4

Vie menyambut ketiga tamunya dengan wajah datar, dia pun menyuruh semua pelayannya pergi dari sana. Para pelayan menurut, meski mereka sedikit ragu meninggalkan tiga nona yang terlihat lemah seperti kelinci di dekat pemangsa jahat seperti nona mereka. Tapi apa yang bisa mereka lakukan selain menuruti perintah yang diberikan, mereka hanya pekerja yang mengharapkan upah dan bisa terus bekerja untuk menghidupi keluarga mereka. Mereka bukan pahlawan yang bisa melindungi orang lain meski mereka merasa iba atau pun tak tega.

Selepas para pelayan pergi, mereka berempat pun mulai berbincang. Vie mengutarakan pikirannya, menuduh kalau salah satu di antara mereka ada yang ragu untuk kembali, makanya mereka masih tetap di sini dan belum bisa kembali. Lili yang kesal menggebrak meja, balas mengatakan kalau mungkin saja Vie yang seperti itu. Indi pun menyetujui hal itu, bukankah ini yang Vie inginkan.

Miu melerai ketiganya, bisa-bisa akan ada pertengkaran yang terjadi kalau mereka ribut seperti ini terus. Bahkan mungkin saja pertengkaran itu berakhir sebagai peperangan di antara keluarga mereka.

Setelah berpikir sesaat, diputuskan kalau mereka akan terus mencoba dan mencoba hingga mereka berhasil. Vie malah tertawa, mendengus remeh dan mengatakan kalau dia sudah mencoba hingga dirinya malas menghitung berapa kali dirinya mencoba.

Kembali, keheningan melanda keempatnya. Kalau memang begitu, lantas apa yang harus mereka lakukan untuk bisa kembali ke dunia asli mereka. Hanya itu satu-satunya cara yang mereka tahu. Apa mereka bisa kembali kalau mencari cara yang lain, atau mungkin mereka akan terlempar ke dunia paralel lain yang bahkan mereka tak tahu itu di mana. Berbagai pemikiran berkeliaran, keempatnya sibuk mencari cara. Hingga teh yang dihidangkan bahkan menjadi semakin dingin karena tak disentuh sejak tadi.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

"Apa kita harus bertengkar?" kata Lili asal bicara, dia sudah pusing dengan apa yang harus dilakukan untuk bisa kembali lagi ke kehidupan asli mereka, bukannya terjebak di dunia novel seperti ini.

"Aku yang seharusnya penjahat tak boleh diam saja dan harus membuat masalah, begitu?" timpal Vie ikut berpikir bahwa mungkin memang cara seperti itu yang diperlukan.

"Tak ada jaminan akan berhasil, tapi tetap saja patut dicoba?!" kata Miu setuju.

"Lalu kalau tak berhasil, apa lagi yang harus kita lakukan?" celetuk Indi tiba-tiba. "Tak mungkin bukan kita membuat pertemuan seperti ini terus hanya untuk membicarakan hal yang sama?" lanjutnya memikirkan alasan apa lagi yang harus mereka berikan kalau mereka mengadakan pertemuan seperti ini ke depannya.

Vie mengangguk paham, dia sangat tahu apa dan bagaimana tanggapan orang tentang dirinya. Jadi tak mungkin dua sisi yang berbeda bisa akur dan mengadakan pertemuan secara berkala tanpa ada masalah. Kalau pun dirinya bisa membuat masalah, tapi tak mungkin tiga orang yang lainnya mau bertemu lagi kalau diberikan undangan. Setidaknya itu akan terlihat sangat aneh di mata orang-orang dan juga para bangsawan. "Setidaknya kita harus menemukan paling sedikit sepuluh cara untuk bisa kembali!" kata gadis itu. Setelah mencoba kesepuluh cara yang diajukan dan tak berhasil, baru mereka akan memikirkan lagi bagaimana caranya mereka bertemu tanpa membuat pihak lain yang melihat merasa ada yang janggal dan heran.

"Sepuluh paling sedikit? Lalu paling banyaknya berapa? Dua puluh? Lima puluh? Atau butuh ratusan cara?" tanya Lili meminta kepastian. Mereka hanya berempat, kalau membutuhkan sepuluh cara, bukankah artinya mereka setidaknya memikirkan dua atau tiga cara perorangnya.

"Semakin banyak semakin bagus!" kata Vie membalas. "Bahkan kalau terkumpul ribuan pun aku tak masalah," katanya lagi. "Tak mungkin kalau di antara banyaknya cara yang kita ajukan tak ada satu pun yang berhasil membuat kita kembali!" tambah gadis itu berpikir positif.

"Gila!" dengus Lili tak percaya. "Mana bisa kita memikirkan banyak cara salam waktu sesingkat ini!" lanjut gadis itu. Matanya melotot dengan tajam menatap tak percaya ke arah kawannya, seakan kawannya mengatakan hal paling mustahil terjadi di dunia ini.

"Nona Margaritha, suara anda terlalu tinggi! Itu sangat tak sopan, nona," tegur Miu sambil tersenyum.

"Maaf, aku hanya tak percaya hingga kelepasan bicara," kata Lili meminta maaf setengah hati, dia sama sekali tak menyesal sudah meninggikan suaranya saat bicara dengan Vie.

"Saya hanya mengatakan lebih banyak lebih baik, nona," kata Vie angkat bicara. "Saya tak pernah menyebutkan jumlah pastinya, jadi berikan ide anda sebanyak yang anda bisa dan saya akan berterima kasih untuk itu," lanjut gadis itu balas menatap tajam ke arah Lili. Tatapan mata antagonis memang berbeda dengan sang protagonis, tentu saja kalau pemeran baik yang menatap tajam itu masih terlihat biasa dan manis. Tapi kalau sudah pemeran jahat yang menatap tajam, rasanya bulu kuduk berdiri karena merasakan ancaman hanya dari tatapan matanya saja.

Beberapa saat semuanya diam, hanya keheningan yang canggung menguasai di sekitar mereka. Vie tersenyum kecil, melambaikan tangannya dengan ringan. "Mari kita pikirkan pelan-pelan sambil menyantap makanan ringan yang sudah disiapkan," kayanya bertingkah ramah.

Ketiga tamu yang dimiliki Vie itu pun mengikuti apa yang dikatakan oleh tuan rumah yang sudah mengundang mereka. Mereka menikmati camilan manis sambil berpikir keras, kira-kira cara apa yang mungkin bisa membawa mereka kembali.

Setelah beberapa jam terlewat, mereka bahkan belum bisa mencapai batas minimal ide yang dikatakan oleh Vie. Bahkan Vie yang merupakan penulis novel ini pun, hanya bisa menyumbang dua ide. Dia bahkan menyampaikannya dengan ragu-ragu, terlalu tak yakin kalau idenya bisa berhasil membawa mereka kembali.

"Mengapa sesulit ini?" keluh Lili tak suka. "Padahal terakhir kali kita bisa melewatinya dengan sangat mudah!" katanya lagi sambil mendengus. "Kita hanya perlu meminta san berharap sebelum kita jatuh tertidur. Lalu, viola, saat terbangun kita telah sampai di sana!" tambahnya menjentikkan jari.

"Mungkin ini aturan yang tidak kita ketahui," kata Vie menebak. "Selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapai sesuatu," katanya menarik kesimpulan. Kalau terakhir kali mereka dengan mudah bisa bolak-balik, mungkin kali ini mereka harus menemukan kunci untuk bisa kembali ke tempat seharusnya mereka berada.

"Peraturan ada untuk dilanggar?!" tukas Lili cemberut kesal.

"Lalu apa yang harus dilanggar kalau kita bahkan tak tahu apa-apa tentang peraturan ini?!" timpal Miu ikutan kesal meski hanya sedikit. Dia sudah setengah mati berpikir, tapi kawannya seenaknya malah sibuk mengeluh.

"Dari pada mengeluh, lebih baik gunakan sisa waktu kita dengan memikirkan ide selanjutnya!" kata Indi angkat bicara. Oh, bolehkah Miu merasa terharu karena sahabatnya bisa mengetahui apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Sungguh menyenangkan memiliki sahabat yang sangat pengertian bahkan sebelum kita sempat mengatakan apa pun, dia langsung tahu dan bisa menebak apa yang ingin kita utarakan. Mereka pun akhirnya sibuk berpikir ria hingga matahari tepat berada di tengah, ketiganya berpamitan setelah diajak makan siang bersama. Tentu saja mereka menolak, tak akan ada gunanya memperlihatkan kedekatan mereka pada orang luar. Di cerita ini, mereka saling bermusuhan. Bukannya berteman akrab dan bisa menghabiskan waktu makan bersama dengan begitu mudahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!