Gevania Aurora. Nama yang cantik bukan? Entah dari mana sang ibu mendapatkannya, yang pasti Vani sangat bersyukur memiliki nama itu. Vani anak tunggal dari seorang janda miskin bernama Lela. Ayahnya meninggal saat usianya baru menginjak satu tahun. Dan, sejak saat itu sang ibu mengurusnya seorang diri, membiayai keperluan mereka dengan cara bekerja serabutan. Jualan gorengan, sebagai tukang cuci gosok, semua ibunya lakukan agar Vani bisa hidup layak seperti anak-anak lain.
Meski hidup mereka susah, Vani tidak pernah sekalipun mendengar ibunya mengeluh. Lela selalu menutupi semuanya dengan senyuman, itulah yang Vani tahu saat tak sengaja melihat ibunya diam-diam menangis sendirian.
Saat usianya menginjak 18 tahun, Lela berniat menjodohkan putrinya dengan laki-laki bernama Faisal. Padahal saat itu Vani baru saja lulus SMA, ijazah–pun belum sempat dia terima karena keterlambatan membayar biaya sekolah.
"Maaf, Nak, Ibu sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikanmu ke jenjang lebih tinggi." Vani hanya menunduk menyembunyikan air mata yang hampir lolos dari kedua sudut mata.
Mungkin, ibunya berpikir untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak di rumah.
Bukan tak ingin berusaha, tapi setiap hari Vani sudah berkeliling mencari pekerjaan paruh waktu. Vani ingin sekali menabung untuk biaya kuliahnya nanti. Namun, rencana itu harus pupus seketika saat Vani harus menerima pinangan dari laki-laki yang di pilihkan oleh ibunya.
"Faisal laki-laki yang baik. Dia juga anak teman ibu. Dan ibu yakin kamu akan bahagia bersamanya.
"Baiklah. Demi Ibu akan menerima perjodohan ini." Meski sedikit terpaksa, Vani menerima apa yang ibunya pilihkan. Vani tidak ingin jadi anak durhaka. Setidaknya, inilah baktinya untuk sang ibu.
Tidak dapat di pungkiri, Faisal adalah sosok laki-laki yang mampu membuatnya jatuh hati. Persis seperti yang ibunya bilang. Bukan hanya soal fisik, tapi sifatnya yang baik serta tutur katanya yang lembut semakin membuat Vani terpikat olehnya.
Vani dan Faisal di kenalkan lewat ta'aruf, lantas seminggu kemudian dari pihak Keluarga Faisal menetapkan hari pernikahan mereka. Lela menurut saja. Menyerahkan seluruh keputusan pada Keluarga Faisal dengan harapan putrinya bisa hidup lebih baik lagi.
"Bagaimana Bu Lela? Apa ada yang ingin di sampaikan lagi? Atau mengenai mahar, kami akan berusaha memenuhinya." Salah satu kerabat dari keluarga Faisal bersuara. Vani memilih bungkam dan menyerahkan semuanya pada sang ibu.
"Tidak. Kami ikut saja apa yang terbaik menurut mereka." Itulah keputusan akhir ibu.
Hari pernikahan di gelar secara mewah dan meriah, tentu saja Vani sangat bahagia, sebagai seorang gadis yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah, siapa sih yang tidak merasa beruntung?
Setelah menikah, Vani harap keberuntungan itu akan selalu menyertainya. Vani ikut suaminya pindah ke rumah baru mereka. Awalnya Faisal punya rencana memboyong Bu Lela juga. Tapi, Lela merasa tidak enak sendiri, takut mengganggu kenyamanan mereka katanya. Akhirnya dengan terpaksa Vani meninggalkan ibunya di rumah peninggalan sang ayah.
"Sering-seringlah datang untuk menengok Ibu." Ucapan ibu sontak membuat Vani menangis haru. Lela melepas kepergian anak dan menantunya dengan senyuman, tapi tidak dengan Vani yang masih terisak di dalam mobil yang mereka tumpangi.
Rumah baru Vani masih satu komplek dengan rumah ibu mertuanya, bahkan hanya berjarak dua rumah saja. Vani tidak pernah menyangka apalagi membayangkan akan menjadi ratu di rumah sebagus itu. Beda sekali dengan rumah tinggalnya dulu, yang terkadang masih bocor saat hujan datang.
"Apa kamu senang?" Suara Faisal menyentak lamunanya. Vani buru-buru menguasai diri dan menyambut uluran tangan suaminya.
Tiga bulan pernikahan semua masih berjalan baik-baik saja. Faisal semakin sayang dan memperlakuka Vani dengan sangat romantis. Setiap bulannya juga selalu mengirimkan uang untuk keperluan ibunya sehari-hari dengan nilai yang lumayan banyak.Tapi, ternyata hal itu tak berlangsung lama.
Vani pikir setelah menikah, ibu mertuanya tidak akan ikut campur masalah rumah tangganya dengan Faisal. Tapi nyatanya itu salah. Bukan sekali, dua kali, tapi, hampir semua yang berhubungan dengan Faisal ibunya lah yang mengaturnya.
"Ini jatah uang bulanan untukmu." Bahkan uang bulanan yang Faisal berikan untuk Vani sekarang harus lewat persetujuan ibu mertuanya lebih dulu.
Bukan tak ikhlas, sungguh, Vani juga tahu jika suaminya milik ibunya. Tapi, entah kenapa semakin ke sini rasanya begitu berat menjalani hari-hari. Apalagi sekarang uang bulanan yang Faisal berikan semakin terpangkas. Entah apa alasannya, ibu mertuanya hanya bilang jika Faisal menggunakan sebagian uangnya untuk keperluan yang lebih penting.
"Maaf, jika uang bulananmu berkurang. Kamu nggak apa-apa kan, Van?" Vani menurut saja. Meskipun terkadang Vani harus berhemat agar uang bulanan itu bisa cukup sampai akhir bulan.
Lelah, mungkin iya. Tapi sekali lagi, Vani berusaha memakluminya. Bagaimana–pun dia tetap ibu dari Mas Faisal, Ibu dari laki-laki yang sangat aku cintai, bisik Vani setiap kali galau melanda.
Bulan berganti tahun, tak terasa usia pernikahan Vani menginjak tahun kedua. Dan tepat hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka.
Vani sangat bahagia, rasanya Vani ingin menghentikan waktu sejenak. Ingin lebih lama lagi menikmati suasana romantis ini dengan suaminya. Namun, ada sesuatu yang sampai saat ini menjadi beban pikirannya, yaitu ....
"Kapan kamu hamil, Van?" tanya Bu Widia untuk yang kesekian kalinya. Vani hanya menunduk, meremas jemarinya yang terasa dingin, sedangkan Faisal hanya bungkam tanpa ekspresi apapun.
"Ini udah tahun kedua pernikahan kalian, lho, kapan Ibu punya cucu?" cicit Ibu lagi. Vani merasa bersalah, sekaligus bingung. Bersalah karena sampai saat ini belum bisa memberikan apa yang ibu mertuanya inginkan. Namun bingung, karena Faisal sendiri selalu ... ahhhh entahlah ...
"Kalian udah periksa ke dokter? Lalu, gimana hasilnya? Semua sehat, kan?" tanya Ibu lagi. Vani kira Ibu sudah melangkah pergi setelah menaruh sup kesukaan suaminya, ternyata perempuan itu masih setia menunggu jawaban mereka dari depan pintu.
"Sabar, Bu. Mungkin sekarang belum saatnya," jawab Faisal sembari mendekati Ibu. Lantas, pandangannya menatap ke arah Vani.
"Terus kapan dong? Di antara teman-teman Ibu, hanya Ibu yang belum punya cucu!" sambungnya lagi. Ibu beralih menatap ke arah Vani. bergantian dengan tatapan Faisal tadi, "Kamu sebenarnya mandul nggak sih, Van?"
Duarrr!
Hati Vani semakin teriris mendengar pertanyaan Bu Widia. Bagaimana bisa mertuanya setega itu mengatakan dengan sangat terang-terangan tanpa memperdulikan perasaan menantunya sendiri.
"Bu ..." Faisal mengusap punggung ibu lembut. Padahal di sinilah Vani yang sebenarnya paling hancur. Istrinya yang seharusnya Faisal tenangkan.
Saat cairan bening ini hampir luruh, saat itu juga Bu Widia bersuara lagi, "Udahlah, Ibu capek! Tensi Ibu bisa naik kalau lama-lama mikirin rumah tangga kamu!" Perempuan yang di sebut mertua itu melangkah begitu saja tanpa mempedulikan perasaan Vani yang luluh lantak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
nah tho g adil
2023-10-27
0
fifid dwi ariani
trus sukses
2023-06-18
0
💞nine teen💞
duuhh gedeg bgt sm mertua yg mojokin menantu perempuan klo belum punya anak..
aku mampir ka othor.. semangat nulisnya🥳
2023-01-27
1