Setelah pertarungan singkat itu selesai, pemuda misterius itu berniat menemui Danu yang masih terduduk lemah memegangi perutnya. Rupanya, dalam pertarungan sebelumnya pendekar dari padepokan Matahari Emas itu terkena sabetan senjata yang lumayan parah. Insting bertahannya-lah yang memaksanya terus bertempur hingga kemudian nyawanya diselamatkan pemuda misterius ini.
“Kisanak, apakah lukamu parah?” pemuda tersebut menanyakan kondisi luka Danu dengan mimik muka penuh kekhawatiran. Terlihat jelas di matanya bahwa kondisi pendekar yang ditolongnya semakin memburuk dari waktu ke waktu.
“Hah.. heh.. te.. rima..kasih, kisanak. Siapa.. ki.. sanak.. ini?“ bukannya menjawab, Danu malah balik menanyakan identitas penolongnya dengan nafas yang satu-satu dan makin lemah.
“Saya Gentayu...” Jawabnya singkat dan segera berjongkok memeriksa kondisi Danu. Rupanya, senjata yang mengenainya selain dialiri tenaga dalam juga mengandung racun yang mematikan.
“Tuan, gen.. tayu.. tolong... se.. lamat..kan..” Danu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sebuah anak panah lain telah menancap di pelipisnya menembus batok kepalanya bersama ratusan anak panah yang tak sempat ditangkis keduanya. Pendekar tersebut tewas seketika dengan tangan yang menunjuk ke arah timur tempatnya menjemput maut tersebut.
Serangan panah tidak berhenti justru semakin banyak. Gentayu kemudian segera sibuk menangkis ratusan anak panah yang seperti tak berhenti meluncur dari sisi utara tempatnya berdiri. Menyadari banyaknya musuh yang menyerang setelah dia merobohkan dua pendekar asing yang menyerbu barusan, tanpa membuang waktu gentayu segera mencari celah untuk kembali melarikan diri. Melawan pasukan sebanyak itu bukanlah ide yang baik, fikirnya.
“Habisi bocah tengik itu..!!”
Terdengar lantang suara komandan pasukan penyerang yang segera muncul dari balik semak-semak bersama sekitar dua puluh pendekar membawa senjata panah dan beberapa pendekar pedang. Namun, ‘bocah tengik’ yang dimaksud telah berhasil meloloskan diri.
“Bedebah sialan! Kucing Air! Kemana bocah itu menghilang??” sumpah serapah dan lampiasan kekesalan segera keluar dari mulut komandan tersebut.
Mereka kemudian segera berlalu dengan kesal setelah mencari-cari di sekitar tempat itu dan tak menemukan buruannya. Rombongan itu menuju ke arah Padepokan Matahari Emas. Meninggalkan empat mayat di tempat tersebut begitu saja sekalipun dua diantaranya adalah rekan mereka sendiri.
Sementara itu, Gentayu, pendekar misterius yang sebelumnya terlibat melawan pasukan penyerbu, telah berhasil menemukan anak kecil bersama harimaunya. Anak kecil itu adalah anak dari Bandu Aji, penerus dari Ki Brajawana sang Pendekar Matahari Emas. Sayangnya, saat ditemukan anak tersebut telah terbunuh dengan sebuah anak panah menancap dipunggungnya. Harimaunya sendiri tak kalah mengenaskan karena kakinya membiru dan sebuah anak panah lain menancap di sana. Namun harimau itu masih hidup.
Tak menunggu lama, dibopongnya tubuh harimau yang besarnya hampir seukuran anak sapi itu tanpa masalah. Namun, saat ia hendak meninggalkan tempat itu karena khawatir para pengejarnya tak akan membiarkannya lolos begitu saja, sebuah suara yang berat mengagetkannya.
“Tuan...”
Celingukan Gentayu berusaha mencari sumber suara yang sepertinya sangat dekat itu.
“Tuan... saya di.. sini..”
Gentayu kaget dan segera melepaskan kedua tangan yang sedang membopong harimau itu. Ternyata harimau itu yang bersuara.
‘Gedebugh..!’
Terrdengar suara seperti benda berat yang jatuh ke tanah saat tubuh hewan malang itu harus jatuh ke tanah gara-gara penolongnya terkejut.
“Ugh...! Sakit...! Hei tuan.. kau.. kuat, tapi kagetan..” harimau itu antara mengumpat dan mengeluh.
“Bb..bb..bagaimana.. kau bisa bicara??” tanya Gentayu dengan mata melotot tak percaya.
“Tuan.. tolong..cabut panah ini. Lalu tempelkan... tanganmu.. di.. keningku.. tidak. Tapi di antara kedua alisku.. waktu kita tak.. banyak...” harimau aneh itu memberi petunjuk kepada Gentayu.
Gentayu segera tersadar dari keterkejutannya. Tanpa bertanya dan menunggu, segera dilaksanaknnya petunjuk harimau itu.
Panah yang menancap di kakinya telah tercabut. Gentayu kemudian menempelkan tangannya ke titik diantara kedua alis harimau itu.
“Lalu apa lagi?”
Gentayu meminta penjelasan lebih lanjut.
“Baik. Alirkan.. hawa... murni.. tuan.. ketika terasa... ada sesuatu... yang masuk.. ke aliran darah di tangan.. tuan, mohon.. jangan.. di.. lawan. Engkau... akan.. tau.. dan.. mendapat.. manfaatnya...” harimau itu kembali menjelaskan dengan nafas tersengal yang makin lemah.
“Baik!” Gentayu mengerti.
Rasa penasaran dan khawatir segera ditekannya. Lalu segera melakukan petunjuk dari harimau itu.
Gentayu memejamkan mata. Dialirkannya hawa murni dari tubuhnya ke titik di antara dua alis harimau itu. Awalnya, dia tak merasakan apapun. Namun lama-kelamaan, terasa ada hawa dingin mulai merayap dari tubuh harimau menuju telapak tangannya, lalu naikke pergelangan, naik ke siku, dan berhenti di lengan bagian atasnya.
“Apa ini??” Pemuda itu bermaksud mengajukan pertanyaan kepada sang Harimau, tapi harimau itu telah menutup matanya. Nafasnya berhenti. Harimau itu telah mati..
“Tuan..”
Tiba-tiba kembali terdengar suara harimau itu. Namun kali ini sangat lancar. Tanpa nafas tersengal dan kesakitannya.
“Tuan, apakah engkau mendengarku?”
Suara harimau kembali terdengar, namun kali ini jelas bukan dari tubuh harimau yang mulai kaku di tanah ini.
“I.. iya.. aku mendengarmu” agak gugup Gentayu menjawab dengan bingung.
“Sebaiknya tuan segera pergi dari sini. Gerombolan penyerang itu mungkin masih mengejar. Tidak aman di sini”
Suara harimau yang entah bagaimana dia bersuara itu kembali terdengar.
“Baiklah..” Gentayu menjawab singkat dan dengan kesaktiannya segera melesat menjauh dengan lincah diantara dahan-dahan pohon dan semak di hutan itu. Hanya terlihat kelebat bayangannya tanpa terlihat wujudnya. Manusia biasa pasti akan mengira bahwa ia adalah hantu.
Setelah melesat sekian lama, gentayu akhirnya tiba di pinggir sungai. Sungai yang cukup besar karena dari hulu dan hilirnya sesekali melintas perahu-perahu berukuran lumayan besar dengan bermacam muatan hasil bumi dan penumpang. Mata pemuda itu kemudian tertuju pada deretan perahu dengan bendera-bendera yang berkibar.
‘Ah.. dilihat dari benderanya, itu pasti perahu-perahu yang dipakai sebagai sarana mengangkut ratusan anggota kelompok aliran hitam yang menyerang perguruan Matahari Emas...’ Gentayu kemudian tersenyum setelah berfikir sesaat.
‘Sebaiknya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Perahu-perahu itu berjumlah tidak kurang dari 50 kapal. Tapi penjaganya semuanya tidak lebih dari 30 orang. Mereka terlalu percaya diri’
Ya. Gentayu saat ini sedang berfikir untuk melumpuhkan para penjaga perahu, merusak dan membakar perahu mereka, lalu menjarah isinya.
Gentayu berfikir bahwa untuk sebuah rombongan pasukan yang menjalankan sebuah misi, pasti dibekali dengan sumber daya memadai. Setidaknya makanan, obat-obatan, dan tentu saja harta hasil jarahan dari penyerangan yang telah dilakukan sebelum menyerang Matahari Emas. ‘Aku akan kaya’ fikirnya.
“Tuan..” kembali terdengar suara sang harimau.
“kini aku sudah dalam bentuk asliku. Ya, aku adalah roh yang kebetulan terkurung dalam tubuh harimau tersebut. Kini aku bersemayam dalam lenganmu dalam bentuk lukisan 2 belang harimau. Kau bisa gunakan kekuatanku. Jangan khawatir. Suaraku hanya bisa didengar oleh tuan saja”
“Eh, apa? Menggunakan kekuatanmu? Bukankah kau sendiri tidak bisa melindungi dirimu sendiri sehingga mati oleh panah-panah itu?” Gentayu menyahut sekenanya dan terkesan mengejek roh harimau.
“Eh, tuan.. Aku memang lemah dalam tubuh harimau itu. Bagaimanapun, tubuh itu adalah segel bagi kekuatanku. Aaaah.. terlalu lama menjelaskannya. Begini saja. Tuan alirkan sedikit tenaga dalam ke lengan tuan. Lalu, arahkan ke perahu-perahu itu, dengan menyebut ‘Tinju Naga Api’ maka tuan akan tahu..” Roh harimau itu menjawab dan menjelaskan dengan sedikit kesal.
“Eh, apa? Tinju Naga Api? Bukannya engkau ini harimau?” Gentayu kembali terkikik geli mendengar nama jurus yang harus dipraktekkan. ini seperti iklan susu sapi tapi gambarnya beruang dengan iklan naga di zaman modern, tentu saja.
“Lah.. ini khan jurusku. Suka-suka aku lah menamainya apa..!” Roh harimau mendengus kesal.
“hehehe... baiklah. Kita lihat kemampuanmu..”
Sesaat kemudian..
“Tinju Naga Api!”
Sebuah sinar putih terang berukuran cukup besar melesat dari kepalan tangan Gentayu ke arah perahu-perahu yang ditambatkan di tepi sungai. Gentayu saat ini melesakkan jurusnya dari kiri kapal ditambatkan.
‘BLARRR.... BRASHHHHH.....!!!’
Suara ledakan dahsyat terdengar saat lesatan sinar putih terang menghajar lambung kapal. Ternyata sinar itu tidak berhenti setelah lambung kapal itu hancur dengan kondisi hangus dan lalu terbakar. Namun sinar putih terang menyilaukan itu justru makin membesar dan terus melaju hingga lebih 15an kapal mengalami kehancuran pada bagian lambung.
Gentayu melongo melihat dampak dari serangannya yang tidak disangka akan sedahsyat itu karena tenaga dalam yang dialirkannya sebenarnya sangat kecil. Bahkan seharusnya tidak cukup untuk menumbangkan seorang pendekar pemula.
Kondisi berbeda dialami awak perahu yang berjaga. Mereka berloncatan dengan panik. Sebagian menghambur lari menuju hutan di tepi sungai saking kagetnya mendapati serangan dahsyat yang mendadak itu.
Sementara beberapa dari mereka yang di atas perahu tak sempat menyelamatkan diri harus meregang nyawa dalam kondisi tubuh hangus terbakar ataupun langsung menjadi abu. Namun yang paling banyak adalah mereka yang terluka lumayan parah terkena serpihan perahu yang meledak.
“Cepat tuan, segera habisi mereka sekarang. Gunakan kekuatanku sekali lagi untuk menghancurkan sisa kapal yang lain. Selebihnya, tuan tahu yang harus dilakukan” seru roh harimau kemudian, membuyarkan keterkejutan Gentayu.
“Baiklah..” Gentayu segera berlari mendekat ke arah perahu-perahu yang terbakar. Tujuannya bukan pada perahu yang telah hancur dan terbakar, namun pada sisa perahu dan kapal lain yang masih utuh.
“Tinju Naga Api!” serunya sekali lagi.
Kembali seberkas sinar putih lebih besar dan lebih menyilaukan dengan deru suara lebih keras meluncur dengan kecepatan dua kali lebih cepat dibandingkan serangan pertama. Segera sisa kapal yang lain mengalami nasib lebih buruk. Namun para awak kapal yang menjadi korban lebih sedikit karena mereka telah menyingkir saat serangan pertama.
Gentayu segera bergerak cepat menjarah seluruh isi kapal yang masih selamat di ‘dermaga dadakan’ tersebut. Seluruh barang hasil jarahannya kemudian dipindahkan ke sebuah perahu yang memang sengaja disisakan tidak dihancurkan.
Menyadari pergerakannya, beberapa pendekar yang sempat berlarian menyelamatkan diri kembali dengan maksud untuk menghalau pemuda itu. Namun tentu saja, nyali mereka telah ciut sebelum sempat menyerang saat pemuda itu tanpa menoleh dan sambil melanjutkan penjarahannya kembali mengarahkan Tinju Naga Api kepada kerumunan pendekar aliran hitam tersebut.
‘WRRRRRRR.... WHUSSSSS.... BLARRRR...!!
Pukulannya menggetarkan tanah tempat para pendekar aliran hitam itu berdiri hendak menyerang, menyisakan sebuah lubang gosong 5 buah roda kereta dengan asap mengepul. Sementara para pendekar yang tadinya hendak menyerang terpental dengan tubuh gosong. Bau daging bakar segera menyeruak ke udara.
Setelah selesai menjarah dan perahunya telah terisi penuh. Gentayu segera melarikan perahunya ke arah hilir sungai.
“para penyerang itu pasti akan kaget saat tahu bahwa persediaan makanan dan harta benda mereka habis terbakar. Setidaknya, mereka harus merampok lagi kalau ingin makan atau mereka akan kelaparan. tuan!”
“Bukankah kalaupun kapal dan logistik mereka utuh mereka juga tetap akan merampok di sepanjang sungai ini? Biarlah. Setidaknya, peluang para pengawal saudagar yang lewat untuk menang dalam pertarungan lebih besar. Mereka lebih mungkin akan bisa bertahan menghadapi para pendekar kelaparan dan kelelahan sehabis bertarung. Dan tentunya, kalaupun para pengawal sudagar itu dikalahkan, hasil jarahan itu tetap tidak akan cukup untuk makan begitu banyak orang. Paling tidak, kita membuat mereka berkonflik berebut makanan”
Gentayu melaju bersama kapalnya yang berisi barang jarahan dalam kecepatan sedang. Layar yang digunakan sebagai pendorong kapal terkembang. Sesaat lagi malam akan segera datang. Pemuda itu merasa sangat kelelahan secara mental dan fisik. Terlalu banyak kematian hari ini. Terlalu banyak pertarungan. Dan akan banyak yang harus diperhitungkan di masa depan.
Perahu terus berlayar menyusuri sungai dalam gelapnya malam. Gentayu segera terlelap dan memasrahkan kapalnya pada angin dan layar kapalnya. Hingga saat menjelang fajar, perahu berhenti saat menabrak sesuatu. Tabrakan yang cukup keras hingga berhasil membangunkan Gentayu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Budi Efendi
lanjutkan mantappp
2022-11-21
0
Elmo Damarkaca
Gentayu kah Sang MC Kita ....
Keren ... lanjut josss
2022-05-24
1
Thomas Andreas
oke
2022-02-06
0