Bab. 5
Areta telah selesai membersihkan diri. Menyibak selimut, Areta hendak naik ke tempat tidur saat terdengar suara bel pintu.
Bergegas Areta melangkah keluar kamar, menuju ruang tamu. Membuka pintu utama rumah, Angga telah berdiri di depan pintu itu dengan wajah lelahnya.
"Lama amat sih?" omel Angga begitu melangkah masuk sembari melonggarkan simpul dasi.
"Dari kamar kita ke ruang tamu ini kan ada jaraknya, Ga. Mana mungkin begitu kamu menekan bel pintu trus aku sudah berdiri di depan pintu. Memangnya aku ini bisa teleportasi?" balas Areta tak terima diomeli. Angga jika sudah kelelahan memang seperti itu. Terkadang suka mengomel tak jelas.
Menyusul langkah Angga, Areta meraih tas kerja Angga. Membawanya serta ke kamar, lalu menaruhnya di kursi kecil di sudut kamar.
Mendudukkan diri di tepian tempat tidur, Angga melepas dasi, sepatu dan kemejanya. Menaruhnya berserakan di atas lantai. Areta menghampiri lalu memungutinya. Menaruhnya di keranjang bergabung bersama pakaian kotor lainnya. Sedangkan sepatu ia letakkan di samping meja rias, dekat pintu kamar.
"Rosa menanyakan kamu terus, Ga," kata Areta mengambil duduk di samping Angga yang tengah memijat-mijat tengkuk sembari memutar kepalanya untuk merenggangkan otot-otot lehernya yang menegang. Tidak ada niatan Angga untuk bekerja lembur. Namun demi meraih perhatian atasan, terpaksa ia melakukannya.
"Gimana keadaan Rosa sekarang? Apa kata dokter? Apa dia sudah boleh pulang?" cecar Angga bertanya.
"Lusa dia diperbolehkan pulang. Tapi rawat jalannya harus tetap rutin di lakukan." Raut wajah Areta berubah cemas seketika mengingat kondisi putrinya yang belum juga mengalami perubahan yang signifikan. Malahan kian memburuk dari hari ke hari.
"Kenapa?" Angga bertanya ketika melihat raut wajah muram Areta. Tak ingin menutup matanya, Angga tahu apa yang tengah dicemaskan Areta saat ini.
"Tidak usah terlalu cemas seperti itu. Kamu tenang saja. Aku akan bekerja keras untuk mengumpulkan uang, agar kita bisa memberikan pengobatan yang terbaik bagi Rosa. Tadi aku lembur di kantor. Maaf aku tidak sempat menjenguk Rosa. Kamu mengerti kan?" Walau pun dalam tutur katanya Angga terdengar bertanggung jawab, tetapi tetap saja Areta membutuhkan perhatian dan kepedulian Angga yang lebih daripada ini. Rosa terkadang membutuhkan kehadiran fisik ayahnya, tak cuma topangan materi semata. Rosa membutuhkan ayahnya di sampingnya dalam keadaan apa pun. Paling tidak kehadiran ayahnya adakah sebagai penyemangatnya.
Areta tidak bisa memberikan sanggahan apa pun. Hanya bisa mengiyakan, mengangguk patuh. Setidaknya, Angga masih peduli dan bertanggung jawab dalam hal biaya. Yah, walaupun terkadang masih belum mencukupi.
"Oh ya, besok tolong kamu buatkan aku bekal lebih. Yang spesial, yah?" pinta Angga tiba-tiba.
"Kok tumben? Bukannya belakangan ini kamu jarang lagi bawa bekal ke kantor?" Areta memicing, menelisik ekspresi wajah Angga atas reaksi akan ucapannya. Bukannya Areta mulai curiga, hanya saja hal ini serasa janggal baginya.
Sejak minggu lalu Angga menolak membawa bekal ke kantor dengan alasan malu dengan rekan-rekannya. Mungkin hanya Angga diantara rekan-rekannya yang membawa bekal. Sesangkan rekannya kebanyakan memilih makan di kantin atau kafe terdekat dengan kantor. Sehingga hal itu sedikit membuat Angga malu. Untuk itulah mengapa Areta merasa aneh tiba-tiba Angga meminta disiapkan bekal.
"Sudah, tidak usah banyak tanya. Pokoknya besok kamu siapkan saja bekal yang spesial. Ya sudah, aku ke kamar mandi dulu mau membersihkan diri. Badanku rasanya lengket semua." Bangun dari duduknya, Angga bergegas ke kamar mandi.
Areta pun hanya bisa mendesahkan napasnya pelan. Lagi-lagi ia hanya bisa mengiyakan. Patuh dengan permintaan suami.
...
Sementara di sudut lain kota, di waktu yang sama.
Pulang ke rumah di jam sembilan malam, Henry hanya disambut oleh si Bibi, wanita paruh baya yang telah bekerja membantu keluarganya bertahun-tahun lamanya. Namanya Bi Ijah.
Bi Ijah tergopoh-gopoh menghampiri. Meraih tas kerja Henry, lalu mengekor di belakangnya. Menanyakan keperluan-keperluan Henry yang harus ia siapkan.
"Aden mau Bibi siapkan apa untuk makan malam?" Bi Ijah bertanya.
"Tidak usah, Bi. Aku sudah makan di luar. Oh ya, Mama sudah pulang?"
"Belum, Den."
"Ya sudah. Aku ke kamar dulu, Bi."
"Baik, Den."
Menuju kamarnya di lantai dua, Henry menyeret langkahnya lesu. Bertahun-tahun seperti inilah gambaran kehidupan seorang Henry Adiswara. Tidak ada yang terlihat istimewa, semuanya biasa-biasa saja. Hanya sepi yang senantiasa menyambutnya.
Banyak teman, sahabat, bahkan saudara kerap menyarankan Henry untuk segera menikah. Namun pria tampan yang satu ini tak sekali pun menanggapinya. Henry lebih memilih menyibukkan diri dengan urusan pekerjaannya ketimbang dengan urusan asmara. Baginya persoalan asmara adalah yang kedua.
Bukannya Henry tidak memiliki ketertarikan kepada perempuan. Hanya saja perempuan yang ia idamkan telah terpisah darinya bertahun-tahun lamanya. Perempuan itu adalah cinta pertamanya.
Namun sayangnya, perempuan itu tidak mengetahuinya sama sekali. Sebab Henry mengagumi dan mencintai perempuan itu diam-diam.
Menyibukkan diri dalam pekerjaan, membuat Henry sedikit melupakan perempuan itu, Areta Karenina. Sekali pun Henry tak terpikirkan untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain. Sebab belum ada satu perempuan pun yang mampu memikat hatinya hingga detik ini.
Sampai tiba-tiba Henry bertemu kembali dengan Areta, perempuan yang dikaguminya. Perasaan itu hadir kembali, begitu saja menyirami hatinya yang gersang.
Mendudukkan diri di tepian tempat tidur, Henry melepas jas, menaruhnya asal di atas tempat tidurnya. Melepas dasi yang melingkar di lehernya, membuka dua kancing teratas, menyingsingkan kedua lengan kemeja sampai batas siku, Henry kemudian merebahkan tubuh letihnya di atas tempat tidur king size nya itu dengan berbantalkan kedua telapak tangannya.
Menatap langit-langit kamar, Henry tersenyum-senyum sendiri. Pada plafon kamar itu tiba-tiba muncul bayangan Areta yang sedang tersenyum manis. Henry menikmati bayangan itu, seolah bayangan itu tampak nyata di matanya. Hingga mulai melambungkan angannya jauh melayang ke awang-awang.
Andai.
Sekali lagi Henry berandai-andai.
Ya.
Andai Areta bisa menjadi miliknya.
Eh, tapi ... Apa kabar wanita itu? Lama tidak bertemu, apakah wanita itu masih sama seperti dirinya? Sama-sama masih sendiri?
Henry berharap seperti itu keadaan Areta.
Henry semakin dilambungkan angannya. Angan untuk bisa memiliki Areta seutuhnya, menjadi miliknya seorang. Namun tiba-tiba saja angannya buyar saat tiba-tiba terdengar suara derit pintu terbuka. Disusul suara renyah seseorang menyapa setengah meneriakinya.
"Ya ampuuun ... Anak Mama senyum-senyum sendiri udah kayak orang gila aja. Lagi kasmaran ya?" Agatha masuk tanpa mengetuk pintu dahulu, langsung menyembur Henry. Lantas mengambil dudu di tepian tempat tidur, di samping Henry yang telah bangun dari posisi terlentangnya.
"Kasmaran apaan sih." Wajah Henry merona merah. Sang mama ternyata bisa menebak perasaannya saat ini.
"Jadi beneran kamu lagi kasmaran? Padahal Mama cuma nebak loh tadi."
"Mama ini bisa aja." Henry memalingkan muka ketika Agatha hendak mengintip wajahnya.
"Eh, iya. Bener. Kamu lagi kasmaran sama siapa sih? Jadi kamu sudah punya pacar sekarang? Kenalin dong sama Mama. Biar Mama tidak perlu lagi menjodohkan kamu dengan anak teman Mama."
"Pacar? Pacar dari mana? Mama ngaco ini. Aku mana punya pacar, Mah. Mama kan tahu sendiri, aku tuh super sibuk. Jadi mana ada waktu buat pacaran." Henry malah mencerocos, setengah mengomeli Agatha.
"Yaaah ..." Agatha terlihat kecewa.
"Mama pikir kamu sudah punya pacar. Habisnya Mama lihat kamu senyum-senyum sendiri gitu kayak orang lagi kasmaran. Ya wajar lah kalau Mama mengira kamu itu sudah punya pacar. Jangan kelamaan jomblo dong Henry. Dan jangan mematok kriteria yang terlalu tinggi untuk jadi pacar kamu. Apalagi untuk jadi istri kamu. Yang penting dia mencintai kamu tulus dan apa adanya. Kalau kamu terlalu pemilih begini, bisa-bisa kamu malah susah lakunya."
"Mama pikir aku ini barang apa? Lagian aku itu tidak mematok kriteria yang terlalu tinggi. Hanya saja, sampai detik ini belum ada satu perempuan pun yang bisa merebut hati aku."
"Memangnya kamu itu maunya perempuan yang seperti apa sih? Mama jadi penasaran deh. Perasaan selama ini kamu itu belum pernah memperkenalkan pacar kamu sama Mama. Memangnya kamu sukanya perempuan yang bagaimana?"
Henry malah tersenyum. Lalu dalam hatinya ia berbisik,
"Aku maunya Areta. Areta Karenina!"
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Dewi
lanjut baca
2023-03-22
1
Elisabeth Ratna Susanti
mampir lagi di karya keren ini 😍
2023-02-10
1