Bab. 3
Kenjiro Hiroshi, seorang klien dari Jepang terpukau oleh kepiawaian Henry dalam mempresentasikan produk-produk Dreams Food. Kesantunan Henry dalam bertutur dan bersikap menjadi salah satu nilai tambah bagi pria berusia 32 tahun tersebut. Selain paras yang rupawan serta postur yang menunjang daya pikatnya.
Dreams Food berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan yang bergerak di industri yang sama di Jepang. Produk-produk Dreams Food tak hanya di ekspor ke Jepang, tetapi sebagian akan di produksi langsung di Jepang dan akan di pasarkan di banyak pusat perbelanjaan di Jepang.
Hal ini merupakan keberhasilan Dreams Food dibawah pimpinan Henry Adiswara. Sebelumnya kepemimpinan berada di tangan ibunya setelah ayahnya meninggal. Sedangkan Henry sendiri masih bekerja di kantor cabang, memulai karirnya dari awal hingga akhirnya ia siap memimpin kantor pusat.
Meeting penting dengan Kenjiro Hiroshi berlangsung satu jam lamanya. Usai meeting mendadak Henry memiliki urusan penting lain di luar kantor. Fabian menawarkan diri menyupiri Henry, namun Henry menolak. Sebab Henry lebih suka menyetir sendiri.
Fortuner hitam yang dikendarai Henry terlihat memasuki pelataran parkir rumah sakit Sinar Harapan. Tak bergegas turun, Henry malah berdiam diri di dalam mobil itu sembari mengamati keadaan di luar. Sepasang netranya senantiasa mengawasi pintu masuk rumah sakit tersebut.
"Areta ..." gumam Henry lirih dengan senyum tipis mengukir di bibirnya. Dengan pandangan fokus pada pintu masuk.
...
Rosalina Adinata, gadis kecil berusia lima tahun yang sering disapa Rosa itu sudah siuman tiga puluh menit yang lalu. Duduk di bangku kecil di sisi ranjang, Areta tengah menyuapi sang putri dengan potongan apel.
Kata dokter, Rosa mengalami sesak napas. Sebuah kondisi yang kerap terjadi pada penderita kelainan jantung seperti Rosa. Hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak bisa dianggap remeh. Karena jika tidak cepat tertangani bisa berakibat fatal bagi si penderita.
"Rosa makan yang banyak ya sayang, biar cepat sembuh." Kalimat itu sudah terlalu sering didengar Rosa keluar dari mulut Areta, ibunya.
Dengan lesu Rosa membuka mulutnya, menerima potongan apel yang disuapi Areta.
"Papa di mana, Ma?" Lirih Rosa bertanya, menatap lesu Areta.
"Papa kamu kerja sayang. Papa kan harus cari uang yang banyak buat Rosa. Biar papa bisa ngajak Rosa jalan-jalan Disney Land, seperti yang Rosa inginkan." Cepat Wirda menyahuti pertanyaan cucunya. Sembari menghampiri, berdiri di sisi ranjang.
"Tapi Rosa maunya papa ada di sini temenin Rosa," kata Rosa pelan dengan mimik wajah merajuk cemberut.
"Kan di sini ada Oma sayang. Oma akan temani Rosa sampai kapan pun. Rosa sebaiknya jangan ganggu papa. Papa sedang sibuk cari uang yang banyak untuk biaya pengobatan Rosa. Biar Rosa cepat sembuh, biar Rosa bisa main lagi sama Oma, yah?"
Rosa tidak membalas lagi ucapan Wirda. Kini gadis kecil itu menekuk wajah. Setiap kali ia masuk ke rumah sakit, Angga jarang sekali menjenguknya. Angga lebih menyibukkan diri pada pekerjaannya, dengan dalih mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan Rosa.
Angga akan datang menjenguk Rosa hanya jika sempat saja.
"Ibu kenapa bicara seperti itu? Rosa itu masih kecil, Bu. Anak seusia Rosa belum bisa memahami seperti apa kesibukan orangtuanya." Areta melayangkan protes, tak terima Wirda membebani pikiran seorang anak kecil seperti Rosa. Apalagi Rosa sedang sakit.
"Tidak apa-apa, Areta. Kadang anak kecil juga harus dikasih tahu. Agar mereka mengerti seperti apa orangtuanya bekerja keras banting tulang untuk menafkahi keluarganya." Wirda pun terkadang tak terima diprotes dan diremehkan oleh menantunya. Sebagai orangtua Wirda merasa sudah paling benar dalam hal berpendapat. Apalagi dalam soal rumah tangga.
"Tapi cara Ibu itu salah. Ibu tahu kan Rosa usianya baru lima tahun."
"Iya, Ibu tahu. Tapi Rosa ini anak yang pintar. Dia pasti bisa mengerti kalau kita sering memberitahu dia."
"Tapi bukan seperti itu caranya, Bu. Ibu su_"
"Aaah ... Sudahlah, Areta. Ibu tidak mau berdebat. Sekarang cepat kamu suapi Rosa. Bukankah kamu juga harus segera kembali ke salon? Kamu itu seharusnya mendukung Angga biar dia cepat mendapatkan promosi. Yah, minimal jadi manajer. Biar gajinya juga naik. Dan Rosa bisa secepatnya mendapatkan perawatan terbaik. Apa kamu tidak kasihan melihat anak kamu hanya menempati kamar kelas seperti ini? Sekali-sekali dia juga harus di rawat di kamar VIP." Wirda menyela ucapan Areta. Karena tak ingin kalah beradu argumen dengan sang menantu.
