“Oh, gitu ya Non. Ya udah deh. Kalau ada apa-apa, panggil Ujang aja, ya! Rumahnya cukup luas, jadi kita sediain telepon kamar buat Non manggil kita. Tekan aja angka 1, itu nyambung ke dekat pintu. Biasanya Ujang sering jaga di luar, takut Den Bisma pulang,” ujarnya menjelaskan panjang lebar.
Ara memandangnya dengan dalam, ‘Sepertinya Mang Ujang tulus untuk melayaniku. Aku suka dengan pelayanannya yang terkesan santai dan tidak dibuat-buat. Berbeda saat ia pertama kali melihatku. Kesan pertama dengannya sudah kesal sekali. Tapi tak disangka, ia begitu setia dengan majikannya,’ batin Ara, yang merasa sangat senang bertemu dengan Ujang.
“Terima kasih, Mang Ujang,” ucap Ara teriring senyuman hangatnya.
Mang Ujang menyeringai, “Gak usah sungkan, Non. Saya permisi ya,” pamitnya yang mendapat anggukan kecil dari Ara.
Mang Ujang pun akhirnya pergi dari kamar Ara, meninggalkan Ara sendiri di sana. Ara pun langsung bergerak masuk ke dalam kamarnya. Dilangkahkan kakinya ke arah ranjang, dengan tangannya yang menyentuh perlahan sprei bernuansa merah muda itu.
Ara duduk di bibir ranjang, pandangannya tetap beredar ke arah ruangan kamarnya. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau dirinya bisa berada di tempat semewah ini.
Tak pernah terbayang sedikit pun bisa tinggal di istana sebagus ini. Perjalanannya sangatlah panjang, untuk bisa sampai ke tempat ini. Ara benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk beristirahat.
Dihelanya napasnya dengan berat, ia merasa di sini sangatlah panas. Saking panasnya, ia sampai membuka dua kancing kemejanya, saking tak tahan dengan panasnya.
“Di sini pengap banget. Cuacanya juga panas,” lirih Ara, sembari mengipas-ngipas lehernya dengan tangan kanannya, dan tangan satunya menyeka keringatnya yang bercucuran di keningnya.
Ketika sedang merasakan panas dan gerah, Ara tiba-tibas saja teringat akan sesuatu. Buru-buru disambar gagang telepon yang berada di sudut kamar.
Ia berhenti sejenak, “Eh ... tadi disuruh pencet apa, ya?” Ara mendadak lupa dengan perintah Mang Ujang.
Karena sudah lupa, Ara jadi menekan tombol secara sembarang. Yang ia tahu, yang penting ada seseorang yang bisa menjawab teleponnya.
Telepon terhubung, terdengar suara seseorang di sana.
“Halo, Non. Ada apa, Non?” tanya seorang laki-laki di sana, yang Ara tahu itu adalah suara Mang Ujang.
Mendadak Ara terkejut, ‘Kenapa Mang Ujang bisa tahu kalau aku yang menelepon? Bisa saja pembantu yang lain atau telepon dari luar yang menelepon Mang Ujang, ‘kan?’ batin Ara kebingungan.
“Lho, kok Mang Ujang tau sih ini Ara?” tanyanya dengan nada polos.
Terdengar suara tawa khas dari Mang Ujang, membuat Ara semakin bingung saja dengan keadaannya.
‘Apa aku bertanya sesuatu yang salah? Aku hanya ingin tahu jawabannya saja,’ batin Ara kebingungan.
“Ada tulisannya, Non. Kalau lampu telepon depan menyala hijau pada posisinya masing-masing, Mang Ujang tau dari mana telepon itu, Non. Udah Mang Ujang tulis juga di pinggir teleponnya Non,” ujarnya menjelasjan dengan panjang lebar.
Karena sedikit tidak paham, Ara pun hanya ber-oh-ria mendengarkan penjelasannya. Ia sampai melupakan sesuatu, yang sangat penting ia bahas.
“Oh ... aduh sampe lupa. Mang, kamar aku panas banget, ya? Terus hawanya pengap,” ujar Ara menjelaskan.
“Tinggal nyalain AC nya, Non. Remotnya ada di sebelah pintu masuk kamar, Non,” tuturnya menjelaskan, Ara terdiam beberapa saat.
Ara bahkan tidak pernah menggunakan AC di rumahnya dulu. Ia sama sekali tidak bisa menggunakan remot tersebut, membuatnya hanya bisa memikirkan hal ini saja.
‘Gimana caranya aku nyalain AC-nya, ya?’ batin Ara yang merasa kebingungan jadinya.
“Lho, Non ... kenapa diem aja?” tanyanya.
Sebenarnya Ara sangat malu untuk mengatakannya, tapi jika ia tidak segera mengatakannya, ia pasti akan terus-menerus merasakan panas.
“Mmm ... aku gak tau cara pakainya, Mang,” jawab Ara dengan ragu, yang takut jika Mang Ujang menertawakannya lagi.
Ara mengaduh dalam hati, ‘Aku bodoh sekali ya? Kenapa aku membuka kartuku? Tapi, Aku memanglah anak kampung, dan pantas untuk mengatakan ini. Malu bertanya, sesat di jalan,’ batin Ara.
Ujang mendelik kaget, “Ya ampun. Tenang, Non! Nanti ada yang ke sana buat nyalahin AC,” ujarnya, membuat Ara mengubah sudut pandangnya sekarang.
“Lho ... Mang Ujang gak ngetawain aku lagi?” tanya Ara, membuat Mang Ujang terdiam sesaat.
Mendengar pertanyaan Ara, membuat Ujang sedikitnya merasakan apa yang Ara pikirkan tentangnya.
“Maafin ya, Non. Saya tadi mungkin nyakitin perasaan Non. Tapi, saya ketawa bukan karena ngeledek Non Ara. Tapi karena Non Ara tuh lucu. Maaf ya ... Non,” ucapnya dengan terdengar seperti nada bersalah.
Mendengarnya, membuat Ara kembali merasa bersalah padanya. Entah kenapa, malah Ara yang merasa bersalah padanya.
Ara tersenyum mendengarnya, “Gak apa-apa, Mang. Heheh.” Ia berusaha tegar dan menutupi perasaan sedihnya. Ara tak ingin, Mang Ujang terus merasa bersalah seperti ini.
Karena sudah merasa bingung, Ara pun hendak menyudahi telepon ini.
“Yaudah, nanti lagi ya Mang,” ucap Ara yang menyudahi teleponnya, karena sudah tak tahan akan panasnya ruangan kamar ini.
“Siap, Non.”
Setelah mengakhiri teleponnya, Ara segera kembali memasang dua kancing bajunya, yang sengaja ia lepas tadi. Akan sangat malu kalau sampai nanti mereka datang, dengan keadaan Ara yang tak memakai kancing dengan benar.
‘Aku takut mereka akan mentertawaiku lagi nanti,’ batin Ara, sembari tetap membenarkan kancing bajunya tersebut.
***
Ara masih saja berdiam diri di kamarnya, sembari menunggu mereka datang untuk mengajarkan cara memakai remot AC tersebut.
Dalam diamnya, Ara memikirkan sesuatu yang membuatnya sedikit kesal dengan ibunya.
‘Ah ... ini semua salah ibu. Kenapa tidak mengajariku dengan baik? Aku sama sekali tidak mengerti barang-barang elektronik yang berada di sini. Aku bahkan hampir tidak tahu apa namanya. Aku merasa kesal bercampur malu, kenapa aku terlahir dari seorang yang hidup di kampung? Dan juga ... tanpa seorang ayah,’ batin Ara, yang memikirkan tentang keadaan dirinya yang terlalu udik.
Tak lama waktu berselang, beberapa asisten pun masuk ke kamar Ara. Mereka mengajarkannya sedikit tentang peralatan yang ada di kamar ini.
Sepanjang mereka berbicara, Ara hanya ber-oh-ria saja. Namun, ia sangat senang karena banyak orang yang peduli dengannya. Ia jadi merasa tidak sendirian lagi.
Banyak yang mengajarinya tentang elektronik, atau cara penggunaan barang tersebut. Ara senang karena ia mendapatkan ilmu baru yang tidak ia ketahui, semasa ia tinggal di kampung halamannya dulu.
Selesai mengajarkan semua itu, mereka pun pergi dari kamarnya, karena Ara yang ingin berendam sebentar di bath tub.
Ara tersenyum menyeringai, ‘Mereka yang mengajarkanku mengucapkan kata bath tub,’ batinnya merasa girang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments