Istrinya Daffa

Aisyah berjalan keluar dari gedung rumah sakit. Ia mencari bajaj untuk menuju Radio Dalam. Kini, mereka berada di rumah sakit daerah Kebayoran yang tak begitu jauh jaraknya.

"Bang." Aisyah menghentikan bajaj yang melewati dirinya. "Ke persimpangan Radio Dalam, ya," ujarnya.

"Iya, Bu," jawab supir bajaj membukakan pintu.

Kendaraan beroda tiga itu pun melaju menyusuri jalan sekitar Kebayoran, menuju arah Radio Dalam. Sepanjang jalan, terlihat banyak sekali pengendara yang memenuhi jalanan ibu kota itu. Jalanan pun terlihat sangat macet padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi yang biasanya sudah sedikit lenggang.

"Tumben macet banget, Bang?" tanya Aisyah.

"Gak tau ini, Bu. Biasanya jarang macet jam segini," jawab si supir mengusap pwluhnya dengan handuk kecil yang ia taruh di bahunya. "Bang, ada apaan di depan?" tanyanya pada penjual asongan.

"Itu ada kecelakaan beruntun. Kalau gak penting-penting amat mending balik, Bang. Bakal lama soalnya pada ribut belum lagi polisi belum datang," ujar Abang asongan itu.

"Makasih, Bang," sahut si supir bajaj. "Bu, jadi gimana? Mau lanjut apa muter balik?"

Aisyah menatap sekeliling. "Saya turun di sini aja, Bang. Udah deket kok."

"Masih sekilo lagi, Bu. Cuaca panas gini," ujar supir itu merasa kasihan pada wanita paruh baya tersebut.

"Gak apa-apa. Nih uangnya, Bang. Makasih." Aisyah pun turun setelah memberikan ongkos.

Ibu satu anak itu berjalan di tengah teriknya matahari padahal waktu masih pagi, belum lagi bising suara kendaraan yang tak kunjung jalan membuat cuaca semakin terik karena asap kendaraan.

"Astagfirullah, parah sekali tabrakannya. Ya Allah, lindungi hamba selalu." Aisyah berlalu setelah melihat tiga buah mobil sedan ringsek. Ia tak ingin melihat korban jiwa karena mengingatkan pada mendiang suaminya yang meninggal karena kecelakaan.

Sekitar dua puluh menit berjalan, Aisyah sampai di restoran bubur itu. Hatinya merasa bahagia karena telah sampai di sana. Ia pun memesan bubur spesial, lalu duduk menunggu buburnya jadi.

Tak butuh waktu lama, pelayan datang memberikan pesanan itu. Aisyah memberikan uang lima puluh ribu, lalu keluar dari restoran.

"Perasaanku kenapa bahagia seperti ini, ya? Seperti Jasmine menantuku yang sedang hamil cucuku saja." Aisyah terkikik geli. "Mas, mas, kapan kamu pulang dan kasih Bunda mantu dan cucu? Sudah hampir lima tahun kamu belum pulang juga," lirihnya yang mengingat anak semata wayangnya yang tak kunjung pulang.

**

"Makasih, Bu. Jadi ngerepotin," ujar Jasmine tak enak hati saat Aisyah memberikan semangkuk bubur.

"Gak ngerepotin, ayo dimakan, mumpung masih hangat." Aisyah mengelap peluh yang jatuh di dahinya.

Dengan hati gembira, Jasmine memakan bubur itu. Ah, memang benar, ngidam terturuti terasa sangat membahagiakan. Jasmine melahap bubur itu dengan senyum yang terus mengembang membuat Aisyah merasa bersyukur karena usahanya untuk membeli bubur itu tak sia-sia.

Akan tetapi, tiba-tiba Jasmine meneteskan air mata. Ia terisak memakan bubur itu, membuat Aisyah terkejut.

"Nak, kamu kenapa?" Aisyah berdiri menyentuh bahu Jasmine.

"Bubur ini kesukaan Rama, Bu. Sebelumnya, aku sangat jijik dengan bubur. Tapi, saat hamil seperti ini kenapa aku sangat menyukainya? Apa anak ini merindukan papanya?" tanya Jasmine terisak.

Aisyah bingung harus berkata apa. Memanglah ngidam selalu menginginkan hal-hal aneh yang bahkan kita bisa menyukai hal yang sebelumnya tidak kita sukai.

"Sssttt, jangan sedih." Aisyah memeluk Jasmine yang terus menangis.

"A-aku kangen dia," lirihnya. "Tapi, kenapa dia hilang tanpa berkata apa pun, Bu? Apakah memang dia memperalatku hanya untuk balas dendam pada Papa? Kenapa dia sangat jahat menghilang saat aku membutuhkannya?" Jasmine terus menangis sembari terus berbicara tentang Rama. Ia meluapkan rasa sedihnya pada ibu yang baru saja ia kenal.

"Sabar, Nak. Ini ujian." Aisyah tak bisa berkata apa pun. Ia tak tahu kehidupan Jasmine sebelumnya, hingga tak bisa ikut campur. "Di dunia ini tidak ada yang abadi, Nak. Kita harus tahu itu. Apa yang kita miliki tak akan selalu bersama kita selamanya. Begitu juga pasangan. Jika dia jodohmu, InshaAllah dia akan kembali padamu." Aisyah mengusap surai hitam itu.

Ia paham, saat hamil muda seperti ini sangatlah sensitif. Belum lagi Jasmine yang baru saja mengalami hal berat yang pasti benar-benar mengganggu mentalnya. Apalagi jika dilihat bahwa Jasmine bukan wanita dari keluarga menengah, melihat bagaimana cantik terawatnya dia.

"Aku benci padanya, Bu. Dia meninggalkanku setelah aku hamil seperti ini. Jika dia mencintaiku, dia pasti di sisiku sekarang, nyatanya tidak. Aku sangat bodoh tidak mendengarkan Papa. Berulang kali Papa mengatakan untuk berpisah darinya. Tapi, aku justru memberikan kehormatanku padanya. Aku sangat bodoh, Bu. Benar-benar bodoh." Jasmine semakin terisak. Hatinya begitu sakit ketika mengingat pria sialan itu.

"Sabar, Nak. Allah tahu yang terbaik untukmu. Pasti ada hal yang tak terduga dari kejadian ini semua. Ikhlas dan sabar menjalaninya, tak lupa untuk mendekatkan diri pada Allah. InshaAllah, kamu akan mendapatkan hal baik di depan." Aisyah terus menenangkan Jasmine dengan sentuhan lembutnya. Sedangkan Jasmine semakin mengeratkan pelukannya.

"Makasih, Bu, sudah ada di sampingku saat aku terjatuh seperti ini, padahal Ibu tidak mengenalku sama sekali." Jasmine mengeratkan pelukannya.

"Ini semua atas izin Allah, Nak," jawab Aisyah mengusap punggung wanita cantik itu.

"Terima kasih, Bu ... terima kasih." Jasmine semakin erat memeluk wanita yang menolongnya.

***

Tiga hari berlalu. Kini, waktunya Jasmine keluar dari rumah sakit. Awalnya Jasmine akan tinggal di apartemennya, tetapi Aisyah melarang untuk ia tinggal sendiri. Ibu anak satu itu khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Karena tiga hari itu mereka semakin dekat, Jasmine pun percaya bahwa Aisyah adalah wanita yang baik. Ia juga tak rela harus berpisah dengan wanita lembut itu.

Sekarang, di sinilah mereka. Sebuah rumah tingkat dua terlihat begitu asri dengan taman kecil yang dihiasi banyak bunga mawar dan anggrek. Aisyah memang suka mengoleksi dua bunga itu. Terlihat rumah itu begitu nyaman.

"Assalamualaikum, Bu Aish." Dua orang ibu-ibu menyapa Aisyah.

"Waalaikumsalam. Eh Bu Sinta, Bu Anggi. Dari mana?" tanya Aisyah pada tetangganya.

"Abis belanja, Bu. Ke mana aja tiga hari gak keliatan?" tanya Sinta.

"Eh, gadis ini siapa, Bu? Cantik banget," sahut Anggi menatap Jasmine yang berdiri di samping Aisyah.

"Oh iya, kenalin, ini Jasmine. Istri Daffa."

Jasmine membelalak saat Aisyah mengatakan itu.

"Hah? Istri Mas Daffa? Kapan nikahnya, Bu? Kenapa kita gak tahu," tanya kedua ibu itu tampak terkejut.

"Mereka nikah di Kairo, Bu, empat bulan lalu. Ini anaknya baru pulang tiga hari lalu, lagi ngidam," ujarnya.

Ya Rab, maafkan hamba yang berbohong, batin Aisyah.

"Oalah, terus Mas Daffa kapan pulang?" tanya Anggi.

"InshaAllah kalau gak ada halangan dua bulan lagi. Ya udah ibu-ibu, kami masuk dulu, kasihan Jasmine berdiri lama-lama."

"Ya udah, selamat ya, Bu, atas pernikahan Mas Daffa sama Neng Jasmine. Selamat juga kehamilan cucunya. Kalau gitu, kami pamit dulu. Assalamualaikum," ujar Sinta.

"Waalaikumsalam," jawab Aisyah yang menghela napas.

Mereka pun pergi, sedangkan Aisyah membawa Jasmine masuk.

"Duduk, Nak." Aisyah membantu Jasmine untuk duduk di sofa busa berwarna hijau mint itu.

"Bu, apa maksud Ibu bilang kalau Jasmine istri anak Ibu?" tanya Jasmine menatap Aisyah dengan tatapan bingung.

Wanita paruh baya itu pun duduk di samping Jasmine. "Maafkan Ibu, Nak. Tetangga di sini mulutnya pada jahat-jahat. Ibu gak mau kamu di bicarakan tidak-tidak oleh mereka. Jadi, lebih aman jika Ibu bilang kamu istrinya Mas Daffa," ujarnya.

"Tapi, Ibu bisa mengatakan bahwa Jasmine keponakan Ibu, kenapa harus istri Mas Daffa?" tanya Jasmine heran.

"Ibu gak punya keluarga lain selain Mas Daffa. Maafkan Ibu, Nak," ujar Aisyah merasa bersalah.

"Bu, harusnya Jasmine yang meminta maaf pada Ibu. Karena Jasmine, Ibu jadi berbohong seperti ini. Jasmine cuma gak enak sama anak Ibu nanti," kata wanita muda itu menunduk mencengkram pakainnya.

"Sudahlah, Mas Daffa tidak akan berbicara apa-apa. Yang penting sekarang kamu tenang tinggal di sini. Ibu ajak kamu ke kamar, ya, untuk istirahat."

Aisyah membantu wanita hamil itu untuk menuju kamar tamu yang sudah ia siapkan. Jasmine benar-benar merasa tidak enak dengan kebaikan Aisyah. Apalagi kini ia harus mengorbankan nama Daffa untuk ketenangan hari-harinya tinggal di rumah Aisyah.

Maafkan aku, Mas, batin Jasmine.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!