Alora hanya diam menunggu seseorang yang akan ia temui. Lemon tea yang ada di depannya belum ia sentuh sama sekali. Sudah sepuluh menit ia menunggu kedatangan pria yang akan dijodohkan untuknya.
Ingin sekali Alora kabur dari cafe ini. Tetapi kedua bodyguard papanya dengan setia menatap dirinya dari luar cafe.
Agar tidak bosan menunggu, Alora pun mengeluarkan handphone miliknya untuk mengirim pesan kepada Dimas. Alora sangat yakin Dimas sudah menunggu dirinya di tempat yang mereka janjikan.
Belum sempat Alora mengirim pesan, seseorang menegur dirinya. "Alora?"
Alora menoleh ke sumber suara dan menganggukkan kepalanya. Pria itu tersenyum dan duduk di bangku yang ada di depan Alora.
Untuk sesaat Alora kagum dengan penampilan pria ini. Pria ini sangat tampan. Alora tidak munafik soal hal ini. Bahkan Dimas kalah tampannya dari pria yang ada di hadapannya ini. Hidung mancung, tinggi, kulit putihnya serta bola matanya yang berwarna coklat itu semakin membuat Alora terpikat dengan penampilannya.
Alora segera menyadarkan dirinya. Ia menggelengkan kepalanya dan mencoba untuk fokus dengan tujuannya datang ke sini.
"Reinal Abara," ucap pria yang ada di depan Alora sambil menjulurkan tangannya.
"Alora Dwana," sahut Alora tanpa membalas uluran tangan Reinal. Reinal hanya tersenyum dan menurunkan uluran tangannya itu.
"Sorry udah buat kamu menunggu. Tadi ada klien saya yang harus ditemui terlebih dahulu."
"Gak masalah. Emang... type pria kayak kamu itu suka gak tepat waktu. Saya sudah menghabiskan waktu berharga saya selama sepuluh menit untuk menunggu. Padahal saya masih harus bertemu denga seseorang yang penting!" ucap Alora dengan penekanan di setiap kaliamatnya.
Alora sengaja berkata dengan kasar agar Reinal tidak menyukai dirinya. Pria berkelas seperti Reinal pasti menyukai wanita yang lemah lembut.
"Saya tau.. kamu setelah ini akan bertemu dengan pacar kamu kan? siapa namanya? Dimas kan?"
Ekspresi wajah Alora seketika berubah. Ia melebarkan kedua matanya mendengar pertanyaan Reinal. Bagaimana bisa Reinal tau jika ia akan betemu dengan Dimas.
Reinal tersenyum melihat wajah terkejut Alora. "Saya sudah mencari tau semua tentang kamu setelah saya tau kalau kamu dijodohkan sama saya," sambung Reinal menjawab kebingungan Alora.
"Saya gak tau sudah sebanyak apa kamu mencari tau tentang saya. Saat ini saya hanya mau menyampaikan bahwa saya menolak perjodohan ini. Saya tidak akan pernah menikah dengan kamu," ucap Alora to the point. Ia tidak mau berbasa-basi dengan Reinal.
"Waw... ini kali pertama saya mendapatkan ponalakan secara langsung. Saya bahkan belum memperkenalkan diri saya kepada kamu, Alora. Mungkin saja kamu akan berubah pikiran setelah mendengar tentang saya."
"Tidak. Saya tidak akan berubah pikiran sama sekali."
Alora berdiri dari duduknya. "Saya harap kamu bisa bilang ke orang tua kamu kalau saya menolak perjodohan ini," sambung Alora.
Reinal masih dengan duduk santai dan senyuman tipisnya menatap ke arah Alora. Alora seketika merinding melihat tatapan yang Reinal berikan. Ia memang tersenyum kepada Alora tetapi tatapan yang Reinal berikan sangat tajam.
"Saya harap kamu juga harus bersiap-siap dengan apa yang akan kamu dengar nantinya. Penolakan kamu ini, akan membuat orang yang kamu sayangi hancur satu persatu."
Alora seketika tertawa mendengar ancaman yang Reinal berikan kepadanya.
"Saya tidak takut dengan ancaman muruhan kamu. Permisi!" Setelah mengatakan itu, Alora berjalan pergi meninggalkan Reinal.
Alora segera masuk ke dalam mobil miliknya. "Antar saya ke kantor Bara!" perintah Alora kepada kedua bodyguard. Tanpa menjawab, mobil berjalan pergi meninggalkan Cafe dan Reinal yang masih setiap menatap ke arah Alora.
***
"Iya sayang... sorry. Atau kamu mau nyusul aku ke kantor Bara aja?"
