" Lakukan pah, sudah biasa juga jadi korban keegoisan papa" Ujar Mehreen sarkas.
"Mehreen...!!! " Hardik papa Mehreen yang sudah berdiri dari tempat duduknya. Sedang Mehreen masih santai duduk di kursi dengan es jeruk yang tadi Sava pesan.
"Mau gak mau akan Mehreen lakuin pah!" Mehreen menatap dalam manik mata papanya. "Demi siapa? " Senyum smirk Mehreen terukir dan itu sangat terbaca jelas oleh papanya.
"Demi anda tuan BISMA RAGA NEGARA yang terhormat!!" Mehreen menekankan pada nama papanya. Papa Bisma terkesiap dengan sikap putrinya itu.
Marah? Iya tentu Mehreen marah, papanya selalu bertindak sesuka hatinya. Banyak impiannya yang terkubur demi ego sang papa.
"Reen... Are you oke?" Sava menghampiri Mehreen yang tampak semakin lelah setelah berbicara dengan papanya. Mehreen menggeleng samar, lalu berbalik menghambur ke pelukan Sava.
"Gue... Gue dijodohkan. Besok harus ketemu orangnya" Sava mengusap punggung Mehreen sayang, Mehreen bahkan sudah membasahi baju Sava dengan air matanya.
"Gue lelah Va... " Ucapnya lalu mengurai pelukannya. Sava menatapnya iba dan sayangnya tak mampu berbuat apapun.
Savapun sudah sangat hafal dengan pemaksaan yang papa Bisma lakukan selama ini, 'Semangat Mehreen' batin Sava.
Malam terus beranjak, Mehreen masih betah duduk di balkon kamarnya. Tak memperdulikan angin malam yang membuat kulitnya meremang.
"Ah... ****!!" umpatnya. Air mata yang susah payah ia tahan akhirnya luruh jua.
Sava berdiri di balik kaca pemisah balkon dan kamar, memperhatikan sahabat rasa saudara itu tengah mengurai sesak yang bertumpuk dalam dadanya.
"Papa br*ngs*k!!" nafasnya memburu, lagi lagi ia harus menuruti kemauan sang papa.
"arggghhh!!" menjambak surai kecoklatan nya.
"Reen... " Sava mulai mendekat.
"Va, sewa pembunuh bayaran" ujar Mehreen dengan deru nafas yang kian memburu.
Sava memeluknya, menyalurkan kekuatan dan ketenangan. Hati Sava pun sama terlukanya melihat Mehreen seperti ini.
Mehreen mengurai pelukan Sava, menatap nyalang sahabatnya "Va..." ujarnya, Sava membiarkan Mehreen mengutarakan semuanya.
"Va, Bisma minta gue pulang hanya untuk di jual" lirihnya menahan sakit hatinya. "Br*ngs*k!!" umpatan yang terus menerus keluar dari bibir indahnya.
Sava memeluk kembali tubuh Mehreen yang luruh bersimpuh di lantai balkon.
"Reen..." ujar Sava lirih.
"Ayok tumpahkan semua ke gue, biar hati lo lega" di sela sela pelukannya untuk Mehreen.
Benar saja Mehreen menangis pilu di pelukan Sava. Gadis itu benar benar menumpahkannya pada sahabatnya.
Isakannya makin lirih terdengar, Sava menuntunnya agar masuk kembali ke dalam kamar.
"Angin malam gak baik buat lo" ujar Sava, Mehreen tersenyum getir. Bukan karena ucapan Sava, melainkan karena ketidakmampuannya menolak perintah si br*ngs*k Bisma.
"Angin malam bakal ngetawain gue Va" ucap Mehreen putus asa. Sava menaikan satu alisnya tak paham.
"Karena kerapuhan gue" imbuhnya, dengan wajah menunduk.
"Minum Reen... " Sava menyodorkan segelas air putih, "Biar bisa isi ulang air mata lo" Mehreen tersenyum dengan godaan receh Sava.
**
Pagi menyapa, lebih tepatnya siang yang menyapa. Sinar mentari mengusik mereka dari balik tirai. Mehreen menggeliat, lelah ditubuhnya berangsur pergi tapi tidak lelah di hatinya.
"Sava kemana?" gumamnya beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Va..." teriaknya, sesaat setelah mandi.
"Va... lo di dapur?" ulangnya dan belum terdengar suara Sava menjawab.
Mehreen beranjak menuju dapur dan sudut ruangan di apartemennya, mengernyit bingung karena tak menemukan sahabatnya.
CEKLEK
Suara pintu utama apartemen terdengar, Mehreen menghembuskan nafas lega melihat Sava yang masuk. Tak begitu lama senyumnya tertahan di wajah cantiknya, Sava datang bersama dua orang pria berjas hitam, tampak dari jas yang melekat pas di tubuhnya Mehreen tahu jika kedua pria itu memiliki tubuh atletis.
"Reen... Sorry" lirih Sava. Mehreen mengangguk paham akan situasi Sava.
"Ini buat gue kan?" Mehreen mengambil alih kantong berisi makanan dari tangan Sava.
"Ayo Va makan dulu" imbuhnya tanpa memperdulikan keberadaan kedua laki laki itu yang dengan tidak sopannya duduk di sofa ruang tamu.
Mehreen makan bersama Sava dengan hening, hanya tatapan mata mereka yang menyiratkan sebuah tanda tanya.
"Apa sudah selesai?" Tanya tegas seorang pria. "Ikut kami sekarang nona Mehreen!" Titah pria itu.
"Kenapa aku harus ikut kalian?" Mehreen memperlambat, memilih mencuci piring bekasnya dan Sava.
"Maaf nona Mehreen, ikutlah sebelum kami melakukan kekerasan" Ujar pria itu lebih tegas.
"Kalian suruhan bokap gue?" tanyanya menantang.
"Kami di berikan perintah tuan Dipta, calon suami anda nona" Mehreen bergeming, menatap nyalang kedua lelaki itu.
"Tuan Chandra Dipta Indrayana" Mehreen menegang mendengar nama itu, begitu juga Sava.
Mehreen tersenyum smirk, mengejek hidupnya yang selalu bisa mengalahkannya.
Ia sangat tahu keluarga Indrayana, bahkan seorang Bisma Raga Negara yang arogan takluk dibuatnya.
"Ah... ****!!" Mehreen mengumpat tepat di hadapan kedua lelaki itu.
"Gue ganti baju!" Ujar Mehreen memasuki kamarnya, Sava mengekor.
"MUPENG" Mehreen menonyor salah satu kepala lelaki yang ia duga bodyguard Dipta.
Mehreen hanya menggunakan hot pants, dan tanktop ketat yang mempertontonkan kedua belah dadanya.
"Kabur yuk Reen... " Usul Sava. Mehreen menggeleng. Menarik Sava ke balkon, Sava terbelalak melihat banyaknya pria berjas hitam sama persis yang ada di apartemen.
"Kabur lewat mimpi gue Va..." Sava memeluk Mehreen iba, Mehreen mengurai pelukan Sava. Ia tersenyum getir, dan ia tak ingin melihat sahabatnya khawatir.
TOK TOK TOK
"Non, saya tunggu lima menit. jika tidak keluar kami tarik paksa" ujar laki laki itu dari luar kamar Mehreen.
CEKLEK
Mehreen dan Sava sudah keluar dengan pakaian lebih sopan. Bagaimanapun mereka tak sembarangan mempertontonkan lekuk tubuhnya.
Kedua gadis itu saling menatap bingung, ternyata banyak bodyguard di depan apartemen juga.
Mereka menarik Mehreen dan Sava, "Eh lepasin sahabat gue" ujar Mehreen.
"Maaf nona, nona Sava akan menjadi jaminan jika anda berniat melarikan diri" jawab salah satunya.
Mehreen mendengus kesal, Sava hanya mengukir senyum. "Tenang aja kita lalui sama sama" Sava menggenggam tangan Mehreen menenangkan.
Mereka semakin terkejut kala mereka di masukkan ke dalam mobil berbeda.
"Maaf nona, kami hanya menjalankan tugas" belum sempat Mehreen melayangkan protesnya, ia harus segera terdiam.
Mehreen masih mengumpat kesal dalam hatinya, sampai ia di kejutkan seorang pria yang duduk di sampingnya.
Pria itu tersenyum smirk memandang Mehreen remeh.
"Jalan!" Titahnya dengan nada tenang namun terdengar arogan.
"Hanya untuk membawa seorang Mehreen saja kalian menggunakan banyak bodyguard?" Ketus Mehreen meremehkan.
Senyum tipisnya membayang, ekor matanya menangkap jelas lelaki disampingnya mengepalkan tangan kuat.
"Kalah dah tuh ******* negara" lanjutnya. Bahkan kini wajahnya menghadap pada pria itu.
Pria dengan rahang tegas, alis tebal dan rapi. Mehreen terkesiap kala lelaki itu melepas kaca mata hitam yang bertengger manja di hidung mancungnya. Jangan lupakan bibir yang tak terlalu tipis dan sorot mata teduh namun sangat tajam.
"Senang bertemu anda nona Mehreen" Ucapnya mengejek.
"Mimpi buruk bertemu dengan anda tuan Indrayana" Sahut Mehreen sengit.
"Ah Sial! Terlalu mahal saya membayar gadis arogan seperti kamu" Ujarnya menatap tajam Mehreen.
Mehreen mengepalkan tangannya menahan emosi.
"Apa anda...." Ucapannya sengaja menggantung, membuka dua kancing atas kemejanya. Lalu tersenyum smirk.
Murahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments