Kedua pemuda mengenakan pakaian serba putih dan masing-masing menggenggam sebilah pedang panjang terlihat berjalan menuju sebuah sungai yang terletak tidak jauh dari hadapan mereka.
Kedua pemuda itu secara bersamaan mengayunkan pedang untuk menyingkirkan rerumputan liar yang menghalangi jalan di depan mereka.
Mereka adalah Zayan dan Aidan. Dua prajurit kebanggaan kota Flos Terra, yang juga merupakan anak dari raja di kota tersebut.
Zayan memiliki wajah yang paling tampan dari semua prajurit yang ada, bukan hanya terkenal tampan di kalangan prajurit. Zayan juga sangat populer di kalangan gadis-gadis musim gugur dan gadis musim semi.
Gadis mana yang tidak mengenalinya, hampir setiap langkahnya selalu menjadi pusat perhatian.
Wajahnya lonjong dengan tulang pipi yang terlihat tegas, kulitnya berwarna kuning langsat, terlihat berkilau saat tertimpa sinar matahari, bibirnya tipis, hidung lancip dan mata sendu dengan bola mata berwarna coklat, mampu menghipnotis siapa pun yang melihatnya. Sementara bentuk tubuhnya sangatlah proporsional, tingginya mencapai 170 cm, dengan otot yang terlihat menonjol di bagian lengan dan perut.
Berbeda dengan Aidan yang walaupun tampan, tetapi akan terlihat biasa saja saat bersanding dengan Zayan. Hal itu terkadang membuatnya merasa kesal. Mereka memang satu ayah, tetapi berbeda ibu. Jika Zayan hannyalah seorang putra dari seorang selir, berbeda dengan Aidan yang merupakan putra dari seorang permaisuri.
Meskipun demikian, mereka berdua sangatlah akrab. Bisa dikatakan mereka tak terpisahkan. Di mana ada Zayan maka di situ pula ada Aidan. Mereka selalu bertarung bersama saat wilayah mereka sedang berperang dan selalu bersantai bersama saat wilayah mereka berada dalam kondisi yang baik-baik saja.
"Pedang ini ditempa oleh pembuat pedang terbaik di Oppidum Gladio. Membutuhkan waktu yang lama dengan harga yang juga sangat mahal. Sungguh sangat memalukan ia akhirnya hanya menjadi pemotong rumput liar di tepian sungai!" keluh Aidan.
Zayan tertawa mendengar keluhan dari saudaranya. "Seharusnya kamu bersyukur pedang gagahmu itu hanya bertugas untuk membersihkan rumput. Itu artinya wilayah kita sedang dalam keadaan yang baik-baik saja!"
"Tetap saja, ini seperti ... sebuah pelecehan!"
Zayan kembali tertawa. "Aku dengar Rex Regum akan tiba pada musim gugur tahun ini, apa kabar itu benar?" tanya Zayan.
"Entahlah. Para gadis akan memancarkan auranya pada akhir musim semi, bukan? Aku rasa dirinya tidak akan kembali sebelum waktu itu!" jawab Aidan.
"Ya, aku pikir juga begitu. Dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk memikat gadis-gadis itu dengan ketampanannya."
"Yap, setelah pengkhianatan yang dilakukan Yasmin, aku rasa dia tidak akan berhenti membuat dirinya dikerumuni oleh gadis muda. Bentuk pembalasan dendam yang sempurna!" Aidan terkekeh, lalu kembali mengayunkan pedang panjangnya.
"Jangan, Aidan!" Zayan menangkap pedang itu di udara sebelum menyabet rerumputan yang ada di depannya, membuat tangannya terluka.
"Hai, apa yang kamu lakukan, Zayan?" Aidan terkejut melihat darah segar mengalir dari telapak tangan saudaranya.
Zayan tidak menghiraukan keterkejutan yang terlihat jelas di wajah Aidan. Ia menunduk kemudian menyentuh sesuatu yang tersembunyi di balik rerumputan. "Dandelion. Mereka bisa menari!"
"Astaga, Za. Jangan mulai! Cepat bangkit dan ayo kita temui tabib. Tanganmu harus segera disembuhkan! Bagaimana kamu bisa memegang pedang jika tanganmu terluka seperti itu. Ingat, musuh bisa tiba kapan saja, di mana saja dan dari mana saja." Aidan menarik lengan Zayan dengan paksa. Lalu beranjak pergi meninggalkan semak dandelion yang tiba-tiba berubah menjadi berwarna merah karena tetesan darah dari telapak tangan Zayan.
***
"Aaw!" Keysa melepas pensil yang tadi sedang berusaha ia runcingkan menggunakan sebuah silet. Tanpa sengaja silet itu melukai jarinya, membuat sketsa yang sedari tadi ia buat dengan susah payah terkena noda darah. "Yaaaah, rusak!" keluhnya.
Amelia mengerutkan alisnya. "Seharusnya kamu mengkhawatirkan tanganmu. Bukan gambarmu!"
"Tetap saja gambar ini lebih sayang. Dandelionnya hampir sempurna, Mel. Tapi sekarang rusak," lirihnya.
"Kamu bisa gambar yang baru. Lagi pula kenapa harus dandelion? Gambar saja mawar, lebih simpel 'kan?" ujar Amelia.
"Karena dandelion bisa menari. Begitu kata peri yang selalu hadir di dalam mimpiku," jawab Keysa yang hanya disambut oleh galengan kepala oleh Amelia.
Saat ini mereka sedang berada di sebuah kamar kos milik Amelia yang terletak tidak jauh dari kampus. Saat jadwal mata kuliah sedang Padat, Keysa akan memilih untuk menginap di kamar kos milik Amelia.
Bukan tanpa alasan, mengingat jarak antara kampus dan juga tempat tinggalnya yang sangat jauh, maka menumpang di kediaman Amelia merupakan cara terbaik yang bisa ia lakukan.
"Kamu terlalu banyak membaca novel, sehingga kamu selalu saja berkhayal! Peri? Mana ada, Key!"
"Kamu memang tidak akan percaya jika kamu belum melihatnya secara langsung. Lain kali saat mood-ku sedang bagus, akan aku gambarkan bagaimana rupanya," ujar Keysa bersemangat.
"Ya, ya, semoga peri itu setampan V BTS!" sahut Amelia, skeptis.
"V BTS saja lewaat, tahuuu! Pokoknya peri ini lebih tampan dari V. Aku dua rius!"
"Ya, ya, baiklah. Tolong gambarkan lengkap dengan sayapnya."
Keysa menggigit ujung pensilnya. "Peri ini tidak punya sayap, Mel."
"Kalau begitu dia bukan peri!" jawab Amelia santai.
"Terus apa dong?"
"Dia itu hanya separuh khayalanmu yang tidak bisa kamu kendalikan," ujar Amelia kemudian bangkit dari lantai dan berjalan menuju tempat tidur kecil yang ada di kamar itu.
"Dia bukan bagian dari khayalanku, Mel. Aku yakin. Saat di perkebunan mawar kemarin sore pun aku mendengar suaranya. Aku ... aku ...."
"Jangan kebanyakan 'aku'. Ayo tidur, besok ada kelas pagi dengan Pak Edwin. Bisa kena semprot kalau sampai terlambat."
***
Keysa memetik bunga Dandelion dan meniupnya dengan lembut. Helai halus berwarna putih kemudian beterbangan dengan anggun. Berbaur bersama angin yang berembus dengan lembut.
Keysa memperhatikannya sambil tersenyum, angin terasa sejuk sekali, belum lagi matahari yang bersinar sangat cerah membuat suasana menjadi semakin terasa indah. Panas memang, tetapi tetap terasa sejuk.
"Ehem!" terdengar suara seseorang mengagetkannya.
"Kamu!" seru Keysa.
"Hai!" pria yang berpenampilan bagai seorang peri berbaju besi itu melambai dan tersenyum kepada Keysa.
Waktu terasa berhenti saat kesunyian hadir di antara mereka, hanya sorot mata kagum yang terpancar dari kedua makhluk berbeda dunia itu.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Keysa kemudian.
"Aku yang seharusnya bertanya. Kamu sedang apa di sini. Ini wilayahku. Kamu tidak seharusnya berada di sini," sahut pria itu yang tak lain adalah Zayan.
"Wilayahmu?" Keysa terlihat bingung.
"Ya, wilayahku."
"Tepatnya kita sedang berada di mana sekarang?" tanya Keysa, sambil mengedarkan pandangannya. Belum lagi Zayan menjawab pertanyaannya, ia kembali berseru. "Waaah!" Ia baru menyadari bahwa dirinya berada di sebuah padang yang luas, di sisi tempatnya berdiri merupakan padang dandelion yang sangat luas, sementara jauh di depan sana merupakan perkebunan mawar dengan pemandangan yang sangat tidak asing baginya.
Keysa mengerjap, tidak habis pikir dengan apa yang ia lihat. Dunia yang ia lihat sekarang seperti dunia nyata dan dunia lain yang saling berdampingan tanpa garis pembatas.
Di tempatnya berdiri terdapat ribuan atau bahkan ratusan ribu dandelion yang terlihat indah tertimpa sinar matahari dan bergerak lembut tertiup angin, sementara di sisi lain--di perkebunan mawar--terlihat gelap, hanya cahaya bulan yang menerangi ribuan bunga mawar yang terhampar bagai karpet merah di bumi. Gelap, merah, misterius.
"Bukankah kamu berasal dari sana? Aku melihatmu berlarian beberapa hari yang lalu dengan gadis kecil berambut ikal," ucap Zayan.
"Jadi itu kamu? Yang kudengar saat itu nyata?" tanya Keysa.
"Apa menurutmu aku tidak nyata. Bukankah kita sudah bertemu berkali-kali. Aku pikir kamu memang tahu cara datang kemari, itulah sebabnya kamu selalu datang." Zayan mengerutkan dahinya.
"Tunggu dulu." Keysa mendekat ke arah Zayan. "Coba pukul aku?" pintanya kemudian.
"Hah! Untuk apa?" Zayan terlihat bingung.
"Pukul saja, cepat!"
Plak!
"Key, bangun, sudah pagi. Kita hampir telat."
Keysa membuka kedua matanya dan merasa kesal sekali mendapati Amelia sedang memukul-mukul pipinya, berusaha untuk membangunkannya.
"Kenapa kamu bangunkan aku, Meeeel!" rengeknya, lalu kembali berbaring dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Kami bahkan belum berkenalan!"
Amelia yang sudah hafal dengan tingkah Keysa menarik tangan Keysa dengan paksa. "Banguuun cepat! Jangan mulai menghayal lagi, Keeey!"
"Iiih, Ameeeel!"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Rihana.hana
Amelia mengganggu saja, padahal sedikit lagi tu..
2023-01-18
1