Dua bulan berlalu. Rumah tangga Anta dan Elvano tetap tidak ada perubahan. Tidak ada percakapan lebih antara Anta dan Elvano. Elvano sibuk dengan pekerjaanya, dan sesakli mengurus Evan. Sementara Anta, gadis itu mengurus Evan dan membantu pekerjaan Bi Ijah. Anta juga masih diam-diam tidur di sofa. Ia sengaja berlama-lama di kamar Evan, dan kembali saat merasa Elvano sudah tertidur.
Seperti malam ini, Anta baru keluar dari kamar Evan saat jarum jam menunjukkan angka 11. Ia berjalan mengendap ke sisi ranjang bagiannya, meraih bantal sebagai alas kepalanya untuk tidur di sofa.
"Mau kemana kamu?" Suara dingin Elvano membuat Anta berhenti melangkah. Gadis itu meneguk ludahnya, lalu berbalik. Ia merutuki dirinya. Ternyata Elvano belum benar-benar tertidur.
"A-aku..."
"Saya tahu, selama ini kamu tidur di sofa." Ucap Elvano, membuat Anta menatapnya, lalu kembali menunduk. "Saya nggak sejahat yang kamu pikirkan. Tidur saja disini! Saya nggak akan macam-macam." Ujar Elvano, lalu berbalik memunggungi Anta.
Anta menarik nafasnya. Dengan langkah pelan, ia kembali mendekati ranjang. Meletakkan dengan pelan bantalnya dan perlahan menaiki ranjang. Gadis itu berbaring, lalu berbalik memunggungi Elvano. Sehingga keduanya saling membelakangi.
Anta sedikit sulit memejamkan matanya. Ini pertama kalinya tidur di ranjang yang sama dengan seorang lelaki dewasa. Hingga pukul 2 pagi, Anta baru bisa memejamkan matanya.
Elvano terbangun saat jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi. Ia meraskan tenggorokannya kering. Tapi, ia merasa ada yang aneh. Ia menoleh pada Anta yang tidur di sebelahnya. Gadis itu masih dalam posisi yang sama saat pertama kali mereka berbaring. Elvano memiliki ruang luas untuk tidur.
"Apa dia tertidur miring seperti ini sejak tadi? Pasti sangat sakit lengannya saat bangun nanti." Gumam Elvano.
"Akkhhh... Apa yang aku pikirkan? Biarkan saja. Bagus dia tahu diri seperti ini." Elvano mengacak rambutnya, lalu meneguk air yang berada di atas nakas. Ia lalu kembali berbaring. Namun, matanya tak bisa terpejam lagi.
***
Seperti biasa, sebelum berangkat ke kantor, Elvano selalu menyempatkan untuk sarapan walaupun sedikit. Tapi, sejak ia menikah, porsi sarapannya bertambah. Entah karena apa, tapi masakan Bi Ijah semakin enak.
"Evan belum bangun, Bi?" Tanyanya.
"Sudah tuan. Tuan muda masih di kamar sama nyonya." Jawab Bi Ijah.
Elvano mengangguk. Ia tidak sempat menemui putranya di kamar tadi. Dia buru-buru karena ada rapat penting hari ini.
Anta turun dengan Evan yang berada dalam gendongannya. Senyum tipis terukir di bibirnya saat melihat Elvano mengenakan baju yang ia siapkan. Hanya hal kecil. Tapi, bisa membuat hatinya senang.
Anta mendekat ke kursi. Belum sempat ia mendudukkan Evan di strollernya, Elvano berdiri. Lelaki itu mendekati Anta yang masih menggendong Evan. Ia lalu mengecup pipi Evan dan bergegas pergi.
"Mas El." Panggilan Anta membuatnya menoleh dengan malas. Hanya ekspresi malas, tapi mampu membuat hati Anta tergores. Namun, gadis itu tetap memaksakan senyumnya. Ia hanya ingin menjadi istri yang baik.
"Apa? Saya sedang buru-buru." Nada bicara Elvano sedikit tak bersahabat.
Anta mendekat dan meraih tangan Elvano. "Salim." Ujarnya, dan mengecup punggung tangan lelaki itu. Elvano menarik tangannya dengan cepat, lalu pergi. Selalu seperti ini.
"Hati-hati, mas." Lirihnya.
"Mam... Mam... Mam..." Suara Evan membuat Anta tersadar dan tersenyum. Gadis itu mengecup pipi Evan dan mendudukan anak itu ke strollernya. Ia lalu duduk di kursinya dan mulai menyuapi makanan untuk Evan.
"Evan mam dulu, ya?" Ujarnya lembut.
"Nak Anta," Panggilan Bi Ijah membuat Anta menoleh.
"Iya, Bi?" Gadis itu lalu kembali mentap Evan dan menyuapinya. Kemudian kembali menoleh pada Bi Ijah. "Ada apa, Bi?"
"Maafin tuan, ya, nak Anta? Sepertinya Tuan tadi buru-buru. Dia menghabiskan makananya dengan cepat dan nggak sempat menemui tuan muda di kamar tadi."
Anta tersenyum pada Bi Ijah. "Nggak apa-apa, Bi. Anta mengerti."
Ya, dia sepertinya memang buru-buru. Tidak mungkin dia mau memakai baju yang ku siapkan. Batin Anta.
"Tuan sebenarnya orang baik. Hanya saja, sifat dinginnya yang membuat orang-orang menganggapnya kejam dan sombong." Anta hanya tersenyum mendengarnya. Setelah itu, ia kembali menyuapi Evan.
Setelah selesai dengan Evan, Anta memakan sarapannya. Putranya itu sekarang sibuk dengan mainan di tangannya.
Suara bel rumah yang berbunyi membuat Anta mengehentikan suapan ke mulutnya. Ia hendak beranjak membuka pintu, tapi Bi Ijah memintanya tetap di tempat.
Wanita paruh baya itu segera berjalan dan membuka pintu. "Selamat pagi, nyonya." Sapanya pada Bu Devita. Wanita itu datang pagi-pagi karena rindu pada menantu dan cucunya.
"Selamat pagi, Bi."
"Silakan masuk, nyonya."
"Terima kasih. Dimana Anta dan Evan?"
"Nyonya muda sama tuan muda Evan sedang di ruang makan, nyonya."
Bu Devita mengangguk. Ia segera menuju ruang makan. Anta yang sudah menghabiskan sarapannya pun terkejut. Ia tidak tahu Ibu mertuanya akan berkunjung.
"Mama?"
"Hai, sayang. Mantu mama."
Bu Devita langsung menghampiri Anta. Ia memeluk gadis itu. "Bagaimana kabarmu? Sudah sebulan, kita nggak ketemu."
"Anta baik, Ma. Bagaimana kabar Mama? Papa?"
"Kami baik-baik saja. Selalu sehat." Wanita itu melepas pelukannya, lalu beralih pada Evan yang sudah tersenyum lebar kegirangan. Anak itu memukul-mukul mainannya ke stroller.
"Naa... Naa..." Suara Evan yang menggemaskan.
Bu Devita menunduk dan langsung menggendong Evan. "Cucu Nenek yang paling tampan. Coba Nenek cium." Wanita itu langsung mencium pipi Evan dan mendusel-dusel gemas.
Evan terkekeh dan menular pada Bu Devita, Anta dan Bi Ijah. Ketiganya ikut terkekeh karena kekehan Evan.
"Hari ini ke rumah Nenek, ya?" Ujar Bu Devita, lagi-lagi mengecup pipi Evan.
"Ke rumah Mama, ya, hari ini, Ta?"
"Boleh, Ma. Tapi, izin sama Mas El dulu ya?"
"Mas El? Elvano maksudnya?" Anta mengangguk. Bu Devita tersenyum mendapat anggukkan Anta. Jika Elvano mau dipanggil seperti itu oleh Anta, berarti hubungan mereka semakin membaik.
"Ya udah. Mama telpon Elvano dulu." Bu Devita memberikan Evan pada Anta. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelpon Elvano.
"Hallo, Ma?"
"Hallo, Vano!"
"Hmm?"
"Kamu udah sampai di kantor?"
"Barusan. Kenapa, Ma?"
"Mama mau izin sama kamu. Mau bawa Anta sama Evan ke rumah Mama."
"Ya, bawa saja."
"Nginap, ya?"
"Kalau gadis itu mau menginap, boleh. Tapi Evan, aku akan jemput kembali." Hancur sudah dugaan Bu Devita jika hubungan Anta dan Elvano membaik. Ternyata Elvano masih begitu tidak suka pada Anta.
"Apa yang kamu katakan?! Kamu..."
"Vano ada rapat penting. Vano tutup telponnya." Potongnya, dan langsung mutuskan panggilan sepihak.
Bu Devita mengupati anaknya dalam hati. Ia lalu berbalik menatap Anta. Gadis itu tersenyum manis sambil mengelus kepala Evan. Ia jadi merasa bersalah.
"Bagaimana, Ma? Mas El nya, izinin?"
"I-iya. Mama boleh bawa kalian."
Anta lagi-lagi tersenyum. Senyum palsu yang menutupi rasa sakitnya. Bohong jika dia bilang dia tak mendengar apa yang dibicarakan Elvano dengan sang Mama. Bu Devita menghidupkan speaker, yang sudah pasti membuat Anta bisa mendengarnya.
Tapi, Anta merasa heran dengan dirinya. Dia tidak memiliki perasaan apa-apa pada suaminya. Yang ia lakukan, hanyalah semata menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Tapi, kenapa rasanya sakit saat Elvano terus menolak dirinya?
"Anta?" Sentuhan Bu Devita di pundak Anta membuat gadis itu tersadar dari lamunanya. Ia tersenyum kaku pada bu Devita.
"Ada apa, nak?"
"Enggak, Ma. Anta hanya kepikiran sama Tiara sama Ricky."
"Kamu mau ketemu mereka?" Anta mengangguk lalu menggeleng kembali. Membuat Bu Devita terkekeh. "Hehehe... Kamu ini... Gimana siiihh? Angguk, geleng lagi." Ucap Bu Devita sambil mencubit pipi Anta, gemas.
"Anta mau ketemu mereka. Tapi, nanti Ma."
"Ya sudah. Ayo, kita berangkat. Pulangnya, Elvano yang jemput."
Anta mengangguk. Ia bersama Bu Devita dan Evan segera ke menuju mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments