murka seorang wanita paruh baya pada Jasmine yang kini terduduk dengan memegangi kepalanya.
Tiba-tiba Jasmine merasakan kepalanya teramat pusing. Semuat terasa gelap. Suara di sekitarnya tak bisa ia dengar dengan jelas dan tiba-tiba tubuhnya terjatuh yang langsung ditahan oleh wanita paruh baya itu.
"Astagfirullah!" pekiknya.
Dengan cepat, wanita itu memanggil orang-orang di sekitarnya. Meminta mereka untuk menelepon ambulance. Si ibu panik saat melihat darah mengalir di sekitar kaki Jasmine yang saat itu mengenakan dress selutut hingga terlihat begitu jelas.
"Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa padanya." Doa wanita berkhimar hitam itu.
Tak lama, ambulance datang. Wanita itu begitu bersyukur karena ada rumah sakit dekat lokasi. Dengan segera, mereka membopong tubuh semapai itu masuk mobil ambulance.
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di rumah sakit. Jasmine pun dibawa menuju unit gawat darurat.
Wanita paruh baya itu terus berdoa, berharap wanita muda yang ia tolong selamat dengan kandungannya. Iya, dia tahu bahwa si wanita mengalami pendarahan. Ia sedikit merasa bersalah karena tadi telah membentaknya. Pasti wanita itu mengalami kesulitan hingga ingin mengakhiri hidupnya.
**
Perlahan, mata indah itu terbuka. Penglihatannya masih sedikit samar hingga ia harus mengerjap beberapa kali. Bau disinfektan tercium begitu kuat membuat Jasmine semakin menormalkan penglihatannya. Ia sangat benci bau cairan alkohol itu.
"Alhamdulilah, kamu sudah sadar." Terdengar suara seorang wanita yang tertangkap indera pendengaran Jasmine.
Wanita muda itu pun menoleh ke arah suara, menautkan alisnya. "Siapa Ibu? Di mana aku?" tanya Jasmine yang masih belum sadar sepenuhnya.
"Kamu di rumah sakit. Kamu mengalami pendarahan, alhamdulilah anakmu dan kamu baik-baik saja," jawabnya lembut.
Anak? Jasmine mencoba mengingat apa yang terjadi. Ah, kehamilan, hilangnya Rama, pengusiran papanya, pengkhianatan Disya, bunuh diri, kini semua ia ingat. Wanita itu mendesah pelan. Air matanya sudah kering dan tak bisa keluar lagi. Ia hanya terdiam menatap sang ibu yang duduk di sampingnya. "Kenapa aku gak mati aja, sih! kenapa ibu menyelamatkanku?" tanyanya sedikit kesal.
"Mati tidak akan menyelesaikan masalah, Nak," jawab wanita paruh baya itu tersenyum.
Jasmine mendesah kasar, menatap langit-langit. "Tidak ada yang menginginkanku lagi, Bu. Semua pergi meninggalkanku. Pria yang seharusnya menjadi Papa anak ini pun hilang entah ke mana, aku diusir oleh orang tuaku, lalu sahabat yang aku anggap saudara justru mengkhianatiku. Apa lagi yang tersisa? Tidak ada!"
"Masih ada Allah di sisimu," sahut ibu bermanik hitam itu. "Jangan pernah merasa sendiri, karena Allah tak pernah meninggalkan umatnya."
"Mungkin Dia membenciku hingga semua musibah ini datang. Aku membenci-Nya. Kenapa Dia melakukan ini padaku?" lirihnya. "Kenapa Tuhan begitu jahat mengambil kebahagiaanku dalam sekejap? Dia jahat! Benar-benar jahat! Lebih baik aku mati!"
Dada si ibu serasa teriris mendengar perkataan wanita itu. Dengan reflek ia memeluk Jasmine. Menenangkannya dengan belaian hangat seorang ibu. "Istigfar, Nak. Jangan bicara seperti itu. Allah mencintaimu hingga Allah memberimu cobaan ini. Allah ingin kamu lebih kuat lagi menghadapi dunia."
Wanita paruh baya itu terus mengusap punggung Jasmine. Sedangkan yang dipeluk kembali menangis. Tak cukup air mata kemarin menenangkannya.
Ya Allah, kasihan sekali anak ini. Kuatkan dia dari cobaan-Mu ini ya Rab, batin wanita paruh baya itu merasa kasihan.
Setelah sedikit tenang, ibu itu melepas pelukannya. "Jika ibu boleh tahu, namamu siapa, Nak?"
"Jasmine, Bu," jawabnya sembari mengusap sisa air mata di pipinya.
