Suara dering alarm dari ponselnya memaksa Fiona untuk bangun dari mimpi indahnya. Tangan Fiona meraba-raba ke arah samping tempat ia terbiasa menyimpan ponsel dengan mata terpejam. Yang ia temukan bukan benda pipih miliknya, tetapi benda keras seperti roti sobek mirip otot manusia.
“Apa yang kalu lakukan?”
Mata Fiona terbuka sempurna saat mendengar suara yang tak asing baginya. Kepala Fiona menengok ke samping, saat menyadari tubuhnya berdekatan dengan Ignazio. Fiona menjauh dan menutupi tubuh polosnya dengan bantal. “Aa ... Aku tidak sengaja.”
Tangan Fiona mencari keberadaan ponselnya yang terus berdering. Saat menyadari suaranya dari celah bawah tempat tidur Fiona turun dan mengambilnya. ‘Ketemu dosen killer, jangan sampai terlambat’ setelah membaca note pada alarmnya, sontak Fiona melempar ponselnya ke lantai dan segera masuk ke kamar mandi.
Fiona tidak memedulikan kamar mandi transparan yang akan di lihat Ignazio. Ia mandi secepat kilat dan kembali ke dalam kamar untuk memakai baju.
Fiona menarik tas, serta memasukkan ponselnya dan berlari keluar dari kamar meninggalkan Ignazio yang melongo di buat istrinya. “Apakah dia sedang kerasukan?” batin Ignazio.
Fiona menekan tombol lift dengan tidak sabar. Ia harus segera sampai di kampusnya tempat waktu.
Pintu lift terbuka Fiona segera masuk dan menekan tombol. Pintu lift terbuka di lobi ia berjalan dengan tergesa mencari taksi.
Fiona berlari menuju taksi yang sedang terparkir. Ia masuk dan duduk. Tidak lupa Fiona memberitahu sopir alamat kampusnya.
“Pak ngebut dikit dong. Bisa tamat nih riwayat saya kalau sampai terlambat.”
Fiona mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi temannya. “Feriska tolong dong print skripsi gue.”
[Kenapa Lo terlambat lagi?]
Fiona menatap jam tangannya. “Iya, mana lima belas menit lagi janji ketemu dosennya. Bantu gue ya please.”
[Untung gue lagi happy, oke gue bantu.]
“Makasih Lo memang sahabat terbaik gue.” Fiona menutup teleponnya, ia kembali melirik arlojinya.
“Pak ngebut dikit lagi aja. Ini masalah hidup dan mati.”
Sopir tersebut mengikuti instruksi penumpang, namun jalanan pagi itu cukup padat sehingga sopir mengendarai mobilnya dengan perlahan.
Sepanjang perjalanan Fiona memijat pelipisnya kala jam di tangannya terus berputar cepat sementara laju mobilnya selamban siput.
“Aargh!” erang Fiona. Tangannya menggenggam kuat-kuat ponsel di tangannya.
Begitu sampai Fiona membayar biaya taksi. Keluar dari mobil dan berlari menuju ruang dosen. Jarak dari gerbang menuju ruang dosen dapat di tempuh dengan waktu lima menit jika lari cepat.
Feriska melambai-lambai dari kejauhan saat melihat sahabatnya berlari.
Fiona menghentikan langkahnya begitu sampai di depan ruang dosen. Nafasnya tersengal-sengal. Ia duduk menyelonjorkan kakinya yang terasa kebas.
“Lo ketemu pak Yugiono masih berani terlambat? Mau mati berdiri Lo?”
Fiona mengambil alih skripsi yang di pegang Feriska. “Berisik ah, tunggu sini jangan kemana-mana!”
Fiona menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia melatih bibirnya untuk menampilkan senyum terbaiknya. “Lo pasti bisa,” ucap Fiona menyemangati dirinya sendiri.
Feriska mengetuk pintu ruang dosen tanpa seijin Fiona.
“Kenapa main ketuk aja, gue belum siap,” keluh Fiona.
“Udah sana cepat masuk,” ucap Feriska enteng.
Fiona ingin menjambak rambut sahabatnya yang menyebalkan. Dengan dada yang berdebar Fiona menekan knop pintu dan mendorongnya hingga pintu ruang dosen mulai terbuka.
Pandangan Fiona seketika langsung bertemu dengan manik Yugiono, Dosen killer berusia setengah abad yang kini membalas tatapannya.
Fiona berjalan dengan menunduk. Ia mengangkat kepalanya, seraya memberikan senyum terbaiknya. “Ma-“ Ucapan Fiona di potong oleh Yugiono
Yugiono menunjuk arlojinya ke depan mata Fiona. “Dua puluh lima menit, lewat empat puluh detik saya menunggu kamu!”
Dada Fiona semakin bergemuruh tak jelas. “Maaf pak saya tidak akan mengulanginya lagi. Ini skripsi saya, mohon koreksinya.”
Dosen tersebut menerima skripsi milik Fiona. “Saya harus mengajar, besok pagi temui saya lagi.”
Yugiono menyimpan skripsi Fiona di atas mejanya dan meninggalkan Fiona yang masih mematung di tempatnya.
Tangan Fiona mengepal, andai ini bukan semester terakhirnya ia tidak akan repot-repot mengurusi skripsi.
Fiona keluar dari ruang dosen dengan wajah lesu. Feriska menyambut kedatangan sahabatnya. “Gimana aman kan?”
“Aman apanya, mati gue!” Fiona berjalan menuju kantin, tenggorokannya terasa sangat kering.
Fiona membeli satu botol air mineral dan duduk bergabung bersama temannya Anthony dan Demian.
Feriska ikut duduk di samping Fiona, ia mengeluarkan kotak ponsel keluaran terbaru. “Kalian harus saksikan acara unboxing hp iPhone terbaru milik Feriska yang bahkan belum rilis di negara kita.”
“Dari siapa?” tanya Anthony.
“Paling dari On senang,” timpal Demian.
“Seratus buat Lo Dam.” Feriska membuka handphone barunya yang masih terbungkus sempurna.
“Gue kayaknya harus cari Tante gatel deh biar bisa hidup glamor. Lo ada kenalan enggak Anthony?”
Anthony mengeluarkan kotak makan yang ia bawa. “Gak ada. minta sana sama Feriska.”
“Kalau om gua masih ada cadangan tapi kalau Tante, gak punya.”
Fiona mengambil satu potong kue saat Anthony menyodorkan kotak bekalnya. “Enak, gue suka,” puji Fiona. Anthony memang jago dalam hal memasak.
“Mau liat dong om senang Lo, ganteng enggak?”
Mendapat pertanyaan dari Damian wajah Feriska memerah ia mengeluarkan ponsel lamanya dan menunjukkan foto om senangnya. “Tampan banget kan,” puji Feriska.
Fiona fokus menghabiskan kue, sementara pikirannya melayang memikirkan skripsinya. Ini semester terakhir yang di berikan kampusnya untuk Fiona, jika ia tidak lulus tahun ini Fiona akan di DO.
Anthony hanya melirik sekilas, sementara Damian mengambil ponsel Feriska dan memandangi foto tersebut. “Tampan juga, tapi sayang tuir. Lo gak jijik apa waktu anu sama dia?”
Pipi Feriska memerah. “Otot dia beuh kekar banget, belum lagi goyangannya bikin gue melayang. Aaaaa gue enggak bisa lupa.”
Tanpa mereka ketahui pria yang menjadi om senang Feriska adalah CEO MA Group, pria yang telah beku hatinya karena kehilangan istri dan calon keturunannya dalam waktu bersamaan.
Fiona teringat akan janjinya bertemu dengan Rangga. “Gue cabut duluan ya,” pamit Fiona pada semua temannya.
“Jangan bilang Lo mau ketemu dia lagi? Move-on dong Fiona!”
Fiona menampilkan deretan giginya. “Ini yang terakhir kalinya, gue janji.”
Feriska memandang kepergian Fiona dengan rasa tidak rela. “Anthon kapan Lo maju, biar Fiona gak ngejar-ngejar lakik orang lagi.”
Anthony memasukkan kue suapan terakhirnya. “Nanti kalau dia sudah bisa liat gue.”
Damian menepuk pundak Anthony. “Yang sabar ya Ton. Usahamu tidak sekeras bagian bawahmu.”
Anthony meninju baju Damian pelan. “Lo udah pantes jadi simpanan Tante girang.”
“By the way gua mau tanya pendapat kalian dong,” ungkap Damian.
“Tanya soal apa?” sahut Feriska.
“Gue butuh duit nih, seratus juta. Ada yang mau minjemin gak?”
“Kalau Cuma dua puluh juta gue ada, mau?” tawar Anthony.
“Kurang Ton. Butuh buat bayar utang judi bokap.”
Feriska menunjukkan wajah kesalnya. “Gak usah di bantu lah. Bokap Lo keenakan.”
“Masalahnya kali ini rumah yang bakal di sita. Kemarin ada cewek yang minta gue tidur sama dia, lagi hamil gede. Gila sih kayaknya cewek tuh, Cuma gue butuh duitnya.”
“Mana liat foto ceweknya?” pinta Feriska.
Mata Feriska memandang layar ponsel yang di tunjukan Damian, ia terlonjak kaget. “Lo gila, dia istrinya saudara kembar Fiona.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Triiyyaazz Ajuach
omegat lagi hamil besar Razita msh juga main gila
2023-01-12
0
Uciha Rere
Seru kayanya nih. Sampai duduk loh aku wkwkwk
2023-01-10
0