"Papa!"
Semua mata menoleh ke sumber suara dan mendapati Bara yang sudah berdiri tak jauh dari mereka. Melihat Aora mendapat tamparan dari papa mereka, Bara segera berjalan mendekai papanya itu dan berdiri tepat di depan Alora. Bara melindungi Alora dari kemarahan papanya yang mungkin akan semakin bertambah.
"Jangan ikut campur!" perintah papa kepada Bara. Mendengar itu bukannya mundur, Bara malah semakin merasa tertantang dengan ucapan papanya itu.
"Alora adik aku. Jadi aku berhak ngelindungi dia dari papa," ucap Bara dengan nada tinggi.
Tawa papa mereka terdengar mengisi keheningan rumah. Alora semakin takut ketika mendengar tawa papanya. Ia bahkann tidak berani menatap papanya. Alora hanya mendudukkann kepalanya dan memegang tangan Bara agar Bara dapat melindungi dirinya.
"Ngelindungi kamu bilang? Kamu gak tau apa yang udah adik kamu buat ini?! Gara-gara penolakan dia untuk menikah sama Reinal, perusahaan kita akann segera hancur! Hancur, Bara Hancur!" Teriak papa dengan nada yang sedikit frustasi.
Kedua mata Alora seketika melebar mendengar itu. Ia sama sekali tidak mempercayai apa yang papanya bilang. Tetapi ketika ia melihat mamanya yang hanya bisa diam sambil menundukkan kepala, Alora semakin yakin jika apa yang papanya bilang benar adanya.
"Pa.. semuanya bisa kita bicarain baik-baik. Lagian perusahaan aku juga masih baik-baik aja, aka aku pastikan perusahaan keluarga tidak akan hancur. Papa tenang aja." Bara mencoba untuk menenangkan papanya ini.
Papa mereka duduk kembali di sofa sembari memegang kepalanya yang terasa berat. Melihat itu, Alora segera berjalan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Ia segera mengunci pintu kamarnya dari dalam agar tidak ada yang bisa masuk ke dalam kamarnya ini.
Napas Alora masih memburu dikarenakan ia sedikit berlari ketika menuju kamarnya ini. Air mata Alora juga mulai membasahi pipinya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Perusahaan keluarganya hancur dikarenakan ia menolak perjodohan sialan itu.
Apa yang Reinal ucapkan tadi benar-benar dia lakukan. Ancaman yang menurut Bara hanya ancaman biasa benar-benar terjadi. Hanya beberapa jam yang lalu ia mendengar ancaman itu dan sekarang hal itu terjadi.
Alora perlahan berjalan menuju kasurnya. Ia menelentangkan badanya di atas kasur sembari menangis memikirkan apa yang akan terjadi nantinya.
Ketukkan pintu kamar Alora mulai terdengar. Alora hanya diam dan tidak merespon siapapun yang mengetuk pintu kamarnya. Untuk malam ini, ia tidak ingin berbicara dengan siapapun. Alora mulai menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Perlahan suara ketukkan pintu mulai tidak ia dengar.
***
Kedua mata Indah Alora mulai terbuka dikarenakann cahaya matahari yang masuk ke cela kamarnya. Tubuh Alora sangat malas untuk bangun dari tempat tidurnya ini. Tetapi mau tidak mau ia tetap harus bangkit dari tidurnya. Alora menatap dirinya di depan cermin. Ia tersenyum miris melihat penampilannya saat ini.
Setelan baju yang dari semalam belum ia ganti, rambut panjangnya yang sangat berantakkan serta kedua matanya yang bengkak dikarenakan ia menangis semalaman. Alora mencoba untuk sedikit merapikan rambutnya dengan jari-jari lentikknya tetapi hal itu sama sekali tidak membantu. Alhasil ia pun mengambil sisir miliknya dan mulai menyisir rambutnya perlahan.
Setelah selesai menyisir rambut, Alora mulai berjalan menuju ruang makan. Ia yakin kedua orang tuanya sudahh berangkat bekerja dan tentu saja ruanng makan akan sepi dari kehadiran mereka.
Alora duduk di kursi meja makan. Ia dapat melihat piring mama dan papanya yang masih tergeletak di atas meja makan. Alora mulai mengambil beberapa makanan yang akan ia makan. Baru beberapa suap ia makan, Alora menghentikan kunyahan di mulutnya ketika melihat Bara yang sudah berdiri tak jauh di depannya.
Bara mulai berjalan mendekati Alora. Setelah baju Bara sudah berantakkan. Kemeja yang sedikit kusut dan rambutnya yang sudah sangat berantakan. Alora yang melihat itu seketika merasakan sesuatu yang buruk. Detakkan jantung Alora berdedatak memburu.
Bruk.
Alora terkejut ketika melihat Bara yang tiba-tiba berlutut di hadapannya. Bara menatap wajah Alora dengan tatapan frustasi sekaligus tatapan sedihnya.
"Bar.. lo kenapa?" tanya Alora kepada Bara. Alora memegang tangan Bara yang memegang lututnya.
"Please.. bantuin gue, Lora. Perusahaan gue.. perusahaan gue berantakkan gara-gara Reinal. Bantuin gue.."
Alora terdiam mendengar perkataan Bara. Ia tidak dapat berkata apa-apa ketika mendengar jika perusahaan Bara berantakkan.
"Perusahaan yang gue bangun dari awal... perusahaan itu gak boleh hancur seperti ini, Lora." Air mata Bara mulai menetes. Alora semakin hancur melihat Bara yang meneteskan air matanya. Ini kali kedua ia melihat Bara menangis. Kali pertama ia melihat Bara menangis ketika ia ditinggal nikah oleh pacaranya dan sekarang Bara kembali menangis karena ulahnya.
Alora tidak bisa melihat Bara menangis seperti ini. Apalagi sambil berlutut di depannya. Perasaan Alora semakin campur aduk sekarang. Ia benar-benar tidak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut. Alora bangkit dari duduknya dan berusaha untuk menahan air matanya.
"Berdiri, Bar!" perintah Alora. Perlahan Bara mulai bangkit dan berdiri berhadapan dengan Alora. Bara memegang kedua tangan Alora dan kembali memohon agar Alora dapat membantunya.
Alora melepaskan tangan Bara dan meraih pipi Bara. Ia menghapus air mata Bara yang masih berada di pipinya. Alora memberikan senyuman tipis kepada Bara.
"Lo tenang aja.. semua ini terjadi karena gue dan gue akan menyelesaikan semuanya. Sekarang lebih baik lo istirahat aja di kamar. Gue yang akan ngurus semuanya," tutur Alora. Alora memeluk tubuh Bara hangat. Ia mengelus punggung Bara agar Bara dapat tenang biarpun hanya sesaat.
Beberapa detik kemudian, Alora melepaskan pelukannya dari Bara. Bara mulai berjalan menjauh dari Alora menuju kamarnya. Sepeninggalan Bara, Alora tidak melanjutka makannya kembali. Selera makannya sudah menghilang dikarenakan berita yang Bara sampaikan. Alora segera bergegas menuju kamarnya.
***
Mobil yang Alora naiki berhenti di sebuah gedung perusahaan yang cukup besar. Ia pun keluar dari mobil tersebut dan berjalan memasuki. Alora tersenyum ketika melihat seorang karyawan yang menyapa dirinya. Aloa berhenti tepat di depan meja pegawai tersebut.
"Ada yang bisa saya bantu, mbak?" tanya karyawan tersebut dengan ramah.
"Saya mau bertemu dengan bapak Reinal Abara," jawab Alora dengan senyuman tipisnya. Karyawan tersebut sedikit terkejut mendengar tujuan kedatangan Alora.
"Sudah memiliki janji dengan pak Reinal?" Tanyanya lebih lanjut. Alora memjamkan matanya sesaat mendengar pertanyaan itu. Pasalnya Alora lupa bahwa ia harusnya memiliki janji temu terlebih dahulu dengan Reinal.
"Belum."
"Mohon maaf, mbak. Jika tidak memiliki janji bertemu, mb--" Alora langsung memotonng ucapan karyawan yang ada di depannya ini.
"Bisa tolong telfon ke ruangan pak Reinal kalau saya mau bertemu? Masalah penting soalnya,"
Karyawan ini berpikir sesaat sebelum memberikan jawabannya. Satu menit kemudia ia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Sebentar ya, mbak." Alora menghela napas lega mendengar itu. Ia menunggu dengan sedikit gusar.
"Dengan mbak siapa?" tanya keryawan tersebut.
"Alora.. Alora Dwana," jawab Alora. Karyawan tersebut mulai menghubungi seseorang dengan telfon kabel. Tak lama kemudian, ia mematikan panggilan tersebut dan kembali menatap Alora dengan senyuman ramahnya.
"Mbak bisa langsung naik ke lantai 29 ya. Pak Reinal sudah menunggu," jawab karyawan tersebut.
"Terimakasih." Setelah mengatakan itu, Alora berjalan menuju lift.
Perasaannya semakin tak karuan. Ia senang karena akan bertemu dengan Reinal dan meluruskan permalasahan antara mereka. Tetapi Alora juga takut untuk bertemu dengan pria itu. Ia takut Reinal tidak akan mau mengembalikan semuanya seperti semula. Alora yakin Reinal tidak akan pernah melupakan penolakan yang ia berikan kemarin. Peluang Alora untuk mengembalikkan kondisi perusahaan Bara dan keluarganya seperti semula sepertinya sangat kecil.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments