Para tentara mendirikan pos pemeriksaan di ujung kampung. Aku bersama teman-teman menjalani hari seperti biasa. Setiap pagi pergi ke sawah lalu menjelang zuhur kami kembali dan akan melanjutkan setelah zuhur hingga waktu asar tiba. Begitulah rutinitasku selama ini dan tidak ada gangguan sedikitpun sampai pos tentara ada di sana selama beberapa hari ini.
Beberapa temanku yang masih lajang mulai terlihat berbeda setiap kami ke sawah, “Kalian kenapa lain beberapa hari ini?” tanyaku saat kami hendak ke sawah.
“Lain kenapa, Mah?” Tanya Kulsum.
“Iya, Mah. Lain apa maksudmu?” timpal Masyitah.
“Kalian terlihat lebih bersih dan pakai lipstik ya?”
“Oh ini buat melindungi bibir, Mah. Biar tidak kering.” Sahut Salbiah. Rahmah menganggukkan kepala seolah mengerti tapi dalam hatinya masih bertanya-tanya tentang perubahan ketiga teman lajangnya itu.
“Eh, kalian tahu kalau Abang-abang tentara itu masih mencari Pang Sagoe?” tanya Salbiah membuat Rahmah mendadak berhenti lalu menatap teman-temannya.
“Pang Sagoe?” tanya Rahmah setengah berbisik.
“Iya. Aku dengar sendiri dari Abang tentara yang tugas di pos dekat rumahku. Mereka yakin kalau saat ini Pang Sagoe tengah terluka saat pertempuran malam itu.” Salbiah kembali menambahkan.
“Para tentara itu mengikuti jejak darah sampai ke kampung kita makanya mereka mendirikan pos di kampung kita untuk menangkap Pang Sagoe.”
“Kalau memang Pang Sagoe terluka dan lari ke kampung kita, hanya rumah kamu tempat satu-satunya yang bisa dia datangi. Kamu yakin dia tidak ke rumahmu, Mah?” selidik Salbiah.
“Ya tidak lah! Aku sendiri yang akan mengusirnya kalau dia ke rumahku. Kalian tahu perabot rumahku habis hancur gara-gara amukan para tentara. Sampai kapanpun aku tidak akan memaafkan para tentara yang sudah menghancurkan perabotan rumahku. Aku sumpahi rumah tangga mereka akan hancur seperti perabotanku yang hancur.” Ucapan Rahmah membuat Kulsum, Masyitah dan Salbiah saling lirik.
“Ayo! Tidak usah membicarakan urusan mereka. Yang penting bagi kita saat ini adalah ke sawah cari duit. Biar itu menjadi urusan mereka, kita urus diri kita sendiri.” Rahmah melangkah lebih dulu diikuti teman-temannya.
Sudah lebih dari seminggu para tentara rutin berpatroli. Bahkan sesekali mereka singgah di rumahku walaupun tidak ada yang peduli karena ibu dan ayahku tidak menyukai mereka termasuk aku dan adik-adikku. Setelah mereka mengejutkan kami malam itu, mereka masih berharap diperlakukan ramah oleh kami? Jangan harap!
Aku memandang mereka dengan sorot mata penuh kebencian. “Dek, jual telor bebek?” tanya seorang tentara padaku yang sedang memberikan pakan bebek.
“Tidak!”
“Abang beli boleh?”
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Untuk makan sendiri.”
“Itu kan banyak, Abang beli lima saja, boleh?”
“Tidak! Kami makan banyak.” Bukannya marah dengan jawabanku, tentara itu malah terkekeh.
“Kamu lucu juga ya. Siapa namamu? Nama Abang, Heru.”
“Tidak tanya!”
“Cantik-cantik jutek, nanti susah jodoh.”
“Jodoh urusan Allah.”
“Tapi saya mau jadi jodoh kamu.”
“Saya tidak mau.” Tentara itu malah terkekeh.
“Kenapa? Apa saya kurang ganteng?”
“Iya!”
“Wah, baru kamu yang bilang saya begitu. Saya jadi bertanya-tanya, kalau saya kurang ganteng lalu siapa yang menurutmu ganteng?”
“Seseorang yang ada di hati saya.”
“Siapa orangnya?”
Aku tidak lagi menjawab. Pria berbaju loreng ini membuatku mual dengan suaranya. Aku pergi meninggalkan kandang bebek lalu masuk ke dalam. Aku merebus telur-telur bebek itu lalu kutinggalkan di dapur.
Ayah dan ibu sedang membuat ramuan obat lalu mereka memanggilku. “Tolong bubuhkan ini di lengan, dada dan betisnya ya!” aku mengangguk paham.
Lalu aku masuk ke kamarku bersama ibu. Ibu membantu menggeser tempat tidur lalu aku turun ke ruang bawah tanah melalui lubang baru yang dibuat oleh ayah di bawah tempat tidurku. Seorang pria tengah terbaring menyamping karena luka bagian punggung, dan lengan sebelah kanannya membuat ia tidak bisa tidur terlentang.
Sudah beberapa hari ini aku ditugaskan ayah untuk merawat pria itu karena temannya sudah pergi menjauh dari kampung begitu tahu para tentara akan mendirikan pos di sana. Selama itu pula, aku yang bertugas merawat pria itu karena ayah tidak mau ada yang curiga bila tidak melihatnya. Makanya, ayah sering tidur di pondok depan rumah untuk menghilangkan kecurigaan para tentara yang sering melewati rumahku.
“Bang, tidur ya? Aku mau menaruh obat baru.” Ucapku dengan suara kecil.
Pria itu membuka matanya. Seperti biasa, aku membantunya duduk lalu aku langsung mengerjakan pekerjaanku. “Teman Abang itu tidak setia. Kenapa dia meninggalkan Abang sendiri di sini?” ucapku santai seraya membersihkan obat yang sudah kering.
“Kamu mengatainya karena menyukainya?” Aku langsung menatap pria itu.
“Aku mengatainya karena dia pantas dikatai. Katanya sahabat tapi pergi saat sahabatnya sakit begini.”
“Abang yang memintanya pergi. Akan berbahaya untuknya yang masih sehat kalau sempat tertangkap. Kalau saya tertangkap, dia harus tetap selamat untuk melanjutkan perjuangan kami.”
“Nama Abang siapa?”
“Ck, kenapa tiba-tiba tanya nama saya? Apa kamu tidak takut kalau tahu siapa saya?”
“Memangnya Abang siapa? Aku hanya takut sama malaikat maut yang datang tiba-tiba menjemputku tanpa sempat mengucap.”
“Nama Abang, Ilham. Lengkapnya Teuku Muhammad Ilham. Ada lagi yang ingin kamu tahu?”
“Abang benar-benar Pang Sagoe?”
“Kalau iya, kenapa? Apa kamu takut?”
“Ya tidak apa-apa. Mau Pang Sagoe, mau Pang-Pang, tidak ada pengaruhnya buatku.”
“Pintar sekali bicaramu. Berapa umurmu?”
“Kenapa tanya-tanya umur? Mau Abang lamar ya? Aku sudah siap untuk dilamar.” Pria itu mengacak gemas rambut hitam milikku. Jangan tanya bagaimana hatiku saat ini. Jantungku berdetak kencang seakan pasokan darah di tubuhku berkurang. Kakiku terasa lemas apalagi melihat pria itu tersenyum ke arahku.
“Kenapa diam? Apa sudah siap?”
“Eh,” aku tersadar ketika dia memanggilku seraya menyentuh lenganku sekilas.
“Kamu memikirkan apa? Takut setelah tahu kamu bicara sama siapa?”
Bibirku mengerucut seraya mendelik ke arah pria dengan sifat percaya diri setinggi itu. “Untuk apa aku takut sama Abang? Aku tekan sekali begini Abang sudah kesakitan.” Benar saja, raut wajah Ilham langsung berubah saat aku dengan isengnya menekan luka di dadanya.
Aku terkejut saat tangannya menarik tanganku lalu tubuhku langsung menabrak tubuhnya yang polos itu. Tatapan matanya menghujam jantungku hingga membuatku langsung menunduk. Aku tidak sanggup menatap matanya, aku kesulitan mengatur nafas saat ini.
“Apa kamu menyukai sahabat Abang?”
“Tidak!” jawabku mantap. Tidak tahukan pria ini jika aku menyukainya. Dirinya lah yang aku sukai bukan temannya.
“Baguslah. Sekarang selesaikan tugasmu!” dia melepas tanganku tanpa kejelasan dari tindakannya yang sudah membuatku panas dingin.
“Kenapa kamu ketus sama tentara tadi? Bukannya setiap gadis menyukai mereka?”
“Itu mereka bukan aku.”
“Kenapa kamu tidak meyukai mereka?”
“Karena aku sudah menyukai orang lain.”
“Oh ya. Siapa?”
***
LIKE...KOMEN...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Cut SNY@"GranyCUT"
Kamu abang.. Pang Sagoe
2023-07-26
0
Umi Jasmine
panh sagoe itu nama apa ya
2023-01-21
0