Jasmine
Tangan Jasmine gemetar dengan jantungnya yang berdebar begitu cepat saat melihat hasil yang ditunjukkan benda kecil di tangannya. Air matanya menetes saat alat tes kehamilan itu menunjukkan dua garis merah. Tidak mungkin! Bagaimana bisa ini terjadi?
Tubuh mungil itu ambruk dengan tangan menutup mulutnya yang ingin histeris. Bahunya naik turun dengan tangan masih gemetar memegang alat kecil tersebut.
"Jasmine, Jasmine ...."
Wanita berambut hitam itu menoleh ke arah pintu yang digedor. Tubuhnya tiba-tiba dingin mendengar sang mama yang memanggilnya.
"Sayang, apa kamu di dalam? Ayo cepat turun. Kita sarapan," ujar Dayana pada anak tunggalnya itu. "Jasmine .... "
"Iya, Ma. Sebentar lagi aku turun," jawab Jasmine yang mencoba mengontrol diri.
"Oke, Mama dan Papa tunggu di meja makan, ya," sahut wanita paruh baya itu.
"Iya, Ma," jawab Jasmine dengan mengepalkan tangannya.
Dayana pun pergi meninggalkan sang anak yang sebenarnya tengah tidak baik-baik saja.
Setelah menguatkan diri, Jasmine pun beranjak dengan sekuat tenaga. Ia berjalan menuju ranjang, duduk di sana dan meraih ponselnya di nakas. Wanita bermata bulat itu dengan tangan gemetar mencari kontak orang yang harus tahu pertama kali tentang hal ini.
My Rama. Nama tersebut yang ia coba hubungi.
Wajah cantik itu sangat gelisah menunggu panggilan diterima oleh kekasihnya. Dada Jasmine berdebar hebat saat beberapa kali panggilannya tak diterima laki-laki itu.
"Angkat teleponnya, Ram!" ujar Jasmine dengan tangan gemetar.
Semalam mereka masih berbincang, tetapi Kenapa sekarang lelaki itu menghilang?
Jasmine mendesah. Ia baru ingat kalau Rama biasa bangun siang hari. Jasmine pun berusaha berpikir positif bahwa kekasihnya tengah tertidur. Ia akan menghubunginya nanti.
Kini, wanita cantik itu berusaha untuk menekan kepanikannya. Rama pasti akan tanggung jawab dengan kehamilannya. Ia tahu betul bahwa lelaki itu sangat mencintainya. "Rama pasti tidak akan meninggalkanku," ujar wanita bermata bulat itu meyakinkan diri.
Setelah menenangkan perasaannya, ia berjalan keluar kamar dan turun menuju ruang makan. Ia tunjukkan wajah ceria pada kedua orang yang kini menunggunya.
"Pagi, Ma ... Pa ....," sapa Jasmine dengan ceria memeluk satu per satu orang tuanya.
"Pagi, my Jasmine. Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Abimanyu pada anak semata wayangnya itu.
"Sangat nyenyak, Pa," jawab Jasmine dengan duduk di samping cinta pertamanya itu.
"Hari ini pergi ke kampus?" tanya lelaki paruh baya itu kembali.
"No, Papa. Hari ini aku libur," sahut Jasmine yang akan melahap sandwichnya. Namun, tiba-tiba ia berlari dan memuntahkan roti isi yang belum sempat ditelan itu.
Melihat sang anak yang muntah-muntah, Dayana juga Abimanyu berlari menyusul Jasmine yang tengah menunduk di washtafel dekat dapur.
"Sayang, are you okay?" tanya Dayana panik.
"Ayo." Abimanyu menuntun sang anak kembali menuju ruang makan. Ia dudukkan di kursi.
"Namima!" teriak Dayana.
Tak lama wanita tiga puluh tahunan dengan pakaian serba hitam datang.
"Ada yang saya bisa bantu, Nyonya?" tanya Namima—kepala pelayan itu.
"Tolong buatkan jahe hangat untuk Jasmine. Cepat!" ujar sang nyonya yang langsung diangguk Namima.
Jasmine sendiri menutup mata dengan kepala bersandar di bahu sang papa yang mengusap punggungnya.
"Kita ke dokter, ya. Sejak kemarin kamu mual-mual gini," ujar Abimanyu merasa khawatir pada keadaan sang anak.
"Enggak apa-apa, Pa. Kayaknya Jasmine cuma masuk angin. Nanti istirahat juga baikan," jawabnya dengan sedikit serak.
Tak lama Namima membawakan secangkir jahe hangat yang diminta sang nyonya. Setelah itu, Dayana memberikan pada anak tunggalnya.
"Sudah membaik?" tanya Dayana yang tampak khawatir.
"Better, Ma," jawab Jasmine yang memeluk lengan sang papa.
"Mau sarapan apa, Sayang? Biar Mama suruh chef membuatkan makanan untukmu," ujar Dayana. kembali merasa sangat cemas.
"Enggak, Mama. Aku masih sedikit mual. Nanti kalau sudah tidak mual, Jasmine akan makan," jawab wanita muda itu meyakinkan orang tuanya bahwa dia baik-baik saja.
"Ya sudah, kamu istirahatlah. Ayo, Papa antar."
Abimanyu pun membantu anak kesayangannya itu menuju kamar di lantai dua. Sampai di sana, lelaki itu membaringkan Jasmine, lalu menutupi tubuh sang anak dengan selimut. Ia kecup lembut keningnya.
"Istirahatlah. Papa berangkat ke pengadilan dulu. Kalau masih gak enak badan, nanti Papa antar ke rumah sakit, ya." Abimanyu mengusap lembut kepala sang buah hati.
Melihat betapa sayangnya sang papa, tiba-tiba rasa bersalah menyelimuti Jasmine. Bagaimana bisa ia mengecewakan lelaki itu dengan keadaannya sekarang. Papanya pasti sangat kecewa dan hancur jika tahu bahwa dia telah merusak kepercayaan yang diberikan oleh orang tuanya.
"Loh, kenapa nangis?" tanya Abimanyu khawatir.
"Pusing," jawab Jasmine yang membuat Abimanyu tersenyum kecil.
"Kamu ini, sudah dua puluh tahun kok pusing saja nangis." Abimanyu mengusap air mata anaknya itu.
Jasmine menggenggam tangan papanya. Ia sungguh ingin mengatakan segalanya, tetapi ia sangat takut apalagi Rama masih belum bisa dia hubungi.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu, nanti setelah dari pengadilan Papa temani, ya." Abimanyu kembali membujuk sang anak yang ia tahu ingin ditemani. Namun, hari ini ada sidang yang tak bisa ia tinggalkan.
Setelah Jasmine berkata baik-baik saja, lelaki paruh baya itu keluar kamar sang anak. Menemui istrinya yang menunggu di ruang tamu dengan memegang jas miliknya.
"Gimana Jasmine?" tanya Dayana membantu merapikan jas yang dipakai suaminya.
"Sudah baikan. Nanti pulang dari pengadilan kalau keadaannya masih lemas, aku akan mengantarnya ke rumah sakit," jawab Abimanyu mengenakan jam yang diberikan sang istri. "Kalau begitu aku jalan dulu. Kalau ada apa-apa hubungi Marco." Ia mengecup kening istrinya.
"Hati-hati. Semoga kasusnya menang," sahut Dayana pada suaminya yang adalah seorang pengacara.
Abimanyu pun tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, sepasang suami-istri tersebut melangkah keluar rumah. Dayana melambaikan tangan saat mobil suaminya berlalu meninggalkan mansion megah itu.
Di kamarnya, Jasmine kembali gelisah. Ia meraih ponselnya, lalu menelepon seseorang.
"Halo, Sya. Kamu di mana?" tanya Jasmine.
"Di apartment. Ada apa?" tanya Disya—sahabat Jasmine.
"Sya, a-aku bingung," ujar Jasmine gelisah dengan menggigit kukunya.
"Are you okay? Kamu terdengar tidak baik-baik saja, Jas. Ada apa? Cerita sini," kata Disya yang merasa sahabatnya punya masalah.
"Rama gak bisa dihubungin. Ada apa, ya?" tanya Jasmine bingung.
"Sejak kapan gak bisa dihubungi? Bukannya semalam kalian masih telponan?" tanya Disya. Pasalnya memang semalam saat Jasmine berada di apartemen Disya ia dan Rama telponan. Bukannya apa, Jasmine dan Rama tak dapat restu dari kedua orang tua sehingga mereka menutupi hubungan mereka.
"Sejak pagi, Sya. Aku benar-benar harus bicara dengan Rama," jawab Jasmine gelisah.
"Mungkin dia masih tidur kali, Jas. Memang ada apa? Kenapa kedengarannya kamu seperti gelisah begitu?" tanya Disya.
"Sya ... a-aku hamil," ujar Jasmine meneteskan air mata.
"What? Hamil? Anak Rama?" tanya Disya kaget.
"Iya anak dia. Kamu pikir anak siapa," gerutu Jasmine menghapus air matanya.
"Kamu tahu darimana kamu hamil?" tanya Disya lagi.
Jasmine pun menceritaka segalanya bahwa sudah dua bulan ia tak datang bulan. Lalu, semingguan ini ia juga merasa tak enak badan. Jasmine tak bodoh yang tak tahu tanda-tanda kehamilan sebab wanita cantik itu paling pintar dalam pelajaran biologi. Apalagi ia pernah melakukan hubungan itu bersama Rama beberapa kali. Akhirnya ia memutuskan membeli test pack dan ia coba tadi pagi.
"Astaga, Jasmine." Disya hanya menghela napas mendengar itu. "Kita pergi ke dokter sekarang. Kita harus cek pada dokter apakah benar kamu hamil. Kadang test pack tidak akurat," sahutnya.
"Aku takut, Sya. Papa bisa membunuhku jika tahu. Apalagi ayah dari anak ini adalah Rama," kata Jasmine gelisah.
"Satu jam lagi aku akan menjemputmu. Kita harus cek ke dokter dulu agar akurat," sahut Disya yang akhirnya disetujui Jasmine.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments