena takutnya bocor dan tidak sengaja jatuh hingga kaki dan lengannya sakit tidak bisa disentuh.
“Saya lihat ya, Pak.” Ayah meraba lengan dan kaki dari pria itu secara perlahan.
“Tulang kakinya membentur sesuatu saat jatuh?” pria itu langsung mengangguk sambil menahan sakit.
“Apa bisa diobati, Pak?”
“Insya Allah. Buk, tolong buatkan obat!” Ibu mengangguk lalu langsung bergegas ke dapur. “Tolong dibaringkan dengan benar!”
“Ada kain sarung?” tanya Ayah. Mereka menatap satu sama lain. “Temannya ini harus memakai kain sarung untuk memudahkan saya merawatnya. Dia juga perlu diurut sedikit.”
“Kami punya tapi di pos,”
“Rahmah, tolong ambilkan kain sarung!” karena aku tidak suka pada mereka jadinya aku mengambil kain lusuh yang milik ibuku.
“Nak, tolong ambilkan yang lain!” suara lembut namun penuh penekanan seraya menatapku lekat membuatku langsung berlari menuju kamar. Aku yakin ayah tersinggung karena aku memberikan kain lusuh pada mereka.
Setelah memberikan kain itu pada ayah, aku langsung ke dapur untuk membantu ibu. “Bisa merasakan sakit juga dia. Waktu dia pukul orang apa tidak sadar kalau orang itu juga sakit? Kenapa Ayah tidak menolak saja. Biarkan saja mereka membawanya ke rumah sakit. Kenapa harus merepotkan kita.” Aku terus menggerutu seraya tanganku menggiling dedaunan obat yang akan ayah pakai.
“Kenapa ibu tersenyum?”
“Kamu aneh! Kalau tidak mau membantu kenapa di sini? Pergi tidur sana!”
“Aku di sini buat membantu Mamak bukan membantu pria itu. Kalau aku jadi Ayah, akan aku tekan kuat-kuat sakitnya biar tahu rasa dia.”
“Tidak boleh begitu. Makanya Allah tidak menurunkan ilmu mengurut Ayah pada kamu tapi pada adikmu karena kamu punya sifat dendam. Seseorang yang memiliki ilmu pengobatan tidak boleh memiliki sifat dendam karena bisa saja orang yang akan diobatinya suatu hari nanti adalah orang yang pernah menyakitinya.”
“Mak, aku ngantuk. Tidur dulu ya!”
“Tidurlah! Kamu ini kalau dibilang selalu begitu.”
“Aku tetap tidak suka sama pria berbaju loreng bernama tentara.”
“Terus yang kamu suka siapa?”
“Mak, jangan menggodaku! Aku sudah menyimpan hati ini untuk satu pria. Semoga saja dia juga menyimpan hatinya untukku." Aku berucap santai lalu pergi ke kamarku. Sesekali aku mendengar teriakan dari pria itu. “Seperti anak-anak saja!” gerutuku lalu mengambil bantal dan meletakkannya di atas telinga.
Keesokan harinya…
Aku terbangun seperti biasa saat azan subuh terdengar dari kampung sebelah. Aku beranjak dari kamar lalu mengerjakan salat bersama keluargaku seperti biasa lalu setelah itu aku dan ibu langsung menuju dapur. Sementara Ayah kembali melihat pria itu yang terbaring di ruang tamu. Malam ini rumahku yang kecil terasa sesak dengan keberadaan beberapa tentara yang berjaga di dalam dan di luar rumahku.
“Apa Bapak-bapak mau makan bersama kami? Tapi lauk pauk kami hanya seadaanya saja.” Ayah mencoba menawari mereka.
“Tidak, Pa. Teman-teman kami akan membawa sarapan dari pos. Bapak sekeluarga tidak perlu repot-repot.” Jawab salah satu dari mereka.
“Baiklah kalau begitu, saya makan dulu setelah itu baru kita akan memulai pengobatan.”
Benar yang dikatakan mereka, saat kami makan, salah satu tentara datang membawa makanan untuk mereka. Di sana juga ada roti dan susu. Wah, makanan mereka memang beda. Aku melirik sekilas ke dalam piringku, nasi, ikan goreng sisa semalam dan tumis kangkung. Aku tertawa dalam hati, “Pantas saja mereka menolak tawaran Ayah.”
Saat aku membereskan piring kotor di dapur, aku mendengar mereka memanggil adikku lalu Fajar datang ke dapur dan memberikan kue-kue yang belum pernah kami lihat. “Ini di kasih sama Abang-abang itu.”
“Jangan makan sembarangan! Kita tidak tahu ini apa. Siapa tahu ini tidak boleh kita makan. Ingat, kita ini orang islam dan mereka? Kita kan tidak tahu mereka itu islam atau bukan. Kalau ini dibuat dari daging babi atau anjing bagaimana?” Fajar seketika memuntahkan kembali apa yang sudah ia makan.
“Lho, adik kamu kenapa?” seorang tentara itu datang ke dapur.
“Kakak bilang kue itu dibuat dari babi.” Lirih Fajar membuat mataku melotot padanya.
Tentara itu tertawa, “Tentara juga ada yang islam dan kami juga tahu agama. Tidak mungkinkan kami makan makanan yang dilarang agama? Ini halal, dibuat dari tanaman gandum yang sehat dan bergizi. Kalau kamu makan ini banyak-banyak, kamu akan tumbuh tinggi karena protein dan vitaminnya lengkap.” Fajar mendelik matanya padaku lalu mengambil roti-roti itu kembali.
“Kakak sudah bilang ini dari babi jadi Kakak tidak boleh makan lagi.” Aku melongos menatap kepergian adikku. Sementara para tentara itu terlihat puas menertawakan kebodohanku.
Suara jeritan terdengar melengkin dari pria yang terluka itu. Dan dengan santainya aku tertawa melihat dia merintih kesakitan saat ayah mengurut kakinya. Bahkan untuk membalaskan ejekan mereka tadi, aku mengabaikan tatapan horor dari ibu dan ayah. Bahkan aku sampai terbahak melihat tentara itu kesakitan.
“Sepertinya kamu bahagia sekali ya?” sindir seorang Heru si telur bebek.
Aku meliriknya sekali, “Kapan lagi melihat seorang tentara menjerit seperti itu. Biasanya aku hanya melihat masyarakat yang menjerit karena dipukul oleh orang padahal orang-orang tersebut belum tentu bersalah.” Balasku.
Ayah menghentikan kegiatannya lalu menatapku dengan tatapan tajam. Terlihat sekali kalau ayahku sedang marah tapi aku tidak peduli. Aku terlanjur benci pada mereka. “Kamu marah karena kami memukul Ayahmu? Kami minta maaf hanya saja saat itu kami juga sedang marah karena ulah para pemberontak itu. Apa kalian tahu jika kami juga punya keluarga dan harus melihat teman kami meregang nyawa di sini sementara anak dan istrinya sedang menunggunya di Jawa sana. Setiap malam mereka berdoa supaya kami pulang dengan selamat bahkan salah satu teman kami yang meninggal itu, istrinya baru saja melahirkan. Apa kamu tahu bagaimana rasanya lahir sementara ayahmu sudah meninggal tanpa sempat melihat dan merasakan sentuhan tangannya.”
Tes…
Mataku terlanjur berembun seraya berbalik badan meninggalkan ruangan tersebut. “Aku akan bertanya ini padamu, Pang Sagoe!!!”
***
Buat kalian yang sudah update Noveltoon ke versi terbaru, titik tiga di atas ada pilihan SUBSCRIBE sebagai ganti dari FAVORITE klik subscribe untuk menambah novel ini ke daftar baca kalian. Dan klik BINTANG di bawah sampul untuk memberi rating ke karya itu. Terima kasih.... Secuil tindakan dari kalian sudah memberi banyak penghargaan untuk penulis termasuk LIKE DAN KOMEN. Sekali lagi terima kasih banyak untuk pembaca setia...mudah2 suatu hari nanti bisa ngasih give away untuk kalian....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Umi Jasmine
udah aq kasih bunga thoor
2023-01-22
0
Umi Jasmine
lanjut thoor
2023-01-22
0
Zur Rani (IG : @zuranirain)
iya kak. itu buat yg versi baru cuma versi baru ini sedikit lelet. jd lebih baik versi lama.
2023-01-21
1