Areta pun hanya bisa meniupkan napasnya panjang. Tak ada kata lagi yang bisa ia layangkan sebagai protes. Ia tahu, memiliki mertua seperti Wirda yang terkadang bawel ini, ia harus menyiapkan mental sekeras baja. Sebab Wirda tidak pernah kehilangan alasan untuk beradu pendapat dengannya.
Namun meski begitu, Wirda adalah seorang mertua yang baik dan perhatian. Tetapi terkadang caranya dalam memberikan perhatian seringkali berada pada konsep yang berbeda.
...
Berdebar menunggu, Henry tampak gelisah. Pandangannya tak beralih dari pintu utama rumah sakit Sinar Harapan. Berharap yang ia tunggu-tunggu menampakkan wujudnya dari sana.
Entah hal apa yang membuat Henry mendatangi rumah sakit ini. Dorongan hatinya begitu kuat. Sepasang netranya ingin sekali melihat wajah itu lagi. Wajah wanita dambaannya.
Harapannya pun terwujud, seorang wanita cantik dalam balutan dress sederhana terlihat keluar dari pintu utama. Berjalan menghampiri mobilnya, lalu bergegas naik.
"Areta?" Henry tersenyum begitu Areta mendaratkan pantat di kursi samping kemudi.
Areta pun tersenyum sembari menyelipkan sebagian rambutnya yang tergerai ke telinga.
Senyuman Areta begitu manis, mampu menggetarkan kalbu. Henry pun terpesona. Lama tak bersua, Areta kini terlihat lebih menawan dan mempesona di usianya yang matang. Membuat kekaguman Henry bertambah berkali-kali lipat.
Semenjak dahulu, sejak masa putih abu-abu, Henry sudah mengagumi Areta dalam diam. Henry tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan perasaannya kepada Areta kala itu. Sebab Areta termasuk salah satu bunga sekolah yang dikagumi dan didekati oleh banyak kumbang. Bersaing dengan teman-temannya yang lain, Henry merasa tidak percaya diri. Sehingga Henry memilih mengagumi Areta diam-diam. Bagi Henry, bisa melihat Areta saja sudah lebih dari cukup memberikan ketenangan di jiwanya. Sudah cukup mengobati hatinya yang dilanda kasmaran.
Sampai suatu ketika, Henry harus pindah sekolah ke luar negeri. Mengikuti ayahnya yang saat itu sedang merintis karirnya di sebuah perusahaan swasta. Areta berbeda kelas dengannya, sehingga ia tidak bisa berpamitan dengan wanita yang dikaguminya itu.
Percuma juga jika Henry berpamitan, sebab mungkin Areta tidak mengenalnya. Di sekolah, Henry termasuk siswa yang pendiam. Sehingga keberadaanya di sekolah itu sering terabaikan. Dengan kata lain, kurang populer.
Namun kini, dipertemukan kembali pada keadaan yang berbeda dan di usia yang sama-sama dewasa adalah suatu keberkahan tersendiri bagi Henry. Dunianya kembali berwarna dengan hadirnya Areta.
"Areta, aku ... aku ..." Henry mengatur deru napasnya yang mulai tak beraturan. Gugup menderanya seketika. Ia tak menyangka berada dalam jarak yang dekat dengan Areta seperti ini serasa membuat nyalinya menciut. Sama seperti dahulu.
Dilihatnya Areta tersenyum menatapnya. Dengan mengumpulkan keberanian, Henry mengulurkan tangan perlahan hendak menyentuh wajah Areta. Bersamaan dengan wajahnya yang perlahan mulai mengikis jarak.
Sedikit demi sedikit jarak itu semakin terkikis. Menurunkan pandangan dari sepasang mata teduh Areta, tatapan sayu Henry kini terfokus pada bibir merah merekah Areta yang sedari tadi menggodanya.
Jarak yang terkikis perlahan-lahan itu pun kini tak bersisa. Dengan lembutnya bibir Henry memagut mesra bibir Areta. Henry memejamkan matanya, menikmati sentuhan lembutnya, meresapi rasa yang merayu hati.
Betapa bahagianya Henry bisa meneguk manis bibir Areta setelah sekian lama mengagumi wanita itu. Henry semakin terbawa arus suasana yang ia ciptakan sendiri. Perasaan asing yang mulai menjalari aliran darah di sekujur tubuhnya, memaksa sesuatu yang tersembunyi di bawah sana bergejolak. Lalu mulai menuntut.
Henry semakin memperdalam ciumannya. Tak lupa jemarinya mulai nakal, menelusup masuk dari balik dress Areta. Jemari Henry mulai mengusap lembut paha mulus Areta, lalu ...
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ...
Suara getar ponsel disusul suara dering nyaring ponsel di atas dashboard mobil pun membangunkan Henry dari tidurnya.
"Oh, ****!" Henry mengumpat. Ia mengira yang terjadi beberapa saat lalu itu adalah kenyataan, namun ternyata hanyalah mimpi. Tetapi mengapa mimpi itu serasa nyata?
Henry pun tertawa kecil sembari menggeleng. Lalu hatinya bergumam,
"Andai mimpi itu menjadi kenyataan."
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
🇵🇸Kᵝ⃟ᴸsalahorang
kirain iya, sempat heran, kok bisa areta langsung mau hahaha
2024-02-09
0
Dewi
di lanjut kak ❤️
2023-03-17
1
Elisabeth Ratna Susanti
semangat selalu 😍
2023-02-07
1