Fitting Baju

Seorang lelaki berparas tampan dan tubuh tinggi atletis keluar dari mobilnya. Jas yang sejak pagi melekat di tubuhnya kini bertengger di tangan kanannya.

"Selamat datang, tuan." Sapa seorang asisten rumah tangga, Bi Ijah.

"Ya." Hanya itu balasan dari si lelaki. Bi Ijah yang merupakan art dan bekerja hampir 3 tahun di rumah itu, memakluminya. Itulah sifat tuannya, Elvano Prasetya, lelaki dingin tak tersentuh.

Wanita yang berusia hampir 60 tahun itu menutup pintu dan mengikuti tuannya.

"Dimana Evan?" Tanyanya, saat tak melihat putranya. Tidak biasanya putranya itu tertidur di jam pulang kerjanya seperti ini.

"Tuan muda dibawa nyonya sore tadi, tuan."

"Mama?" Keningnya mengerut. Ibunya tidak pernah membawa Evan tanpa izinnya. "Kembalilah bekerja!" Perintahnya, yang langsung dilaksanakan Bi Ijah.

Elvano membawa langkahnya menuju kamar. Melempar jas, kunci mobil dan handphone di atas kasur, lalu terduduk di pinggir ranjang.

Drrttt... Drrttt.. Drrttt...

Getaran di ponselnya membuat Elvano menoleh. Tangannya segera meraih hp tersebut dan menjawabnya.

"Hallo, Ma?"

"Kamu sudah pulang kerja?"

"Ya."

"Jemput Evan! Sekalian, ada yang ingin Mama bicarakan dengan kamu."

"Ya." Lagi-lagi jawaban singkat itu yang keluar dari mulut Elvano. Setelah panggilan berakhir, ia meraih kunci mobilnya dan keluar tanpa mengganti kemeja yang ia kenakan. Dengan kecepatan sedang, ia melajukan mobilnya menuju rumah sang Mama.

Jarak yang cukup dekat, hanya memakan waktu 15 menit. Lelaki itu memarkirkan mobilnya dan langsung masuk begitu saja.

"Selamat datang, tuan muda." Sapa pelayan rumah tersebut.

"Hmm... Dimana Mama?"

"Nyonya sedang di ruang bermain, tuan."

Tanpa banyak bicara lagi, Elvano segere menuju ruang bermain. Ruang yang dibuat khusus oleh Papanya untuk Evan.

Melihat kedatangan sang Papa, Evan yang bermain pun tersenyum riang. Tangannya ia tepuk-tepukkan. Hal itu membuat sang Nenek dan Kakek menatap ke arah pandang Evan.

"Pa..." Celoteh anak itu, lalu merangkak mendekati Elvano. Lelaki itu dengan sigap menangkap putranya dan menggendongnya.

"Anak Papa." Ujarnya, sambil mengecup pipi Evan.

Devita dan Haris hanya diam memperhatikan interaksi Elvano dan Evan. Selalu seperti itu. Evan selalu bisa membuat pria dingin seperti Elvano itu tersenyum.

"Vano." Panggilan Haris membuat putranya itu menoleh. "Papa sama Mama ingin membicarakan sesuatu."

"Ya. Bicara saja." Jawabnya. Lelaki itu kembali mengecup pipi putranya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut Evan yang cukup lebat.

"Kita ke ruang keluarga saja." Ucap Devita.

Mereka segera ke ruang keluaraga. Elvano duduk sambil tetap menggendong Evan dan tanpa ia sadari, anak itu sudah mulai mengantuk.

"Apa yang ingin dibicarakan?" Tanya Elvano.

Haris dan Devita saling menatap. Setelah mendapat anggukkan istrinya, Haris mulai membuka suara.

"Papa sama Mama ingin kamu menikah."

Elvano tersenyum sinis. Sudah ia duga. Ini bukan yang pertama kalinya mereka memintanya menikah.

"Aku nggak punya waktu untuk itu." Jawabnya santai.

"Vano!" Haris sudah terpancing emosinya. Putranya ini benar-benar membuatnya tidak bisa membendung amarah. Untung saja ada Devita yang menahannya.

"Tenang, Pa." Ujar Devita, berusaha meredam amarah suaminya, meski sebenarnya dirinya juga sama marahnya pada putra satu-satunya itu.

"Mama sudah menemukan pengantin perempuannya. Punya waktu atau tidak, kamu harus tetap menikah."

Elvano kembali tersenyum. Senyum miring yang menjelaskan jika dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran kedua orang tuanya. Selalu seperti ini. Memaksakan kehendak.

"Pintar sekali Mama mencari calon istri. Tapi sayang, Vano tetap nggak ada waktu buat hal nggak penting itu." Ujaranya. Dan tanpa berpamitan, Elvano beranjak dari tempat itu.

"Kalau kamu menolak, hak asuh Evan akan kembali ke Mama! Dan jangan pernah anggap kami sebagai orang tua mu!"

Langkah Elvano terhenti. Inilah kelemahannya. Evan adalah segalanya baginya. Jika hak asuh Evan kembali ke tangan Mamanya, akan sulit untuknya merebut kembali. Dan mengenai kedua orang tuanya, meski dirinya marah pada kedua orang itu, tetap saja mereka orang tuanya.

"Aku akan menikah. Tapi, nggak akan mengurus persiapannya." Ujar lelaki itu, lalu bergegas pergi dari sana.

Devita dan Haris yang mendengarnya langsung tersenyum gembira. Devita melompat-lompat dan memeluk suaminya. Haris sampai khawatir pada istrinya itu.

"Jangan lompat-lompat, Ma."

"Mama senang banget, Pa. Ancaman Mama berhasil juga bungkam putra kamu yang dingin itu."

"Dia juga putra kamu, sayang."

"Hehehe... Iya."

***

Jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Elvano baru saja selesai menemani Evan tertidur. Dua bulan terakhir ini, anak itu selalu rewel saat akan tidur malam hari. Entah apa yang menjadi penyebabnya, Elvano juga tidak tahu.

Elvano fokus pada layar laptop di depannya. Memeriksa kembali dokumen yang dikirim sekretarisnya, Risma.

Drrrt... Drrttt... Drrttt...

Getaran handphonenya membuat Elvano mengalihkan pandangannya dari laptop. Melepas kacamata radiasinya, kemudian meraih handphone tersebut.

"Hallo, Ma."

"Hallo, Vano. Mama udah urus semua persiapan pernikahannya. Tiga hari lagi pernikahan kamu diadakan."

"Tiga hari?" Beo lelaki itu. Apa Mamanya serius? Bukankah ini terlalu cepat? Baru kemarin malam Mamanya membicarakan pernikahan. Dan sekarang, semuanya sudah siap. Tinggal tiga hari saja pernikahannya diadakan.

"Iya. Besok kamu ikut Mama ke butik, okey? Kita mau fitting baju pernikahan kalian. Sekalian Mama kenalin kamu dengan calon istri kamu."

"Ma, bukankah ini terlalu cepat?"

"Terlalu cepat gimana? Sudahlah, kamu ini. Undangan udah Mama siapin juga. Tinggal besok disebarin."

"Jangan undang banyak orang! Cukup keluarga."

"Kenapa?"

"Pernikahan ini, Mama yang mau. Bukan aku!"

"Elvano! Kamu..."

"Itu syarat dari Vano."

Bisa Elvano dengar hembusan nafas kasar Mamanya. Tapi, ia tidak peduli. Dia tidak menerima pernikahan ini. Dan ia tidak ingin orang-orang luar menyaksikan pernikahan paksa ini.

"Baiklah. Mama setuju sama syarat kamu. Tapi, kamu harus datang besok! Kalau enggak, Evan Mama ambil, dan jangan harap Mama menganggapmu sebagai anak lagi." Ujar Devita, langsung menutup telponnya sepihak.

"Arrgghhh..." Elvano mengacak kesar rambutnya. Moodnya untuk memeriksa kembali dokumen kerjanya sudah hilang. Beranjak dari sofa, dan merebahkan tubunya di kasur.

Terlintas, wajah seorang wanita saat dirinya menutup mata. "Kalau bukan karena kamu, semuanya nggak akan seperti ini." Gumamnya pelan, tanpa membuka matanya.

***

Senyum mengembang di wajah Devita saat memasuki ruang rawat Ricky. Kedatangan wanita itu disambut hangat oleh Anta, Tiara dan Ricky.

"Bagaimana kabar kamu, Ricky?"

"Ricky udah baikan Bu."

"Syukurlah. Kalau kamu, Tiara?"

"Tiara selalu baik, Bu, selalu sehat." Jawab gadis itu.

"Syukurlah. Oh ya, ini, Ibu beliin buat kalian." Wanita itu mengulurkan sekantong buah-buahan yang dibelinya pada Tiara.

"Makasih, Bu." Ujar gadis itu.

Anta hanya tersenyum melihat interaksi Bu Devita dengan kedua adiknya. Wanita itu benar-benar pandai mengambil hati Tiara dan Ricky. Dan Anta senang melihat senyum di wajah kedua adiknya itu.

"Oh ya, Ibu kesini juga mau izin sama kalian berdua buat bawa Kak Anta. Bolehkan?"

"Bawa saya?" Anta cukup terkejut dengan ucapan Bu Devita.

"Lho? Kok sekarang bawanya, Bu? Bukannya dua hari lagi ya Kak Anta ikut Ibu nya? Kenapa hari ini?" Tanya Tiara. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ia belum siap jika Kakaknya akan meninggalkan dia dan Ricky.

Ricky yang mendengarnya hanya terdiam. Ia sedih, tapi tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia sudah tahu semua tentang biaya operasinya. Semuanya Anta korbankan untuk ia. Bahkan masa depan pun Anta korbankan untuk dia.

"Ibu hanya bawa Kak Anta sebentar buat cari baju pengantin. Setelah itu, Ibu antar kembali kesini. Kan nikahnya tiga hari lagi. Lusa baru Ibu jemput lagi."

Tiara dan Ricky bernafas lega. Setelah berpamitan pada kedua anak itu, Anta dan Devita segera menuju sebuah butik. Dalam mobil, anta hanya diam. Tak satupun kata yang keluar dari mulutnya.

"Kamu kok diam aja sih, nak?" Suara Devita membuat Anta menoleh. Gadis itu tersenyum pada calon mertuanya.

"Nggak ada topik yang mau dibicarain, Bu."

"Kamu nggak penasaran sama calon suami kamu?" Anta menggeleng pelan, membuat Bu Devita menarik nafasnya.

"Anta terima apa adanya suami Anta nanti, Bu." Ujar gadis itu. Devita terdiam mendengar jawaban calon menantunya.

Mobil yang mereka tumpangi memasuki area butik. Supir Bu Devita segera memarkirkan mobil dan membuka pintu untuk bu Devita. Sementara Anta, gadis itu membuka sendiri pintu mobilnya.

Seulas senyum muncul di bibir Devita saat melihat mobil Elvano terparkir tak jauh dari tempat mereka memarkir.

Ternyata, datang juga anak itu. Batin Bu Devita.

"Ayo, Anta!" Wanita itu meraih tangan Anta dan membawa gadis itu masuk.

"Vano."

Lelaki yang sedang duduk di sofa langsung menoleh mendengar suara sang Ibu. Dia berdiri, menatap sang Ibu dengan wajah dinginnya.

"Vano sudah selesai. Ada yang harus Vano urus di kantor."

"Kamu, sudah mencoba jas nya?"

"Ya."

"Kamu belum berkenalan dengan calon istrimu."

Mata lelaki itu melirik gadis yang berdiri di samping Bu Devita. Anta menunduk, tidak berani menatapnya. Bisa ia rasakan, jika lelaki itu tidak suka padanya.

"Saya Elvano." Ujarnya tanpa mengulur tangan tanda perkenalan.

"Sa-saya, Anta."

"Perkenalan sudah. Aku harus ke kantor lagi." Tanpa menunggu jawaban Ibunya, Elvano pergi begitu.

Devita menatap putranya dengan tatapan nanar. Ia tidak pernah berharap putranya seperti ini. Ia ingin Elvano kembali seperti dulu.

"Tante," Suara lembut seorang perempuan membuat Devita menoleh. Begitu juga Anta. Seorang perempuan cantik berdiri dihadapan mereka sambil tersenyum manis.

"Dinda," Bu Devita langsung memeluknya. "Kenapa kamu disini? Bukannya kamu ke luar negeri? Mama kamu mana?" Tanya Bu Devita, melepas pelukannya.

"Aku nggak jadi ke luar negeri, tan. Mas Fahri nggak bolehin. Mama lagi temani Papa ketemu klien. Jadi, Dinda yang urus butik."

Bu Devita tersenyum dan mengusap lembut rambut ponakannya itu.

"Oh ya, perkenalkan, ini calon istri Elvano."

Dinda tersenyum pada Anta. Ia mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Hai, aku Dinda. Sepupu Elvano."

"Aku Anta, Kak." Ujar Anta, membalas uluran tangan Dinda dan mendongak menatap wanita itu.

"Cantik." Gumam Dinda tanpa sadar, membuat Bu Devita tersenyum.

"Bagaimana? Pilihan tante nggak salahkan?"

Dinda menggeleng. "Enggak, tan. Nggak salah. Anta cantik, dan ku rasa, dia juga baik. Cocok disandingkan dengan sepupuku itu." Ujar Dinda dengan begitu semangat.

"Elvano sudah coba jasnya kan?" Dinda mengangguk. "Sekarang, tolong bantu Anta cobain gaunnya."

"Oke, tan." balas Dinda. "Ayo, Anta! Kita coba gaunnya."

Dinda langsung menarik tangan Anta mengikutinya. Mereka memasuki ruang ganti. Sementara Bu Devita menunggu di luar.

Dinda yang berada satu ruangan bersama Anta berdecak kagum saat gaun pengantin itu menempel pada tubuh Anta. Meski tanpa polesan make up, Anta tetap terlihat cantik.

"Kamu cantik, Anta. Elvano seharusnya bersyukur mendapatkan kamu." Ujar Dinda, yang dibalas senyum tipis oleh Anta.

"Terima kasih, kak."

"Ayo, kita keluar! Tante pasti kagum melihat penampilan kamu."

Kedua perempuan itu segera keluar. Devita yang sejak tadi terus menatap ruang ganti, berdecak kagum melihat calon menantunya keluar dari sana. Anta benar-benar cantik dengan gaun yang ia pilihkan.

"Kamu sangat cantik, nak." Ujarnya. "Dinda, bungkus gaunnya. Jangan sampai rusak, nak."

"Siap tante." Jawab wanita itu, semangat. Membuat Bu Devita terkekeh melihat ponakannya itu. Begitu juga Anta yang ikut terkekeh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!