ACDO Bab. 4

Bab. 4

Menerima telepon dari Fabian yang mengatakan bahwa ada beberapa berkas yang harus di tandatangani serta beberapa laporan perkembangan perusahaan yang harus dipelajarinya. Henry bergegas meninggalkan pelataran parkir rumah sakit.

Niat hati ingin bertemu Areta, walau hanya melihatnya dari kejauhan saja, sudah cukup bagi Henry. Namun ternyata ia malah ketiduran. Alhasil ia bermimpi yang bukan-bukan. Mimpi yang terlalu manis bahkan serasa nyata. Namun kemudian ia malah berandai-andai.

Ya.

Andai mimpi itu bisa jadi kenyataan.

Mungkin Henry akan menjadi pria yang paling berbahagia di dunia ini jika ia bisa memiliki Areta seutuhnya, menjadi pendamping hidup untuk seumur hidupnya.

Oh, andai itu bisa ia wujudkan menjadi kenyataan.

"Berkas-berkasnya sudah saya siapkan, Pak Henry. Bapak tinggal menandatanganinya saja. Dan ada juga berkas-berkas yang harus Pak Henry pelajari, yaitu laporan tentang perkembangan perusahaan selama setahun belakangan." Fabian menyusul, mensejajarkan langkah dengan Henry menyusuri lobi menuju lift khusus petinggi perusahaan yang akan membawanya ke lantai lima. Di mana ruangan Presiden Direktur berada.

Menyugar rambut, Henry lalu mengucek matanya yang masih menyisakan kantuk. Entah berapa lama ia tertidur di pelataran parkir rumah sakit hanya demi melihat si bidadari hatinya muncul dari sana.

Padahal sudah belasan tahun waktu berlalu, namun nama itu masih terukir indah dan jelas di sanubarinya yang terdalam. Si wanita dambaan yang menjadi obsesinya sampai detik ini.

"Tiga hari lagi ulang tahun perusahaan, apakah Pak Henry ingin mengadakan perayaan?" tanya Fabian begitu Henry mendaratkan pantat di kursi kerjanya.

Menegakkan punggung sejenak, Henry menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lalu menghembuskannya perlahan. Matanya masih dirayu kantuk, namun pekerjaan memaksanya untuk tetap terjaga.

Fabian menaruh dan membuka map di depan Henry. Lalu menyodorkan bolpoin ke tangan Henry.

"Perayaan ulang tahun perusahaan kamu bilang?" Henry memastikan, menaikkan kedua alisnya.

"Iya, Pak Henry. Bu Agata sering merayakan ulang tahun perusahaan setiap tahunnya. Apa Pak Henry juga akan membuat perayaan yang serupa?"

"Tentu saja. Kenapa tidak?" Sembari membubuhkan tanda tangannya setelah membaca isi berkas itu sejenak.

Senyum Fabian terkembang. Perayaan ulang tahun perusahaan ini bisa dibilang menjadi perayaan yang paling ditunggu-tunggu seluruh karyawan Dreams Food. Selain merayakan ulang tahun berdirinya Dreams Food pertama kali, dalam perayaan itu juga akan dipilih karyawan yang paling loyal dan berkompeten untuk diberikan door prize. Sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras karyawan Dreams Food.

"Jangan lupa, undang sekalian beserta keluarga karyawan. Karena perusahaan ini bisa berkembang berkat kerja keras mereka," sambung Henry.

"Baik, Pak."

...

Sudah tiba jam pulang kantor. Angga bersiap-siap hendak pulang. Namun tiba di lobi, tanpa sengaja ia mendengar Fabian berkata kepada security kantor.

"Pak Henry masih di ruangannya. Beliau lembur katanya hari ini. Tolong perhatikan beliau."

Seperti itu kata Fabian sebelum akhirnya berlalu. Mendengar itu, Angga pun berubah pikiran mendadak. Tadinya ia memang hendak pulang. Belum lagi Areta kerap menghubunginya, memberitahu soal Rosa yang selalu menanyakannya.

Namun begitu mendengar Henry lembur, mendadak Angga pun mengurungkan niatnya. Ia pun mendapatkan ide cemerlang tiba-tiba untuk ajang cari mukanya.

Angga memutar langkah menuju ke pantry kantor. Kali ini ia harus bisa meraih perhatian bos nya itu demi satu tujuan yang ingin dicapainya.

Selang beberapa menit berlalu, kini Angga berdiri di depan pintu Presiden Direktur dengan nampan di tangan. Secangkir kopi yang masih mengepulkan asap hingga menguarkan aroma wangi khasnya itu hendak Angga suguhkan kepada atasannya. Sebagai bentuk perhatian berbalut niat bulus.

Angga mengetuk pintu. Terdengar sahutan dari dalam.

"Masuk."

Mendorong pintu itu perlahan, Angga menyembulkan kepalanya. Menilik sejenak si atasan nan rupawan tersebut.

"Selamat sore Pak Henry." Angga menyapa. Lalu membawa langkahnya masuk beserta nampan di tangan.

Wangi khas kopi yang menyeruak itu mencuri indera penciuman Henry seketika. Henry yang berdiri di depan jendela itu pun mengalihkan perhatiannya dari objek di bawah sana yang menjadi fokusnya.

"Kamu? Kamu yang ngasih saya bunga mawar itu kan?" Henry menebak sembari mengambil duduk di kursi kerjanya.

Sembari mengulum senyum, Angga menghampiri.

"Iya, Pak. Saya Angga. Angga Adinata. Staff marketing."

"Oh ... Kenapa kamu belum pulang? Bukannya ini sudah jam pulang kantor? Dan apa itu yang kamu bawa?"

"Ini, saya buatkan kopi untuk Pak Henry. Saya dengar dari sekretaris Pak Henry, katanya Pak Henry lembur. Makanya saya inisiatif buatkan kopi untuk Pak Henry. Semoga kopi ini sesuai dengan selera Pak Henry. Silahkan, Pak." Dengan lembut dan mimik dibuat semanis mungkin Angga menaruh secangkir kopi itu di meja, di depan Henry.

"Waaah terimakasih banyak, Angga. Kamu kok bisa tahu kalau saya memang lagi butuh kopi?" kelakar Henry sembari meraih cangkir, lalu menyesap kopi panas itu sedikit demi sedikit.

"Mmmh ... Kopinya enak. Sesuai dengan selera saya. Terimakasih ya?" ucap Henry.

Angga pun tersenyum. "Sama-sama, Pak. Ternyata Pak Henry ini orangnya ramah ya? Tidak seperti kabar yang berembus. Saya jadi kagum sama Pak Henry." Angga mulai melancarkan aksi memujinya untuk memuluskan niat cari mukanya, demi meraih perhatian Henry. Kalau bisa ia ingin mengakrabkan diri dengan atasannya itu. Siapa tahu setelah itu ia mendapatkan promosi menjadi manajer.

Henry berkerut dahi, menaruh kembali cangkir tersebut ke tatakannya. Lalu fokus menatap Angga yang masih berdiri di seberang meja sambil memeluk nampan.

"Maksud kamu?"

"Menurut kabar yang sempat saya dengar katanya Pak Henry ini galak dan arogan. Tapi setelah bertemu langsung, ternyata kabar itu bohong. Pak Henry tidak seperti apa yang terdengar. Pak Henry ini ternyata orangnya humble, ramah meskipun pada karyawan. Saya merasa senang punya atasan seperti Pak Henry ini."

Henry kembali tersenyum mendengar pujian dari Angga. Bukan bermaksud berbangga diri, Henry sangat mengenal tipe-tipe karyawan seperti Angga ini. Yang senang mencari muka. Dan Henry hanya bersikap sewajarnya saja. Sedikitpun tidak termakan pujian murahan seperti itu.

"Terimakasih. Oh ya, kenapa kamu belum pulang? Bukannya kamu punya keluarga? Kan kasihan kalau istri kamu menunggu kamu pulang."

"Saya lembur hari ini Pak. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya hanya tidak terbiasa membawa pekerjaan saya di kantor ke rumah. Saya lebih suka menyelesaikannya di kantor langsung. Dan lagipula, istri saya itu orangnya sangat pengertian. Dia selalu mendukung pekerjaan saya."

"Oh ya? Waah ... Kamu sangat beruntung ya punya istri yang pengertian seperti itu. Saya jadi iri sama kamu." Henry tertawa kecil. Dalam benaknya menari-nari bayangan Areta. Si wanita dambaan. Sekian lama ia mengagumi wanita itu dalam diam. Bahkan hingga hari ini, setelah lama tak bertemu, perasaan itu masih sama. Bahkan kini bertambah berkali-kali lipat saat melihat sosok Areta yang lebih dewasa.

"Kenapa Pak Henry bisa iri sama saya? Saya justru yang iri sama Pak Henry."

"Loh, kok bisa?" Henry mengerutkan dahi namun tertawa dalam hatinya melihat gelagat Angga yang kentara ingin mencari muka.

"Pak Henry mah bebas, tidak punya ikatan apa pun. Jadi Pak Henry bisa melakukan apa pun yang Pak Henry mau. Tidak seperti saya, yang sudah punya ikatan. Mau ngapain aja susah."

Henry pun akhirnya tertawa mendengar bualan Angga.

"Kamu seharusnya bersyukur diberi istri yang pengertian dan perhatian seperti istri kamu. Jangan sampai ada laki-laki lain yang akan merebut istri kamu." Henry mengingatkan, bernada setengah menakut-nakuti.

Angga mengusap tengkuk. Kalimat Henry menohok, membuatnya salah tingkah sekaligus malu. Memang selama ini ia terkadang merasa seperti terpasung sejak menikahi Areta. Terlebih ketika ia memiliki anak. Segala sesuatu menjadi terbatas baginya. Apa pun yang ingin diraihnya menjadi susah. Termasuk ketika ia ingin nongkrong bersama teman-temannya.

"Angga, bisa kamu tinggalkan says sendiri?" Henry bertanya namun sebetulnya mengusir Angga secara halus.

"Oh, bisa Pak, bisa. Maaf sudah mengganggu Pak Henry. Kalau begitu saya permisi dulu Pak." Angga pun beranjak, berjalan menuju pintu. Namun baru saja tangannya memegang handel pintu, Henry berseru kepadanya. Angga pun menoleh ke belakang.

"Terimakasih sekali lagi untuk kopinya Angga. Oh ya, sampaikan salam saya kepada istri kamu."

*

Terpopuler

Comments

🇵🇸Kᵝ⃟ᴸsalahorang

🇵🇸Kᵝ⃟ᴸsalahorang

angga... angga... tidak mensyukuri apa yang kamu punya

2024-02-09

0

Dewi

Dewi

semangat berkarya ya kak ❤️

2023-03-17

1

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

Joss 👍

2023-02-08

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!