"MashaAllah nama yang indah. Kenalkan, nama ibu Aisyah. Panggil saja Ibu Aish. Kamu tinggal di mana? Apakah Ibu bisa menghubungi orang tuamu?"
Jasmine menggeleng. "Mereka sudah mengusirku dan tak menganggapku lagi. Aku mati pun mereka tak akan perduli," lirihnya.
"Tidak, Nak. Mana ada orang tua yang membenci anaknya. Seburuk-buruk kelakuan anaknya, mereka pasti memaafkanmu."
Jasmine menunduk. "Mereka memang sangat mencintaiku. Aku yang salah karena sudah mengecewakan Papa dan Mama. Aku tahu diri untuk tidak kembali pada mereka."
"Lalu kini, kamu tinggal di mana?" tanyanya lagi.
Jasmine terdiam.
Aisyah tersenyum, meraih tangan Jasmine. "Apa kamu mau tinggal di rumah Ibu? Meski sederhana, InshaAllah masih layak untuk ditinggali."
Jasmine menatap lekat wanita paruh baya itu. "Ibu tidak mengenalku, bagaimana Ibu bisa mengajakku untuk tinggal di rumah Ibu?" tanya Jasmine tak percaya.
Aisyah tersenyum. "Ibu tidak tahu, tetapi hati Ibu yang menginginkanmu untuk tinggal bersama. Bagaimana? Apa kamu mau?" tanyanya lagi.
Jasmine begitu ragu. Ia tak mengenal siapa ibu ini. Bagaimana jika ia justru dijual atau wanita paruh baya itu melakukan hal buruk padanya? Sekarang, kita tak bisa melihat seseorang dari penampilannya, bukan? Itulah dalah pikiran Jasmine.
"Saya punya apartemen di daerah Sudirman. Terima kasih atas bantuannya, Bu," tolak Jasmine halus. Ia tak mungkin asal ikut orang yang tak dikenal.
Aisyah hanya tersenyum. "Baiklah, Ibu tidak bisa memaksa. Tapi, selama kamu di rumah sakit, biar Ibu yang menjagamu."
"Tidak perlu, Bu. Saya tidak enak dengan keluarga Ibu."
"Ibu tinggal sendiri, suami Ibu sudah tiada sejak sepuluh tahun lalu. Ibu hanya memiliki anak laki-laki yang kini tengah berkuliah di Kairo. Jadi, Ibu senang jika bisa mengurusmu," jawab wanita berkhimar hitam itu pada wanita muda tersebut.
Jasmine pun akhirnya menerima bantuan dari Aisyah. Ia sendiri bingung tidak punya siapa-siapa dalam keadaan seperti ini.
Sepanjang waktu Aisyah dengan ikhlas merawat gadis muda yang baru saja ia kenal. Entah, ia merasa ada perasaan yang menggelitik di hatinya untuk merawat wanita muda itu. Ia merasa tak tega pada Jasmine yang hidup sendirian dalam keadaan hamil muda.
Pagi hari, terdengar suara wanita yang tengah muntah di kamar mandi. Siapa lagi kalau bukan Jasmine yang tengah mengalami morning sickness.
"Ya Allah, Nak. Kamu tidak apa?" tanya Aisyah yang baru datang setelah kembali dari luar.
Aisyah sendiri memiliki sebuah toko yang menjual aneka kue basah dan kue tradisional lainnya. Tokonya berada tak jauh dari lokasi di mana Jasmine berencana mengakhiri hidupnya juga dari rumah sakit ini. Karena itulah ia datang untuk mengecek pekerjanya dan mengatakan bahwa ia tak datang untuk beberapa hari.
Jasmine terduduk lemas. Rasa ngidamnya begitu parah hingga setiap pagi ia tak berdaya dibuatnya. Sebelum orang tuanya tahu keadaannya, ia selalu diberi minuman jahe oleh sang mama. Namun kini, ia menghadapinya sendirian.
"Ayo, Ibu bantu." Aisyah memapah Jasmine menuju brankarnya. Dengan lembut, wanita berusia empat puluh lima tahun itu membaringkan Jasmine.
"Masih mual?" tanyanya.
Jasmine menggeleng dengan lemas. "Bu, apakah wanita hamil selalu seperti ini? Aku sungguh merasa tersiksa dengan kehamilan ini," lirih Jasmine.
Aisyah tersenyum, mengelap sisa air di bibir Jasmine. "Memang seperti itu. Dulu, bahkan ibu sampai bolak balik rumah sakit karena dehidrasi berat. Tapi, itulah keistimewaan seorang perempuan. Jika ia ikhlas menjalani masa kehamilan, pahalanya sama seperti berpuasa di siang hari, dan salat di malam hari," ujar Aisyah menjelaskan.
Jasmnine tertunduk. "Tapi, aku hamil di luar nikah, apa akan memiliki pahala yang sama?"
"Jika kamu bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sungguh, InshaAllah akan sama." Aisyah mengusap lembut punggung Jasmine.
Jasmine kembali menangis. Ia merasa sangat hina dan berdosa. "Mungkin Allah menghukumku sekarang karena aku selalu lalai menjalani kewajibanku sebagai muslim. Allah marah dan memberikan hal buruk ini." Jasmine terisak menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Aku benar-benar wanita hina. Apa bedanya aku dengan wanita malam?"
"Ya Allah, Nak, tidak seperti itu, Sayang. Jangan berpikir buruk." Aisyah memeluk tubuh semapai yang lemah itu. "Justru Allah teramat mencintaimu, Nak. Allah iri kepada dunia ini, karena kamu terlalu mencintainya. Allah ingin kamu kembali padaNya. Saat Allah memberimu kebahagiaan, mungkin kamu lupa pada-Nya. Jadi, Allah beri kamu cobaan hingga kamu mengingat dan kembali berbalik pada-Nya." Aisyah mencoba menenangkan Jasmine. Ia tahu bahwa gadis muda itu tengah mengalami depresi.
Tangisan Jasmine semakin pecah. Mungkin benar apa yang dikatakan Aisyah. Ia terlalu terbuai dengan gemerlap dunia, hingga lupa akan adanya Sang Pencipta. "Apakah Allah akan mengampuniku?" tanyanya.
"Tentu, Nak. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, serta Maha Pengampun. Selagi kamu bersungguh-sungguh bertaubat, InshaAllah Allah akan mengampunimu."
"Bantu aku bertaubat, Bu," kata Jasmine di sela tangisannya.
"Alhamdulilah. InshaAllah, Ibu akan membantu sebisa Ibu. Sudah, jangan bersedih lagi. Kasihan anak dalam kandunganmu." Aisyah melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mata Jasmine. "Sarapan dulu, ya, mumpung masih hangat." Aisyah meraih nampan berisi makanan berniat untuk menyuapi Jasmine.
Wanita berambut sepunggung itu menatap tak suka makanan di nampan. Ia benar-benar tak berselera untuk memakannya.
"Kenapa?" tanya Aisyah. "Apa kamu mual lagi?"
Jasmine menatap ragu Aisyah. Ia sungguh tak ingin merepotkan ibu paruh baya itu. Namun ....
"Kamu tidak mau makan ini? Apa kamu ingin makan sesuatu?" tanyanya lagi.
"A-aku ingin bubur ayam yang di Radio Dalam," ujarnya ragu.
"Bubur ayam yang di Radio Dalam? Dekat dengan persimpangan?" tanya Aisyah.
Jasmine mengangguk yang disenyumi Aisyah. "Baiklah, Ibu akan membelikannya."
Aisyah hendak berdiri, tetapi ditahan Jasmine. "Tidak usah, Bu. Mungkin itu hanya keinginan saja, aku makan ini aja." Jasmine meraih nampan itu. Kembali, ia menatap ragu makanan yang berisi sayur bening serta tahu tempe ditambah ayam kecap yang membuatnya mual.
"Jangan dipaksakan. Ibu akan membelikan bubur itu." Aisyah meraih nampan itu dari tangan Jasmine.
"Tapi ...."
"Itu tidak jauh dari sini. Ngidamnya orang hamil harus dituruti biar hatinya bahagia. Sabar, ya, Ibu jalan sekarang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Tapi Bu ...."
"Kamu diam saja."
Aisyah pun pergi dari ruang perawatan Jasmine. Wanita cantik itu benar-benar tersentuh dengan apa yang dilakukan wanita paruh baya yang baru ia kenal tersebut. Hatinya terasa begitu damai, tak seperti sebelumnya. Merasakan kasih sayang dari seorang ibu, memang kedamaian yang luar biasa.
Berbicara tentang Ibu, tiba-tiba Jasmine mengingat sang mama. Ia merindukan belaian kasih sayang Dayana. Menjadi anak semata wayang, membuat Jasmine dilimpahi banyak cinta. Kini, tak ada cinta sedikit pun dari orang tuanya.
"Apa Mama dan Papa akan khawatir jika melihat Jasmine dirawat seperti ini?" gumamnya.
Jangankan dirawat seperti sekarang, ia terserang flu saja, kedua orang tuanya benar-benar panik hingga memanggil dokter pribadi mereka saat tengah malam. Jasmine tersenyum miris mengingat momen indah itu.
"Maafin Jasmine, Pa ... Ma ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments