Pernikahan

Anta mematut dirinya di depan cermin. Dia akui, gaun yang melekat di tubuhnya sangat cantik. Tapi, ia merasa tidak cocok mengenakannya. Pintu ruangan yang terbuka, membuat ia menoleh. Dua wanita yang mendandaninya tadi masuk, disusul Bu Devita dan Dinda.

"Bu, Kak." Ujar Anta, menyapa keduanya.

"Ya Tuhan, Anta. Kamu sangat cantik. Jauh lebih cantik dibandingkan di butik waktu itu." Puji Dinda.

"Kak Dinda juga sangat catik." Anta balas memuji.

"Mama pangling liat kamu secantik ini. Kalau Mama laki-laki, Mama pasti sangat bahagia memiliki istri secantik dan sebaik kamu."

"Bu, ja..."

"Mama sayang! Ma-ma! Mulai sekarang, kamu harus panggil Mama, seperti panggilan Elvano. Kamu sekarang sudah resmi menjadi menantu Mama. Elvano baru saja menyelesaikan akadnya. Sekarang kamu sudah resmi jadi mantu Mama."

Deg

Jantung Anta berdegup kencang. "A-akadnya sudah selesai?"

"Iya, Anta. Aku sama tante ke sini buat jemput kamu."

"Ayo, nak! Semua sudah tungguin kamu."

Anta meneguk ludahnya. Saat Bu Devita dan Dinda menggandeng tangannya, ia merasakan tangannya gemetar.

"Hehehe... Kamu nggak perlu gugup seperti ini." Ujar Dinda, saat merasakan tangan Anta gemetar.

"D-di luar pasti banyak orang."

"Tentu saja. Elvano satu-satunya anak Mama. Jadi, semua keluarga Mama undang. Ayo!"

Ketiga perempuan itu segera keluar dari ruang rias dan menuju tempat akad. Setiap tamu yang hadir menatap Anta yang terlihat begitu cantik dan anggun. Tidak sedikit dari mereka yang berdecak kagum dengan kecantikan gadis 20 tahun itu. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Elvano. Ia berdecih dalam hati melihat Anta yang begitu cantik.

Cih. Berusaha memikat semua orang? Huh, aku nggak akan terjatuh pada pesonamu itu. Batin Elvano.

Saat Anta sudah duduk persis di samping Elvano, penghulu meminta keduanya untuk menukar cincin pernikahan. Setelah itu, Anta diminta mencium tangan Elvano.

Elvano menyodorkan tangannya untuk dicium Anta. Gadis itu dengan tangan yang gemetaran menyambutnya.

"Lakukan dengan benar!" Desis Elvano sambil mengeraskan rahangnya.

Anta tertegun. Meski gemetaran, ia meraih cepat tangan Elvano dan menciumnya. Setelah melepaskannya, Elvano bergerak mengecup kening Anta. Bibir Elvano yang dingin menyentuh kening Anta. Membuat jantung gadis itu berdetak cepat. Setelah Ayah dan Ibunya, Elvano satu-satunya orang yang mengecup keningnya.

Ayah, Ibu. Anta rindu kalian. Batin Anta.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Meski pernikahan ini ia lakukan terpaksa, tetap saja ini adalah pernikahannya. Peristiwa yang menjadi gerbang hidupnya yang baru. Peristiwa hanya ingin ia lakukan sekali seumur hidup bersama orang yang ia cintai. Ia ingin orang tuanya menyaksikan pernikahan itu. Namun, semuanya sirna. Pernikahannya ini adalah sebuah kesepakatan. Tidak ada kedua orang tuanya. Bahkan kedua adiknya tidak ada.

Maafkan Anta yang menjadikan pernikahan Anta sebagai sebuah kesepakatan. Maafkan Anta, Ayah, Ibu. Batinnya.

Elvano yang sudah melepas kecupannya di kening Anta, menatap gadis itu. Senyum miring yang begitu tipis terlihat di wajah Elvano.

Ratu drama. Sinisnya dalam hati.

***

Setelah bersalaman dengan tamu-tamu undangan, akhirnya Anta dan Elvano beristirahat juga.

"Ini, Mama bawain minum buat kalian." Bu Devita memberikan minuman pada putra dan menantunya.

"Cepatlah minum! Aku ada urusan. Harus kembali ke rumah." Ucap Elvano.

"Vano!"

"Apa, Ma? Jika Mama masih ingin dia bersama Mama, bawa saja! Nggak diantar ke rumah Vano juga nggak masalah."

"Vano, kamu!" Haris tersulut emosi. Dia tidak menyangka putranya jadi seperti ini. Haris mengangkat tangannya, hendak menampar Elvano. Namun, suara Anta membuat lelaki itu menghentikannya.

"Anta sudah selesai. Ayo, pergi sekarang!" Suara lembut Anta terdengar. Elvano melirik sinis pada gadis itu. Kemudian tangannya melambai ke arah babysitter yang disewa Bu Devita.

"Kamu nggak boleh bawa Evan." Ucap Bu Devita.

"Aku sudah menikah. Mama jangan mengingkari ucapan Mama." Jawab Elvano. Lelaki itu meraih Evan dan menggendongnya keluar, menuju mobil.

"Pa, Ma. Anta pamit dulu." Gadis itu meraih tangan keduanya dan mengecupnya. Tak ingin Elvano menunggu lama, Anta segera menyusul.

"Kau duduk di depan." Ujar Elvano pada Anta yang hendak membuka pintu belakang mobil. Dengan pasrah, Anta membuka pintu di depan. Ia duduk di samping supir.

Anta duduk dengan tenang. Sementara Elvano, ia dan Evan duduk nyaman di kursi belakang. Setelah hampir 30 menit, mereka tiba di kediaman Elvano.

Rumah itu tidak sebesar rumah Devita dan Haris. Namun, bagi Anta, itu sudah sangat besar.

Elvano turun dan berjalan cepat menuju rumah sambil menggendong Evan yang tertidur. Tak peduli dengan Anta yang berjalan lambat karena heels yang dikenakannya.

"Selamat malam, tuan." Sapa Bi Ijah.

"Ya." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Elvano. Dia segera menaiki tangga dan menuju kamar Evan.

"Selamat datang, dan selamat malam, nyonya muda." Sapa Bi Ijah pada Anta.

"Se-selamat malam..." Ucapan Anta tergantung karena ia tidak tahu sama sekali, siapa wanita paruh baya ini.

"Nyonya bisa panggil saya Bi Ijah."

"Se-selamat malam, Bi Ijah." Ulang Anta, membuat Bi Ijah tersenyum.

Sepertinya, gadis ini berbeda dengan wanita itu. Batin Bi Ijah.

"Mari, nyonya, saya antar ke kamar. Nyonya..."

"Mau kemana?" Suara dingin Elvano terdengar. Lelaki itu berdiri tak jauh dari Anta dan Bi Ijah. "Ada yang ingin saya bicarakan." Elvano berlalu meninggalkan keduanya tanpa penjelasan apa-apa.

Anta bingung. Namun, karena ada Bi Ijah, Anta bisa paham maksud Elvano.

"Maksud tuan, nyonya ikutlah ke ruang mana tuan pergi." Jelas Bi Ijah.

"I-ikut dengannya?"

"Iya. Nyonya pergilah."

Dengan perasaan ragu, Anta mengikuti kemana arah Elvano pergi, sambil menahan sakit di kakinya. Langkah Elvano berhenti di ruang keluarga. Anta pun ikut berhenti.

"Sesuai perjanjianmu dengan Mama, seperti itulah keseharianmu disini. Saya nggak akan mengurus urusanmu selain memberi makan dan uang sebagai tanggung jawab saya. Kau boleh melakukan apapun, asal nggak berdampak pada keluarga saya. Jangan pernah mengurus kehidupan saya. Evan tanggung jawabmu saat saya bekerja. Kau paham?"

Anta menggangguk. Namun, hal itu membuat Elvano merasa kesal. "Saya tidak tertarik dengan bahasa tubuhmu. Jawab saya dengan mulutmu!"

"I-iya. Aku paham."

"Bagus."

"Eeemm... Apa aku boleh bertanya beberapa hal?"

Elvano memicingkan matanya. Namun, ia tetap mengizinkan Anta bertanya. "Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Bagaimana aku memanggilmu?" Inilah pertanyaan pertama yang terlintas di otak Anta. Dia tidak tahu, harus memanggil Elvano dengan sebutan apa. Ia tidak ingin membuat lelaki itu marah karena panggilannya yang tak ia suka.

"Panggil saja apa yang kau inginkan. Asal jangan panggilan yang menghinaku." Jawab Elvano.

"Apa aku boleh ke kamar sekarang? Gaun ini..."

"Pergilah! Bi Ijah akan menunjukkan kamarmu."

"Terima kasih." Ujar Anta. Gadis itu berbalik dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Ia pikir, ia akan tidur bersama Elvano. Tapi, ternyata takdir masih berpihak padanya. Elvano memberikan kamar lain untuknya. Dan dia begitu senang.

***

Anta menatap kamar yang ditunjukkan Bi Ijah. Kamarnya sangat luas. Meja riasnya sudah di siapkan perlengkapan untuk kecantikan. Bi Ijah juga menunjukkan lemari miliknya. Sudah terisi banyak pakaian. Tapi, ia penasaran dengan lemari sebelahnya. Bi Ijah tidak mengatakan apa-apa tentang lemari itu.

Karena penasaran, Anta mengulurkan tangannya untuk membuka lemari tersebut.

Ceklek...

Suara pintu terbuka membuat Anta terkejut. Ia menoleh dan mendapati Elvano disana. Tangan Anta kembali gemetaran. Ia meneguk ludahnya saat Elvano menutup pintu dan berjalan ke arahnya.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Kenapa Mas El kesini?"

Pasangan suami istri itu bertanya bersamaan. Namun, ada perasaan aneh yang menyelimuti Elvano saat mendengar Anta memanggilnya 'Mas El'.

"A-aku penasaran, apa isi lemari ini."

"Pakaianku."

"Pa-pakaian? Ta-tapi... Ini kamarku."

"Huh!" Elvano tersenyum merendahkan. "Belum genap sehari, sudah terlihat keburukanmu." Elvano mendekat dan mencengkram kedua pipi Anta hingga wajah gadis itu mendongak menatapnya. "Dengar! Ini kamarku. Semua barang-barangmu yang ada disini, Mama yang mengaturnya. Ini milikku. Kamu hanya menumpang disini. MENUMPANG! Jadi, penuhi saja janjimu dengan Mama. Jangan ikut campur urusanku!" Elvano melepas cengkramnya dan melenggang ke kamar mandi.

Anta menunduk. Ingin menangis, tapi air matanya tidak jatuh. Ia menarik nafasnya. Inilah konsekuensi yang harus ia tanggung. Tapi, sungguh, ia tidak bermaksud untuk merasa paling berhak pada kamar ini.

"Inilah yang harus kamu terima, Anta. Demi Ricky." Gumamnya.

Anta kembali menarik nafasnya, membuka lemarinya dan memilih pakaian untuk dipakainya. Bu Devita mempersiapkan semua yang ia butuhkan.

Anta melirik ke arah kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda jika Elvano akan keluar. Anta menghembuskan nafas lega. Ia berjalan menuju ruang ganti sambil membawa baju ganti miliknya.

"Bagaimana cara melepaskan gaun ini?" Gumam Anta, mencoba meraih resleting gaun yang ia kenakan. Posisi resleting yang berada di belakang membuat Anta kesulitan.

"Mau ku bantu?"

Deg...

Tubuh Anta menegang mendengar suara Elvano yang begitu dekat dengannya. Bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas Elvano di belakang telinganya.

"Huh! Nggak perlu tegang seperti ini. Aku nggak bernafsu padamu!" Sarkas Elvano, membuat Anta merasa tak nyaman. Gadis itu maju, menjauhkan dirinya dari Elvano. Ia meraih pakaian yang dibawa masuk olehnya tadi.

"A-aku akan minta Bi Ijah membantuku." Ujarnya, lalu pergi begitu saja, keluar dari ruang ganti tersebut.

Elvano terus saja menatap Anta yang berjalan keluar, hingga pintu itu tertutup. Ia lalu berdecih kesal, kemudian mengganti bajunya.

Terpopuler

Comments

Senopati Arya Mada

Senopati Arya Mada

uuh...
jangan terlalu dingin napa bang

2023-07-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!