Vani menghela napas panjang demi meredam emosinya yang sempat bergejolak. Sepanjang perjalanan Vani memutuskan untuk diam. Bicarapun percuma jika hanya akan menambah sakit hati. Di sebelahnya ibu terlihat biasa saja, seakan tidak pernah terjadi apapun, padahal dengan jelas berkali-kali perkataannya telah menyakiti hati sang menantu.
"Kamu dengar sendiri kan, Vani, kalau semua teman Ibu udah pada punya cucu!"
Vani mendesah frustasi. Lagi-lagi ibu membahasnya lagi padahal Vani sudah menunjukkan wajah mendung sejak tadi. Rasanya Vani ingin melompat keluar saja. Tapi, saat melirik laju taksi yang lumayan kencang, Vani jadi berpikir, bagaimana kalau nanti lecet? Bagaimana kalau wajahnya yang cantik jadi cacat, lalu Faisal benar-benar menceraikannya? Ah, tidak!
"Tumben kamu diem aja?" tanya Ibu. Tak sadar tadi dia sendiri yang melarang Vani saat ingin membalas ucapan salah satu temannya. Padahal jika tadi Bu Widia tidak menahannya, mungkin wajah cantik wanita itu sudah berbekas oleh cakaran kuku Vani.
"Kalau di tanya itu di jawab, Van!" Wajah Bu Widia melengos kesamping seakan enggan untuk melihat wajah menantunya. Vani hanya memutar kedua bola matanya malas.
Sampai akhirnya taksi yang mereka tumpangi tiba di pekarangan rumah, Vani bergegas turun setelah membayar ongkos tanpa menoleh ke arah ibu.
"Makasih, Pak!" Vani melangkahkan kaki menuju pintu rumah yang hanya tinggal beberapa jengkal lagi. Saat tangan itu hampir menyentuh gagang pintu, lagi, Vani mendengar Ibu memakinya dari arah belakang sana,
"Dasar, menantu kurang ajar! Bisa-bisanya dia nyelonong gitu aja!"
Aku tak peduli. Meraih handle pintu, lantas mendorongnya segera.
"Lho, kamu udah pulang, Van?" Faisal menatap kepulangan istrinya dengan wajah bingung. Pasalnya tadi pagi dia ijin pamit untuk menemani Ibu sampai malam, tapi ini baru jam lima sore kenapa sudah berada di rumah lagi?
"Udah Mas." Vani melewatinya begitu saja tanpa peduli dengan wajah bingung suaminya.
"Katanya sampai malam?"
"Aku kurang enak badan!" Menjawab cepat sebelum Faisal bertanya macam-macam. Vani membuka pintu kamar, dan membawa tubuh lelahnya untuk berbaring di atas ranjang.
"Van, kamu kenapa?" Ternyata Faisal ikut masuk dan duduk tepat di belakangnya. Saat pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, hati wanita itu semakin perih. Jika saja dulu Faisal mau mendengar usulan Vani untuk membeli rumah yang jaraknya lebih jauh dari sini, mungkin kejadian tak mengenakkan ini tidak pernah Vani rasakan.
Tapi, sebagai anak laki-laki satu-satunya, tentu saja Faisal berusaha terus membujuk Vani, sampai akhirnya Vani menyetujui permintaannya untuk membeli rumah yang hanya berjarak dua rumah dari kediaman sang ibu.
"Kamu sakit?" Faisal menempelkan telapak tangan di kening sang istri, Vani buru-buru menepisnya sedikit kasar. Kedua bahunya terguncang hebat seiring tangis yang semakin kencang.
"Aku udah nggak tahan lagi, Mas! Aku mau pindah aja dari sini!" Wanita itu mendekap erat bantal guling yang sudah basah oleh air mata, lalu tatapan Faisal berubah sendu saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir istrinya.
"Sabar, Van, namanya juga orang tua." Apalagi jika bukan masalah dengan ibu, sepertinya Faisal sudah hapal meski Vani belum sempat menjelaskan.
"Kalau Ibu ngomong apa-apa, kamu ngalah aja ya? Jangan membantah, apalagi mendebatnya." Bukan memberi solusi terbaik, Faisal seolah membela ibunya, meminta Vani terus diam dan menerima apapun yang perempuan itu katakan.
"Tapi, Ibu udah keterlaluan, Mas! Rasanya aku nggak sanggup kalau kaya gini terus!"
Nyatanya tangisan Vani yang seringkali Faisal lihat belum mampu meluluhkan hatinya.
"Aku nggak mungkin ninggalin Ibu, Van. Bagaimana nasibnya nanti? Lagipula kamu tahu sendiri 'kan, surga seorang laki-laki ada pada restu ibunya."
Mendengar jawaban Faisal, sontak Vani merengut, memasang wajah kesal yang tidak bisa di ungkapkan.
"Surga lagi, surga lagi. Aku juga tahu kalau masalah itu, Mas. Tapi, jika terus menyakiti hati Istri, bagaimana?" Vani hanya bisa membatin. Sejujurnya ia juga tak sampai hati jika mengumbar setiap perkataan ibu mertuanya dengan Faisal. Bukan apa, Vani hanya takut Faisal membenci ibunya kandungnya sendiri.
"Ya udah, aku mau mandi aja!" Vani bangkit dari ranjang empuk yang sejak tadi ia tempati. Melangkahkan kaki menuju satu ruangan di depan sana yang bernama kamar mandi.
Cukup lama Vani menghabiskan waktu di kamar mandi, hingga suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya seketika.
"Van ...!" Suara Faisal terdengar dari luar sana. Vani menyambar handuk yang tergantung di sudut ruangan, lantas menggunakannya buru-buru.
"Ada apa, Mas?" Ternyata Faisal sudah berdiri tepat di depan kamar mandi sembari membawa ponsel milik istrinya.
"Ada telepon." Faisal menyodorkan benda pipih itu. Vani lantas menerimanya.
[Hallo, Neng Vani!] ucap seseorang di seberang sana.
[Ada apa, Bik?] Vani langsung mengenal suara perempuan yang biasa di panggil Bi Minah itu.
[Lusa kamu bisa berangkat pagi, kan?] Suara perempuan seumuran ibunya itu terdengar lagi. Vani mengernyit heran. Sebelah tangannya masih sibuk mengeringkan rambut yang masih basah.
[Lho, memang kenapa Bi? Jatahku 'kan siang?] Vani kembali memutuskan untuk bertanya lagi.
[Bibi mau pulang kampung, Neng. Ada keperluan keluarga. Jadi, kamu gantiin tugas Bibi sementara ya?]
Menggantikan? Sontak Vani berpikir, menggantikan Bi Minah, artinya Vani harus memasak, membersihkan rumah, sekaligus melayani keperluan majikannya sendiri.
Oh, ya. Sudah hampir dua bulan Vani memutuskan untuk bekerja. Selain merasa jenuh jika terus nganggur tanpa melakukan apapun, Vani sengaja mencari hiburan agar tidak terlalu memikirkan omongan Ibu. Beruntung, Faisal mengijinkan. Namun dengan catatan, sore hari sebelum suaminya pulang, Vani harus sudah berada di rumah.
Vani meletakkan kembali benda pipih itu ke atas meja setelah menyetujui permintaan Bi Minah, lantas melirik Faisal yang sudah lebih dulu naik ke atas ranjang.
Malam mulai menyapa. Setelah melaksanakan kewajiban sebagai umat beragama, Vani langsung saja merebahkan diri di samping suaminya. Faisal masih terlihat sibuk dengan gawai di tangannya, sesekali tersenyum entah apa yang tengah di lihat di layar pipih itu.
"Mas ..." Suara Vani di buat semerdu mungkin. Sengaja untuk menggoda Faisal agar segera melirik ke arahnya dan meletakkan gawai miliknya.
"Apa, Van?" Hanya menengok sekilas, Faisal sibuk lagi menscroll layar handphone tanpa peduli sama sekali.
"Kapan, Mas? Ini udah hampir dua tahun lho?" Vani memancing pembahasan mengenai permasalahan itu lagi.
"Ibu pengen cepet-cepet punya cucu. Jadi, kapan, Mas?" Vani tidak mengerti, setelah pertanyaan itu Vani layangkan, tiba-tiba saja Faisal langsung memasang wajah tidak suka.
"Kamu apa-apaan sih, Van? Aku 'kan udah bilang, kita tunda dulu punya anaknya!" Suaranya nyaris merobohkan pertahanan Vani selama ini. Vani membeku seketika, cairan bening itu lolos begitu saja dari sudut mata wanita itu.
Apa yang salah? Aku cantik, semua orang bilang aku juga cukup menarik? Lantas, kenapa Mas Faisal selalu menolakku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
waduh trnyata blm dipake y pntas kapan hamidun nya kasian Vani..masa laki betah g hb jangan2 ada pelampiasan lain🤔
2023-10-27
1
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
untungnya suamine bijksana memaklumi nengahi .. dan nenenagin istri. biasane rata2 anak laki2 lbh membela semua perrilaki ibunya
2023-10-27
0
fifid dwi ariani
trusceria
2023-06-18
0