Alora berjalan menuju ruangan Bara sambil menghubungi Dimas. Ia terpaksa untuk membatalkan pertemuannya dengan Dimas karena Alora ingin bertemu dengan Bara langsung. Ia ingin menceritakan mengenai ancaman yang Reinal ucapkan tadi.
"Atau kita ketemuannya malam aja? Kita sekalian dinner. Maaf ya sekali lagi," sambung Alora lagi. Ia sebenarnya tidak tega kepada Dimas tapi apa mau buat.
Setelah mendengar persetujuan dari Dimas, Alora segera memutuskan panggilan mereka. Ia sesekali tersenyum ketika beberapa pegawai menyapa dirinya.
Alora menekan tombol Lift menuju lantai sepuluh. Lantai dimana ruangan Bara berada. Alora menatap keluar Lift yang mana langsung menuju ke arah jalan raya. Ia memikirkan tentang dirinya. Alora sangat bangga dengan Bara yang berhasil mendirikan perusahannya sendiri. Ia langsung menolak tawaran papa mereka ketika ditawari untuk melanjutkan bisnis keluarga.
Alasan yang diberikan oleh Bara cukup membuat Alora kembali memikirkannya sekarang. Bara tidak mau papa mengatur dirinya nantinya.
Sekarang Alora mengerti mengapa Bara memilih hal ini. Kalau saja ia tau akan seperti ini jadinya, mungkin Alora akan berusaha lebih keras untuk membangun bisnisnya sendiri. Tapi apa daya, Alora sama sekali tidak ada minat di bidang bisnis dan perkantoran. Ia malah suka melukis. Alora tidak tau dari mana bakatnya ini berasal.
Pintu Lift terbuka di lantai sepuluh dan seketika Alora keluar dari lift. Ia berjalan menuju ruangan Bara. Alora mengernyitkan dahinya ketika tidak melihat sekretaris Bara di mejanya. Biasanya sekretaris Bara akan dengan sibuk mengatur jadwal Bara di deoam ruangan Bara. Tapi kali ini tidak ada, padahal ini masih belum jam istirahat.
Alora mencoba untuk tidak menggubrisnya. Ia berjalan mendekati pintu ruangan Bara dan membuka dengan pelan pintu tersebut.
Baru beberapa senti pintu terbuka, mata Alora seketika melebar melihat apa yang dilakukan oleh Bara dan sekretarisnya itu.
Bara yang sedang bercumbu dengan sekretasnya membuat Alora tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Suara ******* yang terdengar ketika Alora membuka pintu membuatnya jijik mendengar suara tersebut.
Dengan pelan Alora kembali menutup pintu tersebut. Ia menghela napas panjang dan duduk di kursi sekretaris Bara. Menunggu Aktrasi kedua insan yang sedang bercumbu di dalam selesai.
Alora tidak mungkin menggangu mereka, ia tidak mau membuat sekretaris tersebut malu terhadap dirinya. Beberapa detik kemudian Alora tersenyum. pantas saja selama ini Bara selalu malam pulang ke rumah. Ia jadi penasaran sejak kapan Bara menjalin kasih dengan sekretasnya sendiri.
Tiga puluh menit Alora menunggu dan akhirnya membuahkan hasil. Pintu ruangan Bara terbuka dan menampakkan sekretaris Bara yang keluar dengan penampilan yang sudah rapih. Hanya lipstiknya saja yang sudah tidak terlihat di bibirnya.
Alora tersenyum manis melihat keterkejutan sekretaris Bara. "M.. Mbak Alora."
Alora bangkit dari duduknya dan mendekati sekretaris tersebut. "Jangan lupa pakai lipstik lagi ya. Udah hilang soalnya lipstik kamu," tutur Alora dan segera masuk ke dalam ruangan Bara.
"Hai! Gimana? udah segar?" Tanya Alora ketika ia sudah masuk ke dalam ruangan Bara dan melihat Bara yang sedang merapikan dasi miliknya. Bara yang melihat kehadiran Alora dan mendengar pertanyaan Alora hanya bisa tertawa. Ia menganggukkan kepalanya, tanda mengiyakan pertanyaan Alora.
"Gimana pertemuan Lo sama calon suami lo? lancar?" tanya balik Bara sambil berjalan mendekati Alora yang sudah duduk di sofa.
"Lancar... gue juga udah bilang apa yang lo ajarin kemarin," jawab Alora dengan senyumannya.
"Apa responnya?" tanya Bara lagi dengan antusias.
Alora terdiam sejenak. Ia memikirkan hal yang seperti ada yang tertinggal. "Ada apa?"
Alora melebarkan matanya ketika mengingat apa yang ia lupakan. "Astaga! Gue belum bayar minuman gue tadi!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments