Diam Seribu Bahasa

Alya menarik lengan tangan Rian, yang berada pada bahunya, lalu membanting tubuh Rian, sampai Rian tersungkur di atas aspal jalanan.

“Aduh!” teriak Rian, yang berusaha untuk menahan sakit pada punggungnya.

Alya bangkit, dan memandang sinis ke arah Rian, yang masih tersungkur di hadapannya.

“Sukurin! Rasain tuh! Sakit, ‘kan?” ujar Alya dengan ketus, membuat Rian memandangnya dengan tatapan merengek.

“Al ... kenapa lo banting gue?” tanya Rian yang merasa sangat bingung dengan keadaan yang ia hadapi saat ini.

Alya memandang sinis ke arahnya, “Gak apa-apa. Kasih pelajaran aja, jangan sampai lo berbuat mesum di ruangan gue!” bentak Alya, yang menutupi semua perasaannya dengan cara berbohong.

Itu semua karena Alya sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang ia rasakan adalah cemburu.

Rian bangkit, tak terima mendengarnya, “Gue gak buat mesum, Al! Gue tuh tadi cuma--”

“Cuma apa?” tanya sinis Alya, memangkas ucapan Rian. “Cuma ciuman manja sama Rachel aja, iya?”

Rian memandangnya sendu, karena ternyata Alya sudah benar-benar salah paham dengan apa yang terjadi saat ini.

Alya menunjuk kasar ke arah Rian, “Jangan sampai berbuat yang macem-macem di ruangan gue!” bentaknya, yang lalu segera pergi meninggalkan Rian di sana.

Rian memandangnya tak rela, “Alya!” pekiknya, tetapi Alya sama sekali tidak menghiraukan pekikan Rian.

Alya meninggalkan Rian di sana, membuat Rian memandanginya dengan rasa bersalah.

***

Mereka sudah sampai di apartemen Alya. Sepanjang perjalanan, mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Sesekali Rian mengajak Alya berbicara, tetapi Alya sama sekali tak menghiraukan. Alya hanya berfokus pada handphone-nya, dan tak menjawab pertanyaan dari Rian.

Setelahnya, Rian sama sekali tak mengatakan apa pun. Ia merasa tidak enak, dan ingin memberikan waktu pada Alya, untuk bisa kembali seperti semula.

Mereka berjalan menyusuri lorong ruangan apartemen, kemudian masuk setelah membuka pintu.

Sudah sejak kemarin malam, Alya sama sekali belum makan. Hal itu membuat Rian sangat khawatir, dan ingin sekali menyuruhnya makan, untuk sekadar mengisi perutnya yang kosong.

Rian memandang ke arah Alya, yang saat ini sedang melangkah menuju ke arah kamarnya. Tangannya ia ulurkan, dan menahan bahu Alya, hingga langkah Alya menjadi tertahan.

“Makan dulu, lo belom makan dari kemarin malam,” ujar Rian dengan datar, Alya terdiam sejenak, kemudian melepaskan bahunya dari tangan Rian.

Sama sekali tak memedulikan Rian, Alya justru malah langsung masuk ke dalam kamarnya, lalu menguncinya.

Rian merasa sendu, karena Alya sangat acuh padanya.

Rian melangkah ke arah pintu kamar Alya, kemudian mengetuknya dengan ritme yang cepat.

“Alya ... buka pintunya! Nanti lo sakit! Ayo, makan dulu!” teriak Rian, yang benar-benar merasa khawatir dengan kesehatan Alya.

Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa mengingatkan Alya, tentang kesehatan Alya?

Alya merasa terusik, karena Rian yang terus mengetuk pintunya.

“Aduh ... kenapa dia ngetuk pintu terus, sih? Berisik!” gumam Alya, yang merasa sangat terganggu olehnya.

“Jangan ketuk pintu! Berisik, tau gak!” teriak Alya, yang sudah merasa sangat terganggu dengan yang Rian lakukan.

Mendengar suara teriakan Alya, Rian pun merasa sangat kaget. Dengan mudahnya Alya mengatakan hal itu, padahal dirinya sangat memedulikan tentang kesehatan Alya.

“Al, makan dulu! Gue pesenin pizza, ya?” ujar Rian, membuat Alya semakin kesal mendengarnya.

“Kenapa pake nawarin segala, sih? Harusnya dia pesenin aja langsung, kalau memang dia peduli sama gue!” gumamnya lirih, saking kesalnya ia dengan apa yang Rian lakukan.

Rian kembali mengetuk pintu ruangan kamar Alya, “Al ... kok gak dijawab? Masih marah sama gue?” tanyanya, Alya menjadi teringat kembali dengan permasalahan mereka saat ini.

“Udah deh, jangan ketuk-ketuk pintu gue! Jangan berisik, gue mau istirahat! Capek!” bentak Alya, Rian hanya bisa diam dan merasa sangat terkejut mendengar bentakan Alya padanya.

Rian menghela napasnya dengan panjang, “Ah ... kenapa malah jadi begini, sih?” gumam Rian lirih, yang merasa sangat tidak rela mendengarnya.

Karena sudah tidak bisa melakukan apa pun, Rian pun hanya bisa pasrah, karena ia tidak tahu lagi cara untuk membujuk Alya.

Rian hanya bisa memandang ke arah pintu ruangan kamarnya, kemudian perlahan turun sembari menyandarkan tubuhnya pada dinding sebelah pintu kamar Alya.

Tidak bisa dipungkiri, Rian juga sangat merasa bersalah. Walaupun ia sama sekali tidak melakukan hal tersebut, tetapi rasa bersalahnya tetap ada pada Alya.

Tangannya menumpu dagunya, ia tidak tahu lagi harus melakukan apa, untuk membujuk Alya agar memaafkan dirinya.

“Kenapa malah begini kejadiannya, sih? Harusnya ... Rachel gak datang ke ruangan Alya tadi!” gumam Rian, yang merasa sangat kesal dengan apa yang sudah terjadi padanya.

Sementara itu, rasa berani Alya sudah luruh. Kini, hanya tinggal sisa-sisa perasaan sedihnya saja.

Alya kembali kepada sosok yang rapuh, dan air mata pun sudah kembali menetes di pipinya.

Tak ada lagi yang bisa Alya lakukan, selain menangis. Seharian ini, ia selalu menguatkan dirinya, untuk tidak menangis di hadapan Rian.

Namun, kali ini ia sudah tidak bisa menahannya.

Alya tidur menelungkup, sembari memeluk bantal yang biasa ia peluk.

Hatinya terasa perih, ketika mengingat kejadian yang terjadi pagi tadi, antara Rian dan juga Rachel.

Padahal, Alya sama sekali merasa tidak peduli. Namun, dalam hati kecilnya terasa sangat sakit, dan entah perasaan apa yang ia rasakan.

Tangisannya mulai deras, air matanya pun mulai membanjiri wajahnya. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahagia, tetapi tidak tahu apa yang ia sedihkan itu.

“Kenapa ini? Kenapa sesak banget dada ini?” gumam Alya, sembari terus menyeka air matanya yang terjatuh.

Sejenak Alya meratapi rasa sakit hatinya itu. Keresahan menyelimuti, Alya benar-benar tidak mengetahui rasa sakitnya tersebut.

“Kenapa dia tega sama gue?” gumam Alya lirih, sembari memukul keras bantal yang ia peluk.

Alya meluapkan tangisannya, saking sedihnya ia.

Sayup-sayu terdengar dari luar ruangan kamar Alya, tangisan Alya yang cukup besar. Rian merasa sangat sendu, saking merasa bersalahnya ia dengan Alya.

“Al ... ini gak seperti yang lo bayangin. Gue sama Rachel itu gak melakukan apa pun tadi! Percaya sama gue, lo itu cuma salah sangka aja,” ujar Rian lirih, yang ia pikir percuma saja ia menjelaskan pada Alya.

Toh, Alya tidak akan pernah mempercayainya.

Mereka menghabiskan malam, dengan memikirkan satu sama lain. Namun, mereka masih belum sadar, kalau perasaan mereka ternyata sudah berkembang sangat jauh, sampai ada perasaan tak rela, ketika salah satu dekat dengan lainnya.

Mereka sama-sama meluapkan emosi mereka, dengan cara mereka sendiri.

Rian menyesali perbuatannya, sementara Alya hanya bisa menangisi apa yang Rian perbuat.

Terpopuler

Comments

👊🅼🅳💫

👊🅼🅳💫

PGN kucir deh tuh mulut Alya 😏😏

2023-01-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!