Ara tersenyum sembari menggenggam sebuah permen lollipop besar, yang sudah ia siapkan untuk bocah heroik itu.
Pandangannya terus ia edarkan di sekitar jalan itu, mencari keberadaan lelaki yang sudah menolongnya.
‘Kemarin, kamu ada di sini ....’ Ara menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari keberadaan bocah yang sudah menolongnya kemarin.
‘Kamu di mana ...,’ batin Ara yang terus-menerus memanggilnya. Padahal, dirinya tak tahu sama sekali namanya.
Ara tidak bisa menemukannya saat ia berangkat ke sekolah. Jadi, ia berniat mencarinya saat pulang sekolah nanti.
Ara pun melangkahkan kakinya menuju ke sekolah.
Kemudian saat Ara pulang dari sekolahnya, Ara melihat dia. Benar-benar melihatnya. Namun, dia baru saja memasuki sebuah mobil yang terparkir rapi di hadapannya.
Ara bingung, ‘Kenapa dia terlihat diam seperti tidak senang?’ batinnya.
Ara kembali melihat laki-laki yang menolongnya kemarin, dari kejauhan. Ia terlihat sedang memandang kosong ke arah depan, sembari memegang bonekanya.
Mata Ara sudah tidak tahan lagi ingin menangis, ‘Kenapa dia seperti itu? Apa yang baru saja terjadi padanya?’ batinnya bertanya-tanya tentang keadaan lelaki itu.
Perlahan mobil itu beranjak pergi. Ara tak sengaja melihat ia, yang juga sedang melihat ke arah Ara.
Ara hanya diam mematung, sambil memegang permen yang ingin ia berikan padanya.
Perlahan, air matanya jatuh, ia mulai menangisi kepergian bocah itu.
Terlihat tatapan dingin dari bola matanya. Namun Ara sangat tahu, Ilham sedang tidak baik-baik saja.
‘Aku berharap, aku bisa bertemu denganmu kembali. Di mana pun itu, kapan pun itu,’ batinnya penuh harap.
Sepeninggalannya, hari-hari Ara jalani dengan keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang mengganggunya lagi sejak saat itu.
Pada sebuah kesempatan, ibu tiba-tiba saja memberikan secarik kertas padanya. Ia berpesan pada Ara untuk tidak membacanya, sampai sang ibu tiada.
Ara yang masih setengah tidak paham, hanya bisa menuruti apa yang ibunya katakan.
Sampai saatnya tiba, Ara benar kehilangan ibunya. Ia memeluk tubuh ibu –yang melahirkannya– yang sudah terbaring kaku.
Air mata berjatuhan, deraian air mata sudah tak terbendung lagi.
Tidak ada lagi orang yang bisa ia jadikan tempat bersandar. Tidak ada sanak saudara yang mengetahuinya.
Lagipula, yang Ara dengar dari cerita ibunya, ibunya itu sudah lama dibuang oleh neneknya, karena ibunya hanya mempermalukan keluarga mereka saja.
Kini, Ara benar-benar hanya sendiri. Dengan mengumpulkan keberanian, ia pun membaca secarik kertas yang ibu berikan padanya sebelum akhirnya, ibu meninggalkannya untuk selamanya.
Kertas itu hanya bertuliskan sebuah alamat rumah, yang mungkin saja ibu persiapkan untuknya, untuk berjaga-jaga kalau saja beliau meninggalkan Ara selamanya.
Tanpa pikir panjang, Ara memantapkan langkahnya, bergegas menuju alamat yang tertera pada kertas ini dan meninggalkan kampung halamanku.
Sakit, memang sakit. Namun, inilah yang harus ia jalani sekarang.
***
Saat ini, usia Ara sudah menginjak 17 tahun. Hanya butuh waktu 1 tahun lagi untuk ia bisa menyelesaikan sekolahnya.
Ara turun dari bis antar kota, menuju pintu keluar terminal. Ada banyak sekali orang berlalu-lalang di sini. Kehidupan di kota sangat sesak. Ara tidak tahu akan betah atau tidak jika ia terus di sinis.
“Panas banget ...,” lirihnya, sembari menyeka dahinya yang berkeringat, menggunakan punggung jemarinya.
Ara mulai melangkah menuju mobil angkutan umum, yang ada di depan terminal untuk melanjutkan perjalanan.
Di hadapannya kini, ada seorang sopir yang sedang menunggu penumpang. Ara mengeluarkan kertas tersebut, lalu mengulurkannya ke arah sopir tersebut.
“Ke daerah ini bisa gak, Pak?” tanya Ara pada sopir angkot tersebut, sembari memberikan secarik kertas yang ia pegang.
Sang sopir mengambilnya, lalu membaca tulisan yang tak terlalu bagus itu, secara perlahan.
Setelah meyakinkan dirinya, sang sopir pun menatap mantap ke arah Ara.
“Oh, bisa! Masuk aja!” Mendengar sopir yang mengatakan seperti itu, Ara pun langsung masuk ke dalam angkutan umum itu.
Beberapa saat menunggu, tak lama kemudian, banyak sekali orang yang masuk ke dalam mobil ini, sehingga membuat penuh seisi angkutan ini.
Ara yang duduk di tengah-tengah, merasa sangat risih karena semua orang yang berada di sebelahnya, adalah laki-laki. Rasa was-was muncul di pikiran Ara, ia merasa sangat tegang saat ini.
‘Duh ... mudah-mudahan gak terjadi apa pun,’ batinnya mengaduh.
Tak lama berselang, angkutan ini pun jalan menuju tempat tujuan. Guncangan demi guncangan sering terjadi saat perjalanan.
Seseorang mengusik ketenangan Ara, membuatnya merasa risih dengan perbuatan laki-laki, yang berada di sebelah kanannya.
Tangannya kedapatan mencuri-curi, dan mulai meraba area pinggang Ara. Ia menutup mulutnya dan tak berani berteriak. Ia tidak bisa melakukan apa pun, dan hanya bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Akan tetapi, semakin lama lelaki itu semakin terang-terangan meraba Ara. Ara pun semakin tidak keruan harus berbuat apa.
“Ehh Siti? Apa kabar?” sapa laki-laki yang berada di pojok hadapan Ara.
Ara pun mendadak bingung, ‘Siti? Siapa itu?’ batinnya.
“Ehh ....” Ara sama sekali tidak mengerti, jawaban apa yang harus ia berikan pada lelaki itu. Ara pun hanya melontarkan senyum kecil padanya.
“Loe Siti, ‘kan?” tanyanya sekali lagi, Ara hanya bisa menyeringainya tak enak.
“Hehe, aku Ara,” ucapnya membenarkan perkataan yang salah.
Wajah lelaki itu seperti sedang menahan kesal.
‘Apa yang salah denganku? Aku hanya mengatakan namaku dengan jujur padanya. Apa dia masih saja ingin marah padaku?’ batin Ara kebingungan karenanya.
“Oh iya! Siti Arahma, ‘kan? Yang sekolah di sekolah 73 itu?” ucapan laki-laki itu semakin lama semakin melantur saja. Ara meraba lehernya, tak mengerti dengan yang ia maksudkan.
‘Apakah dia salah mengenali orang?’ batin Ara lagi, yang sudah benar-benar tidak mengerti dengan keadaan.
“Gue Reza. Masa loe gak kenal sih sama gue?” ucapnya, semakin memaksa Ara untuk menerimanya.
Mendadak Ara menjadi sangat takut, ‘Apakah ini modus perampokan atau penculikan yang baru?’ Ara langsung menjaga tasnya yang hanya berisi beberapa baju, agar ia tidak bisa merampasnya dengan mudah.
‘Aduh aku harus jawab apa nih?’ batin Ara terus-menerus merasa bingung.
‘Tidak bisakah dia pergi dari hadapanku?’ Ara menatapnya lagi, masih dengan tatapan bingung.
“Eh, boleh tuker tempat duduk gak? Di sini panas,” pintanya.
Seketika pikiran Ara pun terbuka, dengan apa yang dia maksudkan. Namun, Ara bersikap seolah-olah ia tidak tahu maksudnya.
‘Oh ... aku paham maksudnya dia,’ batinnya.
Tanpa berpikir panjang, Ara pun bangkit dan langsung bertukar tempat duduk dengannya.
Sekilas, Ara melirik ke arah laki-laki yang berniat jahat padanya tadi. Terlihat laki-laki itu berubah muka menjadi masam. Ara menghela napas panjang, karena ia merasa sangat lega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments