Tamparan

Tawa lepas Bara mengisi keheningan ruangannya ini. Ia merasa sangat lucu melihat ekspresi wajah Alora yang lupa membayar minumannya.

"Aduh... udah lo tolak dia, eh malah Lo suruh dia bayar pesanan lo." Alora melemparkan tatapan mematikan kearah Bara.

"Jangan buat gue semakin kepikiran!" ketus Alora.

"Okey.. Sekarang cerita sama gue, gimana tanggapan dia tentang penolakan yang Lo kasih?" tanya Bara mengubah topik pembicaraan mereka.

Helaan napas Alora terdengar. Kali ini ia memasang wajah serius. Melihat perubahan ekspresi Alora, membuat Bara menegakkan badannya.

"Dia ngancem gue," ucap Alora dengan serius. Bara terlihat tidak terkejut mendengar perkataan Alora.

"Udah bisa gue tebak. Tapi Lo gak usah khawatir sama sekali. Ancamannya tidak akan pernah terjadi, percaya sama gue." Bara mencoba untuk menenangkan Alora. Alora sangat ingin mempercayai ucapan Bara, tetapi ia tetap saja memikirkan ancaman yang Reinal lontarkan.

"Tapi... gimana kalau dia benar-benar nge-"

"Alora." Ucapan Alora seketika dipotong oleh Bara. Ia menggelengkan kepalanya kepada Alora, menandakan bahwa Alora tidak perlu memikirkan apapun.

"Gue takut, Bara. Gak masalah kalau dia mau ngelakuin apa aja ke gue. Tapi gimana kalau dia ngelukain lo atau mama dan papa? Dari tatapan dia tadi buat gue semakin yakin kalau ucapannya enggak main-main. Dia seperti akan melakukan apa yang ia ucapkan," sahut Alora.

"Keluarga Abara memang sangat berpengaruh di dunia bisnis. Dibandingkan keluarga kita, tidak ada apa-apanya dari mereka. Tapi gue yakin, Reinal Abara tidak mungkin mau menjatuhkan bisnis orang lain hanya karena masalah sepele seperti ini. Dia enggak akan ada waktu untuk ngurusin semua hal seperti ini. Percaya sama gue," jawab Bara dengan santai. Menurut Bara, Reinal tidak  akan terganggu hanya karena Alora. Pasalnya, Alora terlihat bukan salah satu wanita yang biasanya Reinal kencani. Bara sangat tau seperti apa wanita-wanita yang sering Reinal kencani dan bahkan ia ajak tidur bersama.

Alora sama sekali tidak sesuai dengan tipe wanita yang Reinal sukai. Bukann berarti Alora tidak cantik, hanya saja penampilan Alora yang polos tidak akan membuat Reinal merasa tertarik.

"Oke.. Gue akan percaya sama lo. Lagian perusahaan keluarga kita tidak mungkin hancur hanya karena keluarga Abara. Gue cabut kalau gitu," putus Alora. Ia bangkit dari duduknya dan merapikan bajunya yang sedikit berantakkan.

"Udah gitu aja? Lo cuman mau ngomongin masalah gak penting ini sama gue?" Anggukkan dari Alora membuat Bara menggelengkan kepalanya. Tidak percaya dengan apa yang Alora perbuat.

"Lo udah buang waktu gue, Alora."

Alora terwa sinis  mendengar penuturan Bara. "Waktu yang mana sekarang? Waktu bercinta lo sama sekretaris lo itu?" tanya Alora dengan wajah mengejek.

"Sialan lo!"

Tawa Alora semain lepas mendengar umpatan yang Bara lontarkan untuk dirinya. Bukannya kesal, Alora malah menikmati umpatan tersebut.

"Udahlah gue cabut, pacar gue udah nungguin di bawah. Bye... Bara." Alora berjalan pergi meninggalkan ruangan Bara untuk menghampiri Dimas.

***

Semilir udara Pantai membuat Alora menyenderkan kepalanya kebahu Dