Anta dengan langkah pelan berjalan menuju kamar. Tubuhnya yang mengenakan gaun sudah berganti dengan stelan baju tidur berwarna biru gelap. Saat langkahnya melewati kamar yang berada tepat di sebelah kamar Evan, Anta mendengar erangan kecil dari anak itu. Tanpa menunggu, Anta membuka pintu dan menghampirinya.
Di ranjangnya, Evan sudah terbangun. Wajahnya memerah hendak menangis.
"Evan..." Anta mengusap pelan kepala anak itu. Bibirnya yang dicebik berubah menjadi sebuah senyuman. Matanya terus menatap Anta.
"Ma..." Ucapnya pelan, sambil mengangkat tangannya menggapai udara.
Anta tertegun mendengarnya. Mama? Apakah balita mungil itu sedang memanggilnya Mama? Atau hanya kata-kata asalan yang keluar begitu saja dari mulut kecil itu. Tapi, Anta tidak peduli. Anak kecil ini begitu menggemaskan. Ia ingin menggendongnya.
"Ma..."
Anta tersadar dari pikirannya saat suara Evan kembali terdengar. Ia tersenyum, lalu mengulangi usapannya di kepala Evan.
"Iya, sayang. Kamu panggil Mama?"
"Ma..."
"Anak manis. Mama gendong, boleh?"
Evan mengangguk, seolah mengerti dengan ucapan Anta. Hal itu membuat Anta terkekeh dan langsung menggendongnya.
"Tampan sekali." Anta mengecup pipinya.
Evan kembali tersenyum dan memeluk leher Anta dengan tangan mungilnya. Anta lagi-lagi tersenyum. Ia pikir, akan sulit untuk Evan beradaptasi dengannya. Tapi, pikirannya salah. Evan begitu mudah menerimanya.
"Evan kenapa bangun malam-malam begini? Evan lapar?" Anta bertanya, seakan Evan mengerti ucapannya dan bisa menjawab.
"Kalau Evan lapar, Mama buatin susu, ya?"
Mendengar kata susu diucap Anta, anak itu langsung melepas pelukannya.
"Su..." Ia menatap wajah Anta, dan lagi-lagi membuat gadis itu tersenyum.
"Ternyata anak tampan ini lapar. Tunggu ya, Mama buatin susu dulu."
Anta mengembalikan Evan ke ranjangnya. Namun, baru satu detik menyentuh ranjang, anak itu menangis. Ia mengangkat tangannya meminta Anta kembali menggendongnya. Gadis itu tidak tega dan kembali menggendong Evan.
"Cup.. Cup... Cup... Jangan nangis, ya, anak pintar?" Anta mengelus-elus punggungnya. "Ayo, kita ke dapur. Buat susu buat Evan, ya? Jangan nagis lagi."
Anta menatap ke arah lemari di kamar itu. Ia mendekatinya dan membukanya. Tangannya langsung meraih gendongan yang ia cari.
"Ketemu juga." Anta mulai menggunakannya. Beruntung ia sering melihat tetangganya menggunakannya dulu. Jadi dia tahu bagaimana cara menggunakannya. Dan kebetulan juga, gendongan yang ia pegang saat ini lebih mudah cara penggunaanya.
"Kita pakai ini, ya, ke dapurnya? Biar Evan aman digendong Mama, dan Mama bisa buat susu buat Evan." Ujar Anta. Tanpa ia sadar, ia sudah berkali-kali mengucap kata Mama untuk menggambarkan peran dirinya pada Evan.
Sementara di balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka, Elvano mengintip kegiatan Anta yang mengurus Evan. Tidak ada rekasi apa-apa yang ia tunjukkan. Wajahnya datar saja menyaksikan semua itu.
Awalnya ia ingin melihat putranya itu. Biasanya Evan akan terbangun saat malam hari untuk minum susu. Namun, saat ia mendekat, ternyata pintu kamar Evan sedikit terbuka. Ia mengintip, dan menemukan Anta ada di dalam. Ia bersembunyi, berniat menyaksikan apa yang akan Anta lakukan pada putranya.
"Sudah. Sekarang, kita ke dapur!" Dengan senyum riang, Anta berbalik dengan Evan dalam gendongan. Elvano yang melihat pun cepat-cepat bersembunyi.
***
Setelah selesai memberikan susu untuk Evan dan menemani anak itu hingga tertidur lelap, Anta kembali ke kamarnya. Tapi, apakah pantas itu disebut kamarnya? Tidak. Dia hanya menumpang disana. Itulah yang Elvano katakan dengan tegas.
Tapi, Anta sedikit bernafas lega. Kata Elvano saat bersama Bu Devita dan Pak Haris tadi, dia ada urusan. Dan kebetulan Anta mendengar deru mobil di halaman saat membuat susu untuk Evan. Mungkin saja lelaki itu sudah pergi keluar menyelesaikan urusannya.
Tangan Anta terulur membuka pintu. Tapi ia dikejutkan dengan Elvano yang terbaring pulas di ranjang.
"Bu-bukannya, dia ada urusan? Kenapa dia malah tertidur disini?" Gumam Anta. Ia kembali menutup pintu dengan sangat pelan. Sungguh, ia tidak ingin Elvano terusik, dan berakhir dia dimarahi lelaki itu.
Anta mendekat ke arah ranjang. Meraih satu bantal, dan membawanya ke sofa. Ia akan tidur di sana.
***
Elvano terbangun dan duduk di tepi ranjang. Matanya menoleh ke arah sofa yang ada di kamarnya. Sudah tidak ada Anta disana. Semalam, ia belum benar-benar tertidur. Ia tahu kalau Anta tidak tidur di ranjang yang sama dengannya. Dia pikir, gadis itu akan memanfaatkan keadaan. Tapi, dugaannya salah. Anta malah memilih menjauh darinya.
"Syukurlah dia tahu diri." Gumamnya, lalu bergegas ke kamar mandi.
Di dapur, Anta sedang membantu Bi Ijah memasak sarapan. Wanita paruh baya itu terlihat menyukai Anta.
"Saya pikir, nyonya akan bangun kesiangan." Ujarnya, mengutarakan apa yang ia pikirkan.
Anta terkekeh. Wanita di sampingnya ini benar-benar sangat jujur. "Anta sudah biasa bangun pagi, Bi."
"Sudah biasa masak sarapan juga?"
"Iya."
"Waahh... Saya nggak nyangka, nyonya. Tuan seharusnya sangat beruntung memiliki nyonya."
"Bibi bisa saja. Tapi, ngomong-ngomong, Bibi panggil Anta pakai nama saja, nggak usah pakai nyonya?"
"Kenapa? Kan bagus. Nyonya kan istrinya tuan?"
"Hehehe... Anta rasa, Anta belum pantas dipanggil nyonya, Bi."
"Lalu, Bibi panggil apa?"
"Anta saja."
"Bibi nggak mau. Nggak sopan."
"Kalau gitu, nak Anta?"
"Ya udah, boleh." Jawab Bi Ijah, yang membuat keduanya terkekeh bersama.
Setelah selesai memasak sarapan, Anta berpamitan pada Bi Ijah untuk melihat Evan. Tapi, sebelum ke kamar Evan, langkah Anta berbelok menuju kamar Elvano.
"Sepertinya, dia sedang di kamar mandi." Ujar Anta saat tiba di kamar.
Ia tahu, pernikahan ini adalah sebuah paksaan dan kesepakatan. Tapi bagaimana pun, ia adalah seorang istri. Tugasnya adalah melayani sang suami. Ia selalu ingat pesan mendiang Ibunya saat masih hidup dulu.
Saat kamu jadi seorang istri nanti, layani suami mu dengan baik. Penuhi kewajiban kamu, dan jangan kurang ajar pada suami.
Mengingat Ibunya, seulas senyum muncul di bibir Anta. Wanita itu selalu memberitahunya tentang kebaikan-baikan dan memberinya yang terbaik. Meski hidup mereka sederhana, mereka tidak pernah merasa kekurangan. Tapi, semuanya perlahan hilang sejak kedua orang tuanya meninggal.
Anta tersadar dari lamunannya. Ia mendekati lemari Elvano dan membukanya. Memilih-milih stelan yang cocok dikenakan Elvano untuk pergi kerja.
"Ini cocok untuknya."
Anta meletakkan kemeja putih, dasi, jas hitam dan celana bahan berwarna hitam. Setelah menyiapkan semuanya, gadis itu bergegas keluar.
Anta langsung menuju kamar Evan. Ternyata, anak itu sudah terbangun. Ia tersenyum pada Anta, memperlihatkan dua gigi bagian atasnya.
"Uuhhh, anak tampan sudah bangun. Ayo, kita mandi dulu, ya?"
Anta segera menggendong Evan menuju kamar mandi. Memandikan anak itu dengan hati-hati, memakaikan produk-produk yang baik untuk bayi. Kemudian memakaikan baju untuk anak itu.
"Hmm... Anak Mama sudah semakin tampan. Harum lagi. Sekarang kita ke ruang makan, ya?"
Anta menggendong Evan dan berjalan keluar. Saat membuka pintu, Anta dikejutkan dengan Elvano yang berdiri di depan pintu. Lelaki itu juga hendak membuka pintu, namun didahului Anta.
Anta segera mengalihkan pandangannya saat mata mereka saling bertemu. Ada sedikit perasaan kecewa saat tahu Elvano tidak mengenakan stelan yang dia pilihkan.
"Anak Papa." Elvano mendekat dan mengecup pipi Evan. Membuat jaraknya dengan Anta begitu dekat.
"Sini Papa gendong sebentar." Elvano mengulurkan tangannya, namun Evan malah berbalik memeluk leher Anta.
"Maa..."
Elvano menarik nafasnya. Ini kali pertama Evan menolaknya. Ia melirik Anta yang hanya diam menunduk. Tangannya bergerak mengusap rambut Evan.
"Nggak apa-apa. Ayo, sarapan!"
Evan kembali menoleh pada Elvano yang dibalas senyum oleh Papanya itu. Mereka kemudian berjalan bersama menuju ruang makan.
"Saya ambilkan dulu stroller nya." Ujar Bi Ijah, dengan cepat mengambil stroller untuk Evan. Anta segera mendudukkan Evan ke stroller nya.
"M-mas mau makan apa?" Anta memberanikan diri untuk bertanya.
"Saya bisa ambil sendiri." Jawabnya.
Anta hanya bisa mengangguk. Dia hanya bertanya karena itu kewajibannya melayani Elvano. Bukan untuk menarik perhatian Elvano agar mau menerimanya.
Anta bergerak ke dapur dan membuatkan makanan Evan. Hanya menyeduh, lalu membawanya ke meja makan.
"Evan makan dulu, ya?"
Anak itu tersenyum pada Anta. Gadis cantik itu mulai menyuapi Evan dengan hati-hati. Membersihkan sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut Evan.
Elvano tidak peduli dengan apa yang Anta lakukan. Fokusnya tertuju pada Evan yang begitu lahap memakan makanannya.
Setelah menghabiskan makanannya dan meneguk air, Elvano mendekati putranya. Ia menunduk mengecup kepala Evan.
"Papa ke kantor dulu." Ujar lelaki itu, kemudian bergegas keluar rumah.
Anta mengikuti langkah Elvano yang berjalan keluar. Elvano melihatnya, tapi tak menegur. Ia membiarkan saja Anta mengikutinya hingga ke halaman depan.
"Mas El," Panggilan Anta membuat Elvano yang sudah didekat mobil berhenti. Lelaki itu berbalik menatapnya.
"Ada apa?" Tanya, sedikit ketus.
Anta mendekat dan langsung meraih tangan Elvano. Ia menciumnya, lalu melepasnya dengan cepat. "Hati-hati." Ucapnya, sambil menunduk.
Elvano tidak menjawab. Ia menatap Anta dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedetik kemudian, terdengar suara pintu mobil yang ditutup cukup keras.
Anta cukup kaget. Ia menarik nafasnya panjang, lalu berbalik masuk setelah mobil Elvano menjauh.
***
Elvano menatap punggung tangannya, bekas ciuman Anta. Sudah beberapa kali ia mencucinya, tapi bekas itu masih terasa olehnya. Tisu di mejanya juga sudah habis karena ia terus mengusap punggung tangannya. Dengan perasaan kesal, ia meraih telpon kantor dan menelpon sekretarisnya.
"Hallo, tuan."
"Risma. Bawakan tisu untuk saya."
"Baik, tuan."
Elvano memutuskan panggilan dan menyandarkan punggungnya disandaran kursi. Pintu diketuk, dan Risma masuk setelah Elvano mengizinkan nya.
"Ini tuan tisunya."
"Ya."
"Ada lagi, tuan?"
"Tidak. Kamu keluarlah!"
"Baik, tuan. Saya permisi."
Risma keluar. Elvano meraih tisu tersebut dan kembali mengusap punggung tangannya. "Kenapa bekasnya masih ada?"
"Sialan gadis itu!"
"Aku bisa nggak fokus bekerja jika terus begini." Elvano terus mengusap punggung tangannya.
"Aku sudah mengusapnya berkali-kali. Bahkan aku mencuci tanganku. Apa ini perasaanku saja jika bekasnya masih ada? Atau karena aku terlalu memikirkannya, hingga merasa bekasnya masih ada?"
"Aarrrghh..." Elvano membuang sembarang tisu yang ia gunakan, lalu beranjak dari kursinya. Ia meraih kunci mobil dan handphone, lalu keluar dari ruangan tersebut.
"Risma. Bersihakan ruangan saya! Saya ada urusan."
"Baik, tuan." Balas Risma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Ummi Maya
bani jangan terlalu benci nanti bucin🫢😁
2023-09-21
1
范妮·廉姆
5 like dan rate 5 meluncur kak
2023-02-23
0
louis
dasar laki2 tak tahu diri. nanti jadi bucin baru tahu rasa.
2023-01-15
1