Si Polos Rahmah...

Bug…

“Bangggg…”

Ayahku dipukul dengan gagang senjata hingga tersungkur ke lantai tanah. Ibu menjerit melihat itu dan langsung terduduk lemas seraya menangis memeluk ayahku.

“Kami tidak menyembunyikan siapa-siapa, Pak. Saya hanya dukun patah. Kalau mereka terluka karena terkena peluru, mereka pasti tidak akan ke rumah saya karena saya tidak bisa menyembuhkannya. Saya bukan dokter!” ucap ayahku terbata-bata. Kami dikumpulkan bersama ayah dan ibu di ruang depan.

“Periksa lagi!” teriaknya lalu para tentara itu menusuk-nusuk karung padi kami dengan pisau hingga padi itu berurai tumpah ke atas tanah.

“Kalian habis memasak apa pagi-pagi buta, heh?”

“Sa-saya memang cepat memasak karena nanti akan membantu Ayah anak-anak mencari daun obat.” Jawab ibuku.

Aku tidak menyangka jika ibuku sangat lihai berbohong. Keluarga kami seperti buah simalakama. Jika kami memberitahukan mereka tentang para pemberontak maka kami hanya akan selamat dari para tentara tapi rekan-rekan para pemberontak itu pasti akan menangkap kami karena dianggap berkhianat walaupun itu tidak mungkin karena ayahku sangat mendukung perjuangan para pemberontak untuk mendapat keadilan yang aku sendiri belum mengerti dengan jelas.

“Jangan coba-coba membohongi kami! Kalian pikir kami bodoh?”

Brakkk…

Selanjutnya adalah kehancuran dari benda-benda apa saja yang ada di dekat mereka. “Kalian tahu, gara-gara para pemberontak itu, kami kehilangan banyak teman. Apa kalian pikir kami tidak punya keluarga di Jawa sana?”

Brakkk…

Kini aku mulai menyadari jika sikap mereka ini karena temannya ada yang terluka atau meninggal akibat diserang para pemberontak. Tapi yang menjadi pertanyaan dalam benakku adalah apa salahnya perabotan rumahku yang sederhana ini? Kenapa perabotan itu yang harus menanggung akibatnya? Ah, aku tidak suka sama para tentara itu. Mereka bersenjata tapi hanya berani sama benda mati. Kenapa tidak dicari saja para pemberontak itu ke hutan? Kenapa harus ke rumahku? Lalu apa benar yang aku dengar tadi jika pria yang sedang sekarat itu Pang Sagoe?

Antara takut dan senang, aku malah tidak fokus dengan sosok pang sagoe. “Hei, kamu! Kenapa kamu tersenyum? Apa kamu sedang menertawai kami?” seorang tentara hendak melayangkan tangannya padaku tapi seseorang dari mereka langsung menarik pria itu.

“Dan, dia seorang wanita.”

“Dia menertawai kita.” Seorang dari mereka langsung menyeret pria yang dipanggil ‘Dan’ itu lalu mereka keluar dari rumahku.

Adik-adikku kelihatan sangat takut melihat mereka tapi aku? Aku tidak takut sama sekali hanya saja aku tidak suka melihat mereka apalagi tentara yang sudah merusak perabotan rumahku.

“Ayo salat subuh dulu!” ajak ayah lalu dengan didampingi oleh ayah, kami pergi ke sumur untuk mengambil air wudu.

Keesokan harinya…

Beberapa tentara masih berjaga di berbagai sudut kampung kami. Aku mengikuti ayah pergi ke bukit tempat kami mencari dedaunan untuk obat-obatan yang sering ayah gunakan saat mengobati pasiennya.

Letak bukit tidak seberapa jauh dari rumah. Hanya perlu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Sesampai di pos kaki bukit, keranjang yang ayah bawakan diobrak-abrik oleh mereka untuk memeriksa apakah ayah membawa senjata atau tidak. Sama seperti ayah, aku juga tidak luput dari pemeriksaan mereka.

“Assalamualaikum.” Ucapku dan ayah serentak ketika kami pulang dari bukit.

“Walaikumsalam.” Ibu langsung menghampiri kami lalu mengambil keranjang bawaan kami dan memasukkannya ke dalam. Aku tersenyum melihat ibu begitu takzim memuliakan ayah bahkan saat anak-anaknya sudah tumbuh besar.

“Ayah mau mandi atau makan terlebih dulu?” tanya ibu membawa segelas air putih. Sementara aku? Aku melongos pergi untuk mengambil sendiri air di dapur.

“Bagaimana dengan mereka?” tanya ibu pada ayah setengah berbisik tapi masih tertangkap oleh telingaku.

“Terlalu bahaya kalau Ayah turun sekarang. Apalagi para tentara masih gencar melakukan pemeriksaan di berbagai sudut kampung.” Aku hanya bisa menghela nafas saat mendengar perkataan ayah. Konflik ini semakin lama bukannya semakin mereda tapi semakin menjadi. Semenjak aku sadar dengan keadaan dan mengerti akan situasi. Konflik ini sudah berlangsung dan setiap kali aku bertanya pada ayah. Kapan konflik ini akan berakhir?

Ayah selalu menjawab, “Sebatang rokok lagi?”

Hari berganti hari tapi konflik itu belum juga usai. Para tentara telah pergi dari kampungku setelah memeriksa dan ternyata orang yang mereka cari memang tidak ditemukan. Ayah sendiri selalu turun ke kamar bawah tanah di waktu tertentu untuk memeriksa pria itu. Entah bagaimana keadaan pria itu setelah seminggu berada di bawah sana.

Aku sendiri tidak peduli lagi karena telah kembali ke duniaku yaitu bergabung dengan teman-temanku ke sawah. Aku ikut beberapa teman dan ibu-ibu di kampungku untuk menanam padi. Kami dibayar ketika sore saat jam pulang tiba. Hanya ini pekerjaan yang bisa aku kerjakan karena pendidikan kami selaku orang kampung tidaklah tinggi. Paling tinggi adalah lulus sekolah dasar lalu kalau beruntung akan cepat dilamar dan kalau tidak ya tinggal menunggu giliran.

Teman sebayaku rata-rata sudah memiliki satu bahkan dua anak di usia enam belas tahun sementara aku? Bukannya tidak ada yang meminangku tapi ayah selalu berasalan jika aku masih terlalu muda untuk menikah. Sudah enam kali ayah menolak pinangan orang yang datang dari berbagai kampung dengan latar belakang berbeda pula. Ada yang petani, pedagang, pemilik pabrik batu bata, tukang, nelayan hingga yang terakhir adalah anak imam masjid kampung sebelah. Dia seorang pemuda yang baru pulang dari pesantren dan sudah menjadi sutad tapi tetap ditolak oleh ayahku. Entah apa yang mendasarinya hingga menolak pria lulusan pesantren yang sudah terjamin agamanya dan pasti bisa membimbingku menuju surga ilahi.

Apakah ayah bertanya padaku saat menolak mereka? Tidak! Ayah tidak pernah meminta pendapatku, lalu setelah mereka pulang, aku baru diberitahu jika yang datang itu berniat melamarku dan saat kutanya apa ayah menerimanya? Tidak!

Aku juga tidak bertanya kenapa dan ayah juga tidak mengatakan apa-apa setelah itu. Sungguh aneh bukan? Tapi inilah kenyataannya. Jika ditanya apakah aku mau menikah maka jawabannya adalah gedikan bahu. Aku sendiri bingung dengan hatiku. Teman-temanku mengatakan jika mereka menikahi orang yang mereka cintai. Lalu aku pun bertanya pada mereka, cinta itu seperti apa? Kenapa bisa langsung jatuh cinta padahal baru bertemu? Itu cinta atau ingin? Ingin bersamanya, ingin dekat-dekat dengannya, ingin selalu berdua dengannya. Aku mempertanyakan itu pada mereka tapi apa yang aku dapat setelah itu?

“Rahmah, kita memang tidak sekolah tinggi-tinggi dan tinggal di kampung. Tapi kita tidak boleh sebodoh itu. Masak cinta saja kamu tidak tahu.” Sahut salah satu teman.

“Makanya Rahmah, kamu segera menikah supaya tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya.” Sahut yang lain.

“Ayahmu sudah menolah lebih dari tiga orang, Mah. Kata orang tua-tua, kalau menolak lamaran lebih dari tiga kali maka setelahnya akan susah jodoh.” Timpal yang lain lagi.

“Tidak betul itu, buktinya Ayah Rahmah sudah menolak enam orang. Jadi aku tidak percaya itu!”

“Setuju!!!” ucapku.

***

Kita sudah bertegang ria di CUT jadi kali ini aku ingin bermanis-manis dengan PANG SAGOE.... SO...happy reading....jangan lupa berikan bintang dan subscribe....favoritkan....TERIMA KASIH...

Terpopuler

Comments

Aida Fitriah

Aida Fitriah

kak zur ending'a sedih dong secara bang ilham sama istri dan anak'a kan meninggal😣😣😣😣😣

2023-01-20

0

Umi Jasmine

Umi Jasmine

jgn ada perang trs thoor, nti tegng trs

2023-01-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!