MOZAIK III

Hembusan karbondioksida secara perlahan mengalir lembut diantara kata demi kata yang terucap dengan pelan mulai menerbangkan sisa-sisa ketegangan yang ada. Sebuah suara yang terdengar begitu kekanak-kanakan dengan begitu lancar mengikuti bacaan demi bacaan huruf sang ayah terhadap berbagai macam bentuk huruf Hijaiyah yang tertulis tepat dihalaman Iqra' Baghdad dengan kertas sewarna abu-abu yang begitu khas ada pada beberapa jenis buku bergaya usang.

'Turutan'. Itulah julukan yang diberikan oleh semua anak dan guru-guru mengaji pada masa itu untuk sebuah buku dasar membaca Al-Qur'an dengan sampul khasnya yang berwarna hijau serta gambar masjid yang begitu indah pada bagian sampul depannya.

أَ إِ أُ بَ بِ بُ تَ تِ تُ ثَ ثِ ثُ دَ دِ دُ ذَ ذِ ذُ

Alif fathah a.., aif kasroh i.., alif dhummah u... A.. i.. u ..

Seperti itulah kiranya cara anak-anak belajar membaca Iqra' tersebut. Dengan bimbingan guru yang memberikan beberapa contoh diawal untuk membaca huruf-huruf Hijaiyah yang ada dengan sedikit ejaan guna memudahkan para murid untuk mengenal bunyi bacaan huruf nya apabila diberi tanda harakat yang berbeda-beda. Apabila murid sudah mulai memahami perbedaan bunyi antara bunyi huruf yang satu dengan yang lainnya dalam harakat yang berbeda, maka secara otomatis anak-anak akan mulai bisa membacanya sendiri tanpa dituntun oleh guru terkecuali pada beberapa huruf yang anak-anak merasa sulit mengenali bunyi dan bacaannya karena perubahan bentuknya ketika bersambung satu dengan lainnya.

Setelah mulai terbiasa dengan bunyi dan bentuk huruf yang sedang dibacanya bersama sang ayah, gadis kecil itupun secara perlahan mulai lantang untuk membaca beberapa baris huruf Hijaiyah yang ada di bagian bawah baris terakhir yang dituntun oleh sang ayah dengan tanpa merasa susah sedikitpun. Dengan begitu riang gembira gadis itu mulai membaca halaman setelahnya tanpa ada sedikitpun rasa gugup sebagaimana sebelumnya, namun sesekali gadis kecil itu dikoreksi oleh sang guru alias sang ayah karena beberapa kekeliruan dalam pelafalan hurufnya saat mulai memasuki huruf-huruf Hijaiyah yang bersambung. Setelah merasa cukup dengan bacaan sang putri kecil, kini sang ayah mulai beralih kepada sang jagoan untuk mulai membaca bagian terakhir halaman yang dideres oleh sang putra sebelumnya.

Dengan penuh rasa gugup dan tegang sang anak mulai membaca ta'awudz dan melafalkan baris terakhir yang dideresnya tadi hingga akhirnya interupsi sang ayah sungguh membuat jantungnya bertabuh riuh dengan rasa takut yang secara perlahan mulai mencekik lehernya karena sorot mata ayahnya yang begitu tajam juga kalimat peringatan yang seakan-akan memojokkannya jika dia sama sekali belum bersungguh-sungguh dalam mengulang kembali bacaan tersebut sebelum mengaji bersama sang ayah. Rasa takut dan khawatir secara perlahan mulai mendorong bulir bening menggenangi kedua manik mata coklat kayu miliknya, seakan-akan sedang berusaha kuat untuk mendobrak bendungan pertahanan miliknya untuk tidak menangis karena teguran sang ayah.

Sedangkan si kecil dengan begitu santai mendengarkan sang ayah memberikan berbagai macam ultimatum tegas untuk tidak malas-malasan dalam mengulangi bacaan ngajinya. Dengan tetap memperhatikan raut wajah sang kakak dan ayah, gadis kecil itu mulai menggeser tempatnya mendudukkan diri jauh lebih dekat dengan sang kakak. Bukan, bukan untuk mengejeknya. Tapi sekedar ingin mengetahui sesulit apakah batas bacaan sang kakak sampai-sampai sang ayah menampakkan sorot mata yang begitu tajam dan mencekam kepada mereka berdua secara tidak sadar. Namun seketika suasana mencekam itu secara perlahan mulai memudar manakala sang ibu muncul dihadapan ketiganya dengan tatapan mata penuh kasih merasa sudah cukup dengan lamanya anak-anaknya mengaji bersama sang ayah. Bukan karena tidak senang anaknya belajar mengaji, bukan. Namun karena merasa tidak tega dengan keadaan sang anak yang mulai akan menjatuhkan rinai gerimis kesedihan karena merasa 'dimarahi' oleh sang ayah.

"Sudah.. sudah dulu ngajinya kang. Besok bisa diteruskan lagi ngajinya. Kasihan adek Syamsu udah kamu omeli katak gitu". Putus sang istri memenangkan sang ayah.

"Hmm ya udah kalo gitu. Inget, besok-besok kalau nderes yang bener jangan sampe kayak gini lagi. Lihat adekmu si Ariah dia sudah mulai bisa padahal dia baru ikut belajar mengaji bersamamu". Tukas sang ayah mulai beranjak meninggalkan kedua anaknya.

'Huh Slamet.. Slamet..' batin Ria bermonolog.

---------****************---------

Gumpalan awan yang mulai mengggelap itu rasanya begitu selaras dengan suasana hatiku saat ini. Sesaat setelah berwarna dengan kenangan manis dibawah siraman cahaya senja, kini dengan cepat suasana hati ini kembali sendu dan kelabu. Seakan-akan kepingan kecil nostalgia tadi tidak pernah terjadi sore ini, persis kembali seperti hari-hari biasanya. Abu-abu tanpa ada sedikitpun titik cahaya dan kebahagiaan yang membayang di sudut-sudut terdalam palung hati. Hampa itulah yang aku rasakan sepanjang hariku saat ini. Hampa tanpa cahaya cinta dan ketulusan yang bisa merengkuhku menjauh dari kejaran kegelapan yang terus berusaha keras dengan konsisten mengikis kesadaran dan kemanusiaanku dari fitrahnya.

Kadang, aku merasa lelah akan semua sandiwara hidup yang terus aku lakukan hanya untuk mengaburkan semua penderitaan dan dilema yang tak henti-hentinya terus meraung mengoyak kuat-kuat pertahanan tipis yang tak seberapa kuat untuk menahannya. Jujur.. kadangkala jika sudah muak, aku rasanya ingin mengumpat dan mencela. Tapi setelah merenung dan berpikir dalam aku kembali tertampar oleh kenyataan. Semua yang aku alami saat ini bukankah aku juga yang memilihnya dulu? lantas siapakah yang ingin aku cela dan aku umpat jika sebenarnya sosok yang paling pantas untuk dijadikan tersangka dan tertuduh dari semua penderitaan yang aku rasakan selama bertahun-tahun hidup selama ini adalah diriku sendiri?..

Apakah ayahku yang sama sekali tidak mengetahui satupun sebab yang menjadi pemicu utama semua derita yang aku pikul? ataukah ibuku yang entah mengapa justru berpaling pergi meninggalkanku dan keluarga saat kami berada pada titik krusial perjuangan karir kami?..

"Duh Tuhan.. Rasanya begitu rapuh tulang punggung ku membungkuk menerima semua beban yang tak berbentuk nyata sebagaimana yang diminta oleh mereka semua yang sanksi dengan kesakitan ku. Bahkan hingga kini, aku sebagai seorang manusia bahkan tidak berani banyak berangan lebih untuk bisa sekedar terbang bebas mengelilingi langit-langit rumah tempat ku bernaung seperti burung.

Kadangkala harapan dan pertanyaan itu muncul disaat seberkas cahaya itu muncul menghibur hatiku. Namun lagi-lagi kebahagiaan dan sinar kebahagiaan itu hanyalah cahaya semu yang terbiaskan oleh berbagai angan-angan kebahagiaan yang senantiasa terurai untuk sekedar menyambung semangat juang untuk aku bisa bertahan hingga ujung penderitaan itu berakhir. Namun entah kapan itu terjadi." Anganku melanglang buana menatap angkasa.

Kembali mengenang sebagaimana kebiasaannya saat ini didalam setiap keheningan dan kegelapan malam yang mulai merayap, kini memori perjalananku membawaku terbang melintasi salah satu sudut episode perjalanan hidup dimasa lalu yang lainnya. Ya kembali bernostalgia adalah kebiasaan ku sedari beberapa tahun yang lalu sepertinya, apalagi jika disaat seperti ini saat aku sedang diberi libur oleh Tuhan semesta alam untuk tidak sholat karena siklus alamiku.

Dulu.. jauh sebelum kegelapan ini merantai kuat jiwa rapuhku, diawal perjalananku di salah satu kota perantauan yang cukup dekat dengan kota madya tempat ibu kota daerahku berada, seberkas cahaya pernah hadir mengulurkan tangan padaku untuk bisa merasakan apa itu kebahagiaan dalam pahitnya kehidupan. Namun semua kebahagiaan itu hanya bertahan sementara, karena pada kenyataannya diriku tetap kembali terbelenggu dalam lingkaran kesakitan yang sama. Entah kapan masa itu datang. Masa dimana aku bisa merasakan kebahagiaan yang sejati dan meraih manisnya cahaya kehidupan yang sebenar-benarnya.

 

...----------------...

@ Untuk cerita ini author pakai alur maju mundur. sedangkan untuk sudut pandangannya, author pakai dua sudut pandang. Kadang kala sudut pandang orang pertama bisa juga sudut pandang ketiga. Intinya selalu readers membaca ceritanya dengan dalam, in sya Allah nanti feel-nya bakal dapat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!