Badut Penghibur

“Udah ah, gak mirip gaya bicara lo sama Dilan!” seloroh Alya, saking tak bisanya ia menahan tawanya lagi di hadapan Morgan.

Morgan tersenyum, ‘Ya, terus tertawa. Hanya itu yang gue mau dari lo,’ batinnya, yang memang sejak dulu selalu menemani keresahan Alya.

Secara tidak langsung, Morgan sudah menjadi seorang badut, yang hanya bisa mendengarkan keluh kesah Alya, dan membuatnya menjadi mood kembali.

Morgan adalah badut bagi Alya.

‘Gak masalah, asalkan lo bahagia. Suatu saat, gue yakin lo pasti akan jadi milik gue,’ batin Morgan, yang merasa sama sekali tidak keberatan menunggu Alya.

“Gan?” tanya Alya, yang kebingungan dengan Morgan yang sedari tadi, hanya diam saja tak berbicara apa pun.

Morgan tersadar, “Ah? Iya, Al?”

“Besok lo mau jemput gue jam berapa? Biar gue siap-siap dulu,” tanya Alya, Morgan tersenyum mendengarnya.

“5 menit, gue sampai sana, kok!” selorohnya, membuat Alya semakin tertawa mendengarnya.

“Ah? Lo mah suka gitu, Gan! Serius nih, gue nanya beneran,” ujar Alya, yang meminta penjelasan kepada Morgan.

“Ya ... mungkin sekitar jam 8 pagi, gue udah sampai sana,” ucap Morgan, membuat Alya mengangguk-angguk kecil mendengarnya.

“Oke, gue tunggu, ya! Bye.” Alya langsung memutuskan sambungan telepon mereka.

Hal itu membuat Morgan merasa sangat sendu, dan hanya bisa terdiam sembari memandangi layar handphone-nya.

“Kenapa langsung ditutup? ‘Kan gue masih pengen bicara sama lo, Al!” gumam Morgan, yang merasa sedikit sendu mengetahuinya.

Morgan menghela napasnya dengan panjang, kemudian segera menarik selimutnya untuk menyokong hari esok dengan cepat.

Sementara itu, di sana Alya merasa sangat senang. Ini adalah janji pertama Morgan dengannya.

Sebelumnya, ia sama sekali tidak mau ikut dengan Morgan. Itu semua karena Alya masih bersama dengan Dion. Alya tidak ingin Dion marah padanya, karena hanya Dion satu-satunya yang ia miliki, pada saat itu.

“Yeay, besok main wahana!” gumam Alya dengan sangat senang, karena bisa main ke wahana lagi.

Hal itu mengingatkan dirinya dengan kedua orang tuanya, yang mengajaknya menaiki wahana, sebelum mereka meninggalkan dirinya untuk selamanya.

Alya menghela napasnya dengan panjang, “Bu ... Alya kangen sama Ibu,” gumamnya, yang merasa sediki mellow jadinya.

Karena tidak mau merasa bersedih lagi, Alya pun segera pergi mandi, agar tubuhnya menjadi segar kembali.

***

Pagi harinya, Alya sudah selesai bersiap-siap untuk pergi bersama dengan Morgan.

Persiapan sudah ia lakukan, bahkan ia sudah menggunakan pakaian yang nyaman untuk hari ini.

Rambutnya ia kuncir, dengan mengenakan sweeter berwarna biru, dan juga celana jeans pensil. Sepatunya pun mengikuti stelan pakaiannya. Ia menggunakan sneakers berwarna putih dengan list biru, agar tampilannya selaras dengan sweeter yang ia kenakan.

Sudah selesai persiapan tersebut, Alya segera menggunakan topi putih berserta masker duckbill hitamnya.

Semua penampilannya dirasa sudah sesuai. Alya pun segera menyambar handphone-nya, untuk memberikan kabar kepada Morgan.

Belum sempat Alya menghubunginya, Morgan sudah lebih dulu mengirimkan pesan singkat padanya.

“Gue udah di basement.” Isi pesan singkat dari Morgan.

Karena sudah mendapatkan kabar dari Morgan, Alya pun segera menyambar tasnya, dan segera keluar dari dalam kamarnya.

Ketika Alya membuka pintu kamarnya, Alya terkejut karena mendapati Rian yang sedang tidur terduduk, sembari menyandarkan tubuhnya pada dindin kamarnya.

Alya memandangnya dengan heran, ‘Dia semalaman tidur di sini?’ batinnya, yang merasa sangat bingung melihat Rian di sana.

Melihat Rian yang tertidur pulas sambil menyandarkan tubuhnya di dinding, Alya merasa sedikit bersalah padanya.

‘Sebenernya apa sih yang lo lakuin sama Rachel kemarin? Apa ... ini semua hanya salah paham?’ batin Alya, yang merasa demikian.

Rian terusik dengan sesuatu, membuatnya terbangun membuka matanya.

Hal pertama yang ia lihat adalah, Alya yang sudah rapi dengan baju santainya.

“Alya?” gumamnya, yang lekas bangun dari tidurnya.

Kini, Rian bangkit dan menyamai tinggi Alya. Mereka memandang satu sama lain, membuat Rian semakin merasa bersalah kepadanya.

“Lo mau ke mana? Kenapa gak sarapan dulu?” tanya Rian bingung. “Lo dari kemarin belum makan, sekarang juga belum makan!”

Alya memandangnya dengan datar, “Itu urusan gue, mau makan atau enggak. Apa urusannya sama lo?” ujarnya yang datar, tetapi terdengar sangat sinis di telinga Rian.

Karena suasana masih pagi, Rian hanya bisa menghela napasnya dengan panjang. Ia tidak ingin membuat kekacauan di pagi hari.

“Udah ah, gue mau jalan!” ujar Alya, yang langsung pergi dari sana, tetapi tangan Rian menahan tangannya.

Alya pun kembali memandang ke arah Rian, “Apa lagi sih?” tanyanya sinis, Rian memandangnya dengan dalam.

“Lo mau ke mana? Sama siapa? Lelaki atau perempuan? Teman yang mana?”

Pertanyaan yang bertubi-tubi Rian tujukan ke arah Alya, tetapi Alya bergeming, sama sekali tidak menjawabnya.

Alya menandangnya dengan sinis, “Itu urusan gue! Lo gak perlu tau! Lo urus aja si Rachel yang gatel itu!” bentak Alya, yang langsung menghempaskan tangan Rian, kemudian segera pergi keluar dari apartemennya.

“Alya!” pekik Rian, yang dirasa percuma saja.

Alya tidak akan pernah mendengarnya.

Sudah lebih dari sepuluh menit Morgan menunggu di basement, tetapi ... Alya sama sekali belum terlihat batang hidungnya.

“Alya mana, ya? Apa ... dia belum bangun?” gumam Morgan, yang masih belum percaya kalau Alya belum bangun di hari yang sudah secerah ini.

Karena hanya mengirimkan pesan singkat, Morgan menjadi sangat ragu. Diambilnya handphone-nya, kemudian segera menghubungi Alya.

Belum sempat Morgan menghubungi Alya, ternyata Alya sudah sampai di hadapannya. Buru-buru Morgan mengakhiri panggilannya pada Alya, karena Alya sudah hendak masuk ke dalam mobilnya.

Pintu terbuka dan tertutup, dengan Alya yang saat ini sudah duduk di sebelah Morgan.

Alya melontarkan senyumannya ke arah Morgan, “Ah, pakai mobil? Kenapa gak pakai motor aja?” tanyanya yang heran dengan Morgan yang membawa mobil.

“Iya, karena gue ngajak main artis besar, takutnya ... mereka pada ngeliat lo nanti di jalan,” selorohnya, membuat Alya menepuk bahu Morgan.

“Ah, lo bisa aja. Gue masih magang kali!” ujar Alya, membuat Morgan tersenyum tipis mendengarnya.

Morgan memandangnya dengan dalam, “Suatu saat nanti, lo pasti akan jadi bintang bersinar. Gue yakin itu!” ujarnya, sontak membuat Alya mendelik kaget, karena perkataan Morgan yang hampir sama dengan yang Rian katakan kala itu.

Alya menunduk sendu, karena ia teringat dengan Rian. Ia merasa sangat bimbang, antara melanjutkan marah dengan Rian, atau mengakhiri pertengkaran dengannya.

Permasalahannya, Alya sendiri tidak tahu, apa yang ia perdebatkan dengan Rian.

‘Rian ... kenapa sih gue marah sama dia? Memangnya salah dia apa? Dia tuh cuma ciuman sama Rachel aja. Lagian, gue juga gak ada rasa apa pun sama dia!’ batin Alya, yang masih mengelak juga tentang perasaannya terhadap Rian.

Terpopuler

Comments

👊🅼🅳💫

👊🅼🅳💫

trs aj bohong ma hati lu SDR🙄🙄 gk suka tp kdg2 cemburu g jls😏😏

2023-01-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!