Ara sangat beruntung bertemu dengan pria yang dengan akal cerdiknya malah menolongnya. Walaupun, ia sama sekali belum mengenalnya.
Diperhatikan raut wajahnya, ‘Sepertinya, aku tidak asing dengan wajah oriental ini? Apa aku pernah melihatnya di suatu tempat?’ batinnya yang berpikir keras dengan seseorang yang ada di hadapannya itu.
Matanya membulat sempurna, ‘Ah! Sepertinya, ada sedikit kemiripan dengan anak yang menolongku dulu. Tapi, aku sama sekali tidak mengetahui siapa namanya,’ batinnya.
Lelaki tampan itu menyadari saat Ara memperhatikannya. Ia membalas pandangan Ara dengan tatapan yang terlihat sama, seperti sorot mata yang dimiliki anak itu.
Pupil mata Ara mendadak membesar, ‘Aku yakin, bahwa dia yang sudah menolongku dulu!’ batinnya dengan penuh keyakinan.
Lelaki itu memandang ke arah sopir, “Kiri, Pak!” teriaknya tiba-tiba, membuat Ara terkejut seketika.
Sopir itu segera memberhentikan kendaraannya, dan lelaki itu pun turun dari angkutan umum ini.
“Neng, yang di belakang, sudah sampai. Boleh turun di sini,” ucap sopir angkot tersebut.
Ternyata, Ara satu tujuan dengannya. Ara sangat terkejut dan langsung mengikuti ia turun.
Ara pun memberikan beberapa lembar uang receh pada sopir angkot itu, kemudian ia mengikuti langkah pria tadi.
Tiada niatnya untuk membuntutinya, tetapi memang tujuan merekalah sama. Ara harus berterima kasih lebih dulu padanya, karena sudah menolongnya tadi.
Ara pun mengikutinya sembari merogoh kantung celananya, untuk mengambil beberapa bungkus permen, untuk diberikan padanya. Namun, langkahnya yang panjang dan cepat, sampai Ara pun tidak bisa mengejarnya.
“Awwwww ....” Ara tak sengaja menabrak tubuhnya, karena tiba-tiba saja, ia menghentikan langkahnya.
Lelaki itu menoleh ke arah kanan, tetapi masih tetap pada posisi yang sama, tidak membalikan tubuhnya.
“Jaga diri,” gumamnya singkat.
Ada gejolak keras di hati Ara, saat ia mengucapkan kalimat itu. Ucapannya mengingatkan Ara dengan seseorang yang ia duga, adalah lelaki ini.
‘Apa betul dia orangnya?’ batin Ara merasa kebingungan.
Lelaki itu pergi dengan cepatnya, sampai Ara pun tidak bisa mengikutinya. Itu karena ia terlalu cepat, untuk langkah Ara yang kecil.
Akhirnya, Ara kehilangannya lagi.
Padahal, Ara ingin sekali memberikannya beberapa permen untuk sekadar berterima kasih padanya.
“Cepet juga jalannya,” ucap Ara yang terengah-engah, akibat mengikuti langkahnya.
Ara pun menghentikan langkahnya, untuk mengatur napasnya sejenak.
“Aku belum sempet bilang terima kasih ke dia,” lirih Ara dengan kesal, yang benar-benar sudah kehilangannya lagi.
Mau diapakan lagi? Takdir mereka memang sudah seperti itu adanya.
Ara pun kembali memasukkan permen itu ke saku celananya. Kali ini, ia kembali gagal untuk memberikannya hadiah.
Matanya kembali membulat, “Tapi akhirnya, aku tau namanya! Dia ....” Ara berpikir sejenak dan mengingat kembali, siapa namanya tadi. “Reza,” sambungnya, yang lantas tersenyum.
Karena hari sudah semakin sore, sejenak Ara melupakan soal Reza dan mencari alamat yang ibunya berikan padanya.
Dilangkahkan kakinya ke arah tujuan, tetapi ia sama sekali tak tahu rumah siapa yang akan ia tuju. Yang jelas, ibunya hanya memberikan secarik kertas yang beralamatkan tempat yang akan ia tuju saat ini.
Ara sama sekali tidak tahu, apa tujuan ibunya memberikan alamat ini padanya.
‘Ya sudah, lihat saja nanti,’ batin Ara.
Tak berapa lama, Ara pun sampai pada suatu perumahan yang cukup elite untuk seukuran orang kampung sepertinya.
Ara terdiam sesaat, sembari melepaskan pandangan sejauh mata memandang. Ia mendekati perlahan ke arah pagar rumah itu.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, Ara mengetuk pagar dengan perasaan was-was dan juga takut. Namun, tidak ada yang membukakan pagar untuknya.
Ara merasa penasaran, ‘Apakah tidak ada orang di rumah sebesar ini?’ batinnya bertanya-tanya.
“Gak ada orang mungkin, ya?” lirih Ara bertanya-tanya.
Ara melihat-lihat ke sudut dinding. Terlihat tulisan bertuliskan kata “Bel” dengan tanda panah ke kanan.
‘Apa itu tandanya, aku harus memencet bel?’ batinnya, dengan kening yang mengerut bingung.
Ara menghela napasnya dengan panjang, “Aku gak pernah mencet bel sebelumnya,” lirihnya merasa takut.
Tiba-tiba saja teringat sesuatu yang lucu di benaknya, sampai ia tersenyum tipis, sembari menahan tawanya.
“Oh ya, waktu aku main petak umpet, teman-teman aku ‘kan pernah mainin bel rumah pak Kades. Hehe,” lirihnya, dibarengi tawa kecil, karena mengingat kejadian saat ia masih kecil.
Akhirnya, Ara pun memberanikan diri untuk memencet bel rumah ini.
Jemarinya ia mainkan saking groginya, “Gimana ya? Aku lupa ...,” lirihnya.
Ara menekan dengan keras bel itu sampai bel itu berbunyi.
Ara melangkah sedikit mundur karena terkejut mendengar suara bunyi bel tersebut.
“Ehh ... bunyi euy ....” Ara tersenyum karena bisa dengan mudahnya memencet bel ini.
Lagi-lagi ia teringat dengan masa lalunya di kampung halamannya.
“Biasanya mah, pak Kades langsung marah kalo ada yang pencet bel rumahnya. Malahan kita semua langsung kabur pas pak Kades keluar pintu. Heheh ... jadi kangen kampung,” lirih Ara kembali, yang tertawa kecil mengingat kejadian lucu, saat ia masih tinggal di kampung halamannya.
Ara sudah menunggu lama sekali, tetapi tak ada seorang punyang datang untuk meresponnya.
“Apa aku pencet lagi kali ya belnya?” Ara dengan rasa penasaran yang tinggi, berpikir untuk menekan bel untuk yang kedua kalinya.
Bel kedua pun telah ia bunyikan. Ara menunggu dengan saksama, seseorang yang akan membukakan pintu untuknya.
Kesabarannya membuahkan hasil. Tak berapa lama, ada seseorang dari balik pagar yang datang menghampiri ke arahnya.
“Maaf mbak, di sini tidak menerima sumbangan,” ucapnya yang lembut, tapi cukup menyakitkan hati Ara.
Ada sedikit rasa kesal dan sedih di hatinya. Akan tetapi, Ara berusaha sabar dan menahan amarah. Ia pun memaksa dirinya untuk tersenyum pada lelaki ini.
“Maaf, Pak. Saya Ara yang datang dari kampung. Saya mau tanya, apa benar ini alamat yang ada di kertas ini?” tanya Ara, lalu menyodorkan kertas kepadanya.
Ia menerima kertas tersebut dan melihat tulisan yang tertera di dalamnya.
Setelah membacanya, lelaki itu sontak mendelik kaget dan merasa tak enak dengan Ara.
“Oh ... maaf, Non! Saya gak tau kalau ini Non Ara. Saya Ujang, penjaga rumah ini, Non!” ucapnya dengan nada yang terdengar seperti nada bersalah.
Ara hanya bisa tersenyum simpul padanya, ‘Tak apalah ... lagi pula, ia tak mengetahuinya,’ batinnya.
Ia membukakan lebar-lebar pintu pagar rumah ini, “Mari masuk, Non!” ajaknya dengan tutur yang sangat sopan di hadapan Ara.
Ara mengangguk kecil, dan ia pun dibawa masuk oleh lelaki tersebut.
Sepanjang jalan mereka masuk menuju rumah ... oh bukan! Ini lebih condong disebut istana yang megah. Istana ini sangat jauh perbandingannya daripada rumah Ara yang dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
buk e irul
kayak udah di tunggu kedatangan Ara ya...
2023-02-01
1