MOZAIK II

Selarik cahaya keemasan yang memancar di ufuk barat menembus celah-celah papan dinding salah satu gubuk kecil di sebuah desa P kecamatan A kota S. Samar-samar deburan ombak terdengar cukup nyaring di kawasan desa tersebut. Walaupun jarak yang membentang antara desa dengan pantai terdekat terbentang sejauh beberapa kilometer namun hal itu tidak menjadi pembatas untuk pendengaran warga desa menangkap sayup-sayup suara deburan ombak memecah pantai. Utamanya pada waktu subuh dan di ujung paling kulon desa tersebut, indah sangat indah.

Goresan cat putih awan yang menghiasi kanvas langit yang tadinya biru jernih secara perlahan mulai berubah kuning keemasan sedikit demi sedikit. Dalam buaian pesona langit senja, sepasang manik mata penikmat senja dengan jernih memantulkan larik emas cahayanya kedalam memorinya untuk sekedar diabadikan menjadi sebuah kenangan indah untuk kehidupan dimasa yang akan datang. Kemuning mentari yang nyaris tenggelam di langit ufuk barat tersebut semakin memekat berwarna jingga, sehingga pantulan mega merah yang tadinya samar-samar terlihat kini dengan jelas dapat dinikmati dengan lebih leluasa oleh para penikmat senja yang juga sedang asyik berjalan kaki menuju masjid hanya sekedar untuk mensyukuri semua nikmat dan pemberian Sang Maha Esa.

Namun sayang, kini salah satu penikmat senja itu sudah melupakan pesona langit senja di saat itu hanya karena sebuah rasa dan bayangan yang tidak dapat diraba eksistensinya.

...****************...

Setitik kenangan indah dimasa kecil itu masih membayang di pelupuk mataku dalam kesahajaan malam. Dari kedalaman terdalam palung hati yang mulia membeku keras, tetes-tetes air mata itu selalu bertahan untuk tetap bersembunyi dibalik kegelapan malam hari-hari yang berlalu. Dari yang tadinya hanya satu dua tetesan air mata yang menetes, kini secara perlahan mulai menggenang menganak sungai membasahi wajah kuyuku.

Setitik ingatan itu membawa terbang kembali kebahagiaan kecilku dimasa lalu, meskipun hanya sesaat, hal ini jauh lebih dari sekedar cukup untuk membuat jiwaku sedikit terhibur karena celah-celah dinding ingatanku ternyata masih cukup kuat untuk sekedar bertahan menyimpan potongan-potongan memori kenangan hidup disebuah desa yang cukup terpencil di kota tempat diriku lahir dan dibesarkan.

Secara keseluruhan saat kilas-kilas kenangan tersebut berkumpul, sebuah ingatan utuh mulai menceritakan kembali dalam gelapnya malam beberapa adat kebiasaan desa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang sebagiannya nyaris punah ditelan arus perkembangan teknologi dari masa ke masa. Dulu rasanya selembar kertas bertuliskan angka 5 ribu sudah terasa begitu cukup untuk dibawa berbelanja kesebuah warung, hingga setibanya di rumah beberapa bahan makanan sudah siap sedia untuk diolah menjadi makanan lezat seadanya khas kebiasaan masyarakat setempat.

Juga pada masa itu kegembiraan rasanya bukanlah suatu hal yang begitu mahal serta langka untuk bisa diraih oleh siapapun. Hanya berbekalkan beberapa buah permainan tradisional yang sederhana, ataupun menatap senja maupun langit malam pada hari-hari bulan berada dalam keadaan purnama, rasanya Itu semua sudah begitu cukup untuk dijadikan sebagai sebuah hiburan bagi para warga desa yang memilih untuk tetap setia dengan kesederhanaan dan kesahajaan dengan tetap menjaga nilai-nilai kesopanan yang diturunkan oleh para leluhur.

Dirinya dimasa lalu, dulu hanyalah sosok naif yang begitu buta akan semua kekejaman hidup yang bersembunyi dengan begitu apik dibalik indah gemerlapnya bintang gemintang malam hari. Namun sungguh menyesalkan hatinya saat ini, saat dimana dirinya hanya bisa berandai-andai 'Duh seandainya aku masih bisa seperti ini dan seperti itu..' namun apalah daya, semua roda kehidupan pasti akan tetap terus berputar.

Ya berputar. Roda kehidupan semua manusia pasti akan terus berputar-putar membalik keadaan anak Adam dan hawa, berubah-ubah dari atas kebawah atau dari bawah keatas sesuai dengan nasib hidup yang telah menjadi bagian dalam takdir hidupnya.

Dulu, dirinya tidak pernah memiliki gambaran ataupun khayalan jika suatu saat dirinya akan berada pada titik dimana saat ini dia berdiri. Berdiri ditengah-tengah keheningan dan kehampaan, berjuang dengan penuh asa antara adanya harapan dan ketiadaan nya. Sepi, itulah yang kini aku rasakan sesaat setelah semua proyeksi masa laluku mulai meredup lemah memandangi visi hidup dimasa lalu. Seakan-akan semua visi misi itu kini sedang berbalik tertawa mengejek dan mencemooh ku yang masih tertinggal jauh dari "Kesuksesan".

'Jangan pernah berfikir akan ada setitik cahaya yang melindungi dan menarikmu dari cengkeraman tanganku. Karena sejauh apapun kamu berusaha keras untuk memusnahkan dan menghancurkan ku, aku akan tetap bertahan dan berusaha keras untuk menjeratmu lebih kuat dalam genggaman dan pekukanku' bisik suara lain menggema samar dari balik sisi gelap jiwaku.

Lagi-lagi hanya menangis dan mengepalkan kedua telapak tangan saja yang masih bisa kulakukan untuk menahan semua gejolak amarah yang mulai mengikis pendaran cahaya redup bayangan hidup di masa lalu itu. Jujur.. lagi-lagi kebingungan itu kembali mendera sisi waras jiwaku. Aku ini sebenarnya apa dan siapa, kenapa aku harus berada dalam lingkaran hitam yang menyesakkan ini?

"Tuhaaaan.. apa salah ku.. kenapa aku harus terjebak dan terikat dengan mereka yang bahkan tidak ku kenali keberadaannya..? tolong aku Tuhan.." bisikku lemah menangis pilu ditengah-tengah kegelapan malam rumah ibuku.

"Tuhan.. kadangkala aku berfikir, apakah ini semua adalah kutukan, atau engkau sedang menghukum ku karena semua kelancangan yang kulakukan tanpa tahu jera terhadap semua peringatan yang engkau turunkan untuk menyadarkan ku?" Lanjutku mrintih dalam tangis yang menyayat hati ditengah-tengah kesunyian dan lelapnya malam.

Tadi sore sehabis ashar aku masih bisa asyik menatap dalam hamparan langit sore yang beranjak pergi meninggalkan mega merah untuk bersembunyi dibalik selimut kegelapan. Bayang-bayang kumandang adzan Maghrib di desa di masa itu yang mulai menyeru umat untuk bersegera memenuhi panggilan Tuhan dan mengadukan keluh kesahnya kembali bergelayutan dalam benakku. Juga titik-titik sinar putih yang tadinya jarang-jarang muncul, secara perlahan juga mulai bermunculan menjamur di kegelapan malam. Seakan-akan membisikkan jika malam kini sudah datang secara perlahan. Riuh rendah suara anak-anak kecil yang berlarian menuju masjid untuk shalat Maghrib juga mengaji mulai berhamburan memenuhi jalan setapak desa menuju masjid ataupun musholla terdekat yang ada.

Tidak hanya masjid saja yang ramai dengan kidung-kidung pujian anak-anak dan orang tua dalam menanti para jama'ah Maghrib, disebuah rumah dari salah satu rumah-rumah yang ada di barisan kanan jalan setapak desa juga begitu riuh akan perdebatan sepasang adik kakak yang begitu asyik bersenda gurau seusai shalat Maghrib sekedar untuk mengisi waktu mereka dalam menunggu sang ayah untuk mengajar mereka mengaji.

Sekalipun kediaman mereka berdekatan dengan musholla namun sang ayah tetap memilih mengajarkan ilmu Iqra' sebagai dasar untuk membaca Al-Qur'an secara langsung, baru setelah anak-anaknya lancar mengaji dan menuntaskan Iqra' mereka aman dilepas untuk mengaji di masjid dengan imam masjid. Baik itu anak lelaki maupun perempuan tidak ada perbedaan dalam mengenalkan mereka dengan agama mereka, ataupun dalam pendidikan mereka.

Hanya sedikit yang dapat "seseorang" itu susun dalam kepingan ingatannya pada masa menggembirakan tersebut. Yang mana masa itu adalah masa penuh keceriaan dan apa adanya hidup tanpa ada satupun topeng yang mengelabui. Yah setidaknya itulah yang dirasakan oleh seorang gadis kecil yang mulai memasuki usia taman kanak-kanak. Polos dan suci. Namun siapa sangka jika dibalik sosoknya yang begitu ceria nantinya akan berubah 180 derajat menjadi sosok lain yang sangat jauh dari ekspektasinya sendiri.

"Mas.. Ria ngajinya udah sampai sini" ujar seorang anak kecil yang menyebut dirinya dengan Ria dengan sedikit pamer. Sedangkan sosok "mas" yang menjadi teman bicaranya tidak merespon cuitan nya kecuali hanya dengan melirik apa yang ditunjuk oleh sang adik seraya tetap melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti karena celotehan sang adik. Yah 'nderes' sudah seperti menjadi kewajiban bagi semua orang yang ingin belajar membaca Al-Qur'an dengan harapan supaya bacaan Iqra'nya semakin lancar karena sering kali diulang-ulang.

Tap tap tap. Suara derap langkah yang mulai menyambangi kedua anak tersebut secara perlahan mulai membuat suasana yang tadinya agak sedikit gaduh menjadi hening sejenak sebelum akhirnya sang ayah mendudukkan diri di tengah-tengah kedua anaknya seraya meminta si kecil untuk langsung mulai membaca ta'awudz sebelum mengaji. Dengan sedikit berdebar dan ketakutan gadis kecil itu mulai mengikuti instruksi sang ayah dengan gugup seraya membisikkan kepada dirinya sendiri kata-kata ajaibnya 'jangan takut kamu pasti bisa'.

Terpopuler

Comments

Sheninna Shen

Sheninna Shen

Novelnya bagus, aku suka cara penggunaan majasnya. Semangat thor !!!

2023-01-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!