‘Apa yang terjadi?’
Gentayu yang mendadak terbangun karena perahunya menabrak sesuatu langsung waspada. Seingatnya harusnya perjalannya lancar dan akan sampai ke Kota Sei Asin, salah satu kota besar di kerajaan Lamahtang menjelang siang. Segera dia menyalakan api dengan kesaktiannya untuk menerangi sisa malam yang belum beranjak pergi sepenuhnya.
‘Aku menabrak batu ditepian sungai..? ah, tunggu. Kenapa sungai ini seperti tidak mengalir? Bukankah seharusnya saat ini aku baru akan sampai di sekitar lembah Enim. Seingatku, aliran airnya cukup deras..’
Dengan penuh keheranan dan penasaran, akhirnya gentayu turun dari perahu besar yang penuh muatan itu. Dicarinya tepian yang tertutup semak belukar untuk menutupi perahunya guna menghindari terjadinya masalah. Selain khawatir pencurian, juga karena menurutnya andai ada anggota kelompok aliran hitam penyerang kemarin yang melintas maka mereka akan mengenali perahu tersebut. Maka untuk berjaga-jaga, perahu harus disembunyikan.
Selesai menyembunyikan perahunya dengan rapi dan tak lupa membawa makanan secukupnya, Gentayu melangkah menuju daratan.
‘Menunggu matahari terbit, sebaiknya aku mengisi perutku dahulu. Sudah sejak kemarin aku belum makan. Sebaiknya, aku menjaga stamina guna berjaga-jaga’ fikirnya sembari membuka bungkusan makanan hasil rampasan dari kelompok aliran hitam sebelumnya.
‘Ah, ternyata makanan mereka lumayan bagus’ gumamnya sebelum makan dengan lahap.
Saat selesai makan dan sisa-sisa gelapnya malam telah menghilang, Gentayu menyadari ada yang salah dengan tempatnya berhenti.
‘Dimana ini? Kenapa aku justru nyasar masuk ke sebuah danau?’ keningnya berkerut penuh tanda tanya karena tempat yang awalnya dikira sebagai bagian dari sungai ternyata justru sebuah danau yang lumayan luas.
‘Peta.. ya!, aku butuh peta. Seharusnya ada diantara barang yang kuambil dari para penyerang kemarin’
Segera ia kembali turun ke dalam air dan memeriksa ke dalam muatan perahunya. Setelah beberapa saat mencari, ia berhasil menemukan benda yang dicarinya. Sebuah gulungan kulit hewan dengan ikat berwarna merah. Dibawanya ke daratan dan dibukanya gulungan tersebut untuk memeriksa situasi sebenarnya mengenai tempat asing ini.
‘Benar.. seharusnya bahkan tidak ada danau disepanjang jalur sungai kemarin hingga ke kota Sei Asin. Ini benar-benar aneh!’ gentayu terduduk dengan lemas. Kepalanya mulai sakit menyadari dirinya sepertinya telah tersesat dan tidak tau kini ada di mana. Tiba-tiba dia seperti menemukan pencerahan..
“Hei, roh harimau.. hei..!” gentayu memanggil-manggil ‘teman’nya, sang roh harimau yang simbol loreng nya tergambar di lengan kanannya dengan gambar dua garis. Namun sampai berulang kali dipanggil, roh harimau tersebut tak kunjung menjawabnya.
‘ada apa dengan dia? Apa dia sudah pergi juga? Aih.. bahkan akupun lupa menanyakan namanya..’ Gentayu mulai menyadari kebiasaan lamanya yang seringkali kumat : ceroboh.
‘Bukankah roh harimau memang tidak terdengar lagi suaranya saat aku mulai berlayar? Jangan-jangan karena dia sebangsa kucing, dia takut dengan air..’ fikiran liar lainnya muncul di kepala Gentayu.
Untuk membuktikan keberadaan ‘teman’nya tersebut, bagi gentayu cukup mudah.
“Tinju Naga Api!"
Serunya setelah menyalurkan tenaga dalamnya ke lengannya dengan tangan mengepal terarah ke air danau...
..........
.........
Tidak terjadi apapun.
Bahkan air yang dijadikan sasaran tidak beriak sama sekali.
‘Ini aneh. Jangan-jangan bukan cuma roh harimau itu yang hilang berikut kekuatannya. Aku juga harus memeriksa kekuatanku..’ perasaan khawatir dan was-was mulai menyelimuti Gentayu.
Gentayu kemudian mengambil tempat sedikit lapang dan..
“Pukulan Tapak Matahari!” serunya setelah melakukan serangkaian gerakan dan...
“BHUM..!!”
Suara dentuman keras terdengar seiring cipratan air danau yang terkena serangannya naik tinggi membentuk pilar tipis bersama beberapa ekor ikan bersamanya terangkat sebelum kembali luruh menyatu ke dalam danau.
‘Syukurlah..’ Gentayu bernafas lega mengetahui kekuatannya tidak ikut menghilang di tempat ini.
Berarti benar bahwa roh harimau takut dengan air karena dia seperti juga kucing lainnya, fikirnya kemudian.
Diliputi rasa penasaran, gentayu kemudian melangkah menuju suara sayup-sayup ayam jago berkoko tidak jauh dari tempatnya. ‘Sepertinya, ada pemukiman penduduk di sekitar sini’.
Ternyata benar, setelah berjalan sekitar satu kilometer gentayu melihat sebuah gubuk sederhana. Gubuk itu terletak di tengah-tengah kebun cendana dan kayu manis yang nampak terawat.
Namun hal yang menarik adalah, di antara tanaman-tanaman tersebut terdapat tumbuhan perdu lainnya yang terlihat asing baginya. Tanaman yang hanya setinggi anak-anak tersebut memiliki daun berwarna merah namun berbatang ungu dengan buah mirip apel namun berwarna putih kehijauan.
“Permisi.. sampurasun..”
Gentayu mencoba berkomunikasi dengan pemilik gubuk saat dirinya telah sampai di depan pintu gubuk itu.
“Hei.. anak muda..! ada apa mencariku?” bukan dari dalam gubuk itu jawaban terdengar, melainkan dari balik rimbunnya tanaman aneh yang dilihatnya. Pemilik suara adalah seorang perempuan berambut putih dengan beberapa kerutan di wajah menandakan bahwa perempuan itu sudah cukup berumur.
“Oh, maaf Nek. Saya kebetulan tersesat ke tempat ini. Kalau boleh tahu, sebenarnya tempat apa ini? Eh, maksud saya, wilayah manakah saat ini saya berada?”
Perempuan itu tidak menjawab. Dia justru memperhatikan Gentayu dari ujung kepala hingga ujung kaki dari jarak yang sangat dekat. Nafasnya sampai terasa di kulit pemuda tersebut saking dekatnya. Gentayu bahkan sampai harus menahan nafasnya karena akan terasa tidak sopan menghembuskan nafas di wajah orang tua, fikirnya.
Perempuan itu kemudian berbalik dan berjalan menjauh dari Gentayu. Tanpa bicara apapun.
Gentayu menghembuskan nafas yang sejak tadi ditahannya. ‘fuhhh...’
“Siapa namamu, anak muda?” perempuan itu bertanya tanpa menoleh.
“Oh, nama saya Gentayu, Nek” Agak tergagap gentayu saat menjawab perempuan tersebut yang tetap berjalan menjauh. Gentayupun mengikuti perempuan tersebut berjalan perlahan.
“Kau, siapa-nya Brajawana?” Perempuan itu masih belum menjawab pertanyaan Gentayu namun justru mengajukan pertanyaan lain yang sangat mengejutkan Gentayu.
(Gentayu terlalu banyak kaget, heran dan terkejut, mudah-mudahan nggak jantungan)
“A.. saya.. saya muridnya, Nek” Jawab Gentayu kemudian di tengah keterkejutannya yang belum hilang. Hening sesaat.
Baru saja Gentayu hendak menanyakan bagaimana Perempuan itu bisa mengetahui bahwa dirinya memiliki hubungan dengan Brajawana, perempuan tersebut mengangkat lima jari ke arahnya, mencegahnya untuk bicara.
“Tidak Sopan!” hardiknya, yang makin membuat Gentayu keheranan.
‘Perempuan yang aneh..’ fikir gentayu.
“Jadi, kau bukan anak atau keturunannya?” kembali perempuan itu bertanya.
“Bukan, Nek..” Gentayu belum menyelesaikan jawabannya bahwa ia bukan anaknya, bahkan ia hanya murid kelana Ki Brajawana sang Pendekar Matahari Emas.
“Lalu, bagaimana pusaka turun-temurunnya ada di tanganmu?”
Gentayu makin terkejut.
Pusaka turun temurun? Keningnya berkerut berfikir dan mencerna maksud perempuan dihadapannya ini.
“Oh.. ini?” ucapnya dengan setengah bertanya sambil mengeluarkan benda pemberian Bandu Aji sebelum tewas, sebuah kalung berikut liontin berwarna hijau terbuat dari batu giok.
“Hmmm...” perempuan itu hanya mengangguk.
“Ini seharusnya milik anak yang gagal kuselamatkan dan terbunuh oleh panah pasukan penyerang... ini diserahkan ayah anak itu sebelum tewas” jawabnya dengan sedih dan perasaan bersalah.
“Apa kau tahu, benda apa yang kau pegang itu?” Kali ini perempuan itu bertanya seolah dia mengetahui sebuah rahasia yang begitu penting.
“Sayangnya... Kakang mendiang Bandu Aji belum sempat bicara apapun..” jawabnya dan kembali teringat akan detik-detik kematian Bandu Aji dalam benaknya.
“Masuklah ke gubukku. Akan kujelaskan di dalam” Perempuan itu berjalan mendahului masuk ke dalam gubuknya.
Gentayu hanya patuh mengikuti perempuan tersebut. Kepalanya kini dipenuhi dengan beragam pertanyaan yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terfikirkan sebelum bertemu perempuan ini.
Saat di dalam gubuk, Gentayu dipersilakan untuk duduk di bale-bale yang sepertinya berfungsi sebagai tempat tidur perempuan misterius ini.
perempuan tersebut mengambil sebuah buntelan kecil kain berwarna hitam yang diikat dengan tali dari kain berwarna putih dari balik kendi air miliknya. Hal inipun menimbulkan keheranan baru bagi Gentayu, karena seharusnya meja kecil tempat kedi itu tak ada celah untuk menjadi tempat bagi benda lain. Tentu saja, karena kendi itu sendiri lebih lebar dari meja penopangnya sehingga hanya bagian tengah kendi saja yang disangga oleh meja kecil tersebut.
“Takdir mempertemukan kita sebelum aku menghadap Yang Maha Kuasa. Aku bersyukur karena aku sudah menunggu hari ini lebih dari 70 tahun umurku. Aku bahkan khawatir bahwa engkau tidak akan pernah menemukanku...”
Senyuman tersungging di bibir perempuan ini. Senyum yang menandakan kelegaan.
“Ketahuilah. Liontin giok yang engkau pegang itu merupakan kunci bagi benda yang kini ada di tanganku. Mereka berpasangan, dan sengaja dipisahkan. Adapun hari ini, memang sudah seharusnya keduanya disatukan karena telah menemukan pewaris sejatinya....”
“Mmmak..sudnya, nek?” Gentayu bertambah bingung tentang maksud perempuan tersebut.
Sebenarnya semoat muncul kekhawatiran di hati kecilnya bahwa perempuan ini akan merebut dan memanfaatkan liontin yang dipegangnya untuk maksud dan tujuan perempuan itu sendiri.
Setelah menghela nafas, perempuan itu memulai bicara.
“Ketahuilah, bahwa dulu Kakek buyut dari gurumu dan kakek buyut dari orang tuaku adalah anggota dari generasi terakhir dari 7 Pendekar penjaga Gerbang. Artinya, sejak saat itu hingga sekarang telah berlalu waktu 200an tahun. Dan benda yang kita pegang, adalah satu diantara bebarapa amanah mereka...” Perempuan misterius itu mulai bercerita
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Budi Efendi
mantap
2022-11-21
0
Sumarni Sumarni
legenda negeri sendiri untuk mengenal sejarah negeri
2021-06-25
0
graver el mubarak
Semangat.....
2021-01-19
0