Vani menangis sejadinya meluapkan segala sesak yang ia rasakan. Vani tak peduli jika nanti ada tetangga yang menganggapnya bertengkar karena mendengar suara teriakannya tengah malam seperti ini.
Tak lama pintu kamar mandi terbuka. Faisal muncul dari dalam sana dengan handuk yang melilit sebatas pinggang. Kedua matanya nyaris melompat dari tempatnya saat melihat apa yang tengah istrinya lakukan. Faisal melangkah buru-buru kearah Vani yang terlihat sedang ...
"Van!!" Faisal menyentak kasar tangan istrinya yang tengah memasukkan barang pribadi ke dalam sebuah koper besar.
"Lepasin aku, Mas!" Vani memberontak dan berniat ingin melanjutkan kegiatannya tadi. Tapi, tangan Faisal buru-buru menepisnya lagi.
"Kamu mau ke mana?" tanya Faisal dengan bodohnya. Vani melengos menyembunyikan wajah sembabnya yang masih di penuhi air mata.
"Lebih baik aku pulang ke rumah Ibu, Mas! Aku udah nggak tahan lagi sama kamu!" jawabnya dengan suara ketus. Vani ingin melihat seperti apa reaksi Faisal nanti jika ia benar-benar meninggalkannya.
"Kamu jangan macam-macam, Van! Apa nanti kata Ibu jika tiba-tiba kamu pulang dalam keadaan begini?" tanya Faisal dengan suara meninggi.
"Maksudmu?" Vani memberanikan diri menatap wajahnya. Sungguh, Vani memang sama sekali tak berpikir sejauh itu.
"Kamu mau bikin ibumu sedih?" ucap Faisal kemudian.
Mendadak Vani ragu. Apa yang Faisal ucapkan memang ada benarnya. Jika nanti ibunya tahu ia pulang karena bertengkar dengan suaminya, bagaimana perasaannya? Terluka? Mungkin.
"Ibu pasti akan memakluminya." Vani menepis keraguan di hati tadi. Tekadnya sudah bulat untuk angkat kaki malam ini juga. Vani sudah muak, rasanya hampir gila jika lama-lama bertahan dengan keadaan seperti ini.
"Apa ini karena ucapan Ibu kemarin? Apa perlakuanmu tadi karena omongan Ibu yang selalu mendesak kita untuk segera memiliki anak? " tanya Faisal dengan deru napas yang naik turun. Terlihat gurat wajahnya juga mendadak berubah.
"Ya! Ini semua memang karena ibumu, Mas! Apa yang aku lakuin tadi juga di sebabkan oleh Ibu. Aku muak, Mas! Rasanya aku nggak kuat terus-terusan di tuduh mandul! Selama ini aku udah coba menerima perlakuan Ibu, tapi apa? Ibumu semakin memojokkan, Ibu justru menyalahkan–ku. Padahal kamulah penyebab utamanya!" Vani menunjuk Faisal dengan tatapan tak kalah tajam. Ia tumpahkan segala unek-unek yang sejak dulu selalu ia pendam dalam hati. Meluapkan segala kemarahannya pada Faisal.
Tubuh Vani ambruk di atas koper besar yang berisi setengah pakaiannya. Sedangkan Faisal masih berdiri terpaku memandangnya. Mereka saling bungkam beberapa saat. Hanya isak tangis Vani yang terdengar sampai memenuhi langit-langit kamar.
"Van ..."
"Mas!!" Vani memotong cepat ucapan Faisal. Ia menutup telinga dengan kedua tangannya sendiri. Vani tak mau lagi mendengar alasan apapun dari laki-laki itu.
"Dengarkan aku dulu, Van!" Faisal memegang kedua tangan Vani, menariknya agar dia tidak lagi menutupi kedua telinganya sendiri.
"Apa!" Vani membalas sorot matanya yang mengajaknya bersitatap. "Apa kamu tahu apa yang selama ini aku rasakan? Apa kamu juga tahu jika selama ini aku tersiksa, Mas? Hiks ...." Vani menangis lagi. Terlihat Faisal semakin kebingungan.
"Lalu, apa yang harus aku lakuin, Van? A ... aku ..."
"Kamu masih tanya harus ngelakuin apa, Mas!" Vani menggeleng tak percaya dengan ungkapan Faisal baru saja. Jadi, sejak tadi pengakuan serta tangisku hanya sia-sia saja?
"Lebih baik kita pisah aja, Mas! Buat apa menikah jika kamu tidak pernah mau ...." Belum sempat Vani menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja Faisal sudah menarik tangannya dengan kencang.
Tubuh Vani langsung menabrak dada bidang milik suaminya. Tatapan mata mereka saling bertemu. Vani mendengar jelas deru napas Faisal yang tidak beraturan. Kedua matanya juga menyorot tajam ke arahnya.
"Kamu bilang apa, Van?" Suaranya sedikit berbisik namun penuh dengan penekanan.
"Lebih baik kamu ceraikan aku, Mas!" ucap Vani lantang. Sebenarnya sejak tadi Vani hanya ingin memberikan pelajaran saja. Vani ingin menggertak Faisal. Bagaimana reaksi laki-laki itu jika Vani sampai meminta pulang ke rumah ibunya. Tapi, semakin ke sini Vani malah hilang kendali hingga kata pisah juga keluar dari mulutnya.
Brukkk!
Suara koper yang terhempas begitu saja keatas lantai dan suara tubuh Vani yang terlempar keatas tempat tidur terdengar nyaris bersamaan. Wajah Vani mendadak pucat saat melihat sorot mata Faisal yang terlihat menghujamnya dengan tajam.
"Baiklah, Van, baiklah!"
Vani mencelos mendengarnya. Hatinya bak hancur lebur seiring dengan tangisnya yang kembali terdengar. Anehnya tak ada lagi ucapan yang mampu wanita itu keluarkan dari kerongkongannya.
"Baiklah jika itu maumu!" Suara Faisal kembali terdengar.
Tapi, tunggu. Kenapa Mas Faisal malah mendekat kearahku? Bukannya tadi dia menyetujui ...
"Akhhh ....!!" Faisal mendorong tubuh Vani dengan kasar, menindih lantas memagut bibir Vani dengan rakus. Vani hanya mematung menerima perlakuannya yang tiba-tiba.
"Mas, ak ...u ...." Suaranya terbata. Vani hampir tak percaya dengan perlakuan Faisal. Kali ini tanpa aba-aba Faisal menarik selimut yang Vani kenakan dan membuangnya kesembarang arah.
"Kamu yang menginginkan ini, Van, jadi aku akan mengabulkannya." Di tengah kegiatannya Faisal masih berusaha bersuara. Vani tidak menjawab dan memilih menikmatinya saja. Ia memejamkan kedua matanya menikmati setiap sentuhan yang Faisal berikan.
Vani terbuai lagi, ia merasa di terbangkan lagi. Cukup lama hingga akhirnya mereka siap untuk melakukan kegiatan inti.
Perlahan Faisal bangkit. Ia membuang handuk yang sejak tadi melilit di pinggangnya. Tubuh Faisal ingin kembali mengungkung Vani, tapi, lagi-lagi Vani di buat terkejut dengan apa yang ia lihat.
"Atagaaa ....!!" Vani memekik tertahan. Faisal menghentikan gerakannya dan memalingkan wajah ke samping.
Vani nyaris pingsan. Wanita itu hampir tak percaya. Tapi, ini benar kan? Vani menepuk pipinya sendiri.
Kali ini bukan Faisal yang menarik diri, tapi Vani yang mendorong tubuh suaminya dari kegiatan malam mereka. Wajah Faisal memerah seperti tengah menahan sesuatu yang belum bisa ia ungkapkan.
"Kamu udah lihat sendiri kan, Van?" Faisal duduk tepat di depan istrinya. Sedangkan Vani menyambar selimut dan buru-buru menutupi tubuh polosnya lagi.
"Mas, kamu ....?" Vani tak sampai hati ingin melanjutkannya. Itu terlalu mengejutkan baginya.
"Ya, Van, inilah aku." Faisal menunduk lesu. Gairah yang tadi sempat berkobar hilang entah ke mana. Begitupun Vani, hasrat yang sudah membubung tinggi menguap begitu saja tanpa sisa.
"Maafkan aku, Van. Aku tidak bisa memenuhi apa yang kamu butuhkan. Ak .... aku ....."
Dada Vani sesak rasanya. Kenapa baru sekarang Faisal mengatakannya? Jika sejak awal ia jujur, mungkin Vani tidak akan kecewa seperti ini.
"A–aku ..."
"Apa?!" Vani memekik tak percaya. Wanita itu nyaris pingsan mendengar pengakuan suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Mama Lana
makasih kak, love banyak-banyak
jangan lupa singgah ke novelku yang lain yah🙏🙏🙏
2023-06-18
0
fifid dwi ariani
trus berkarya
2023-06-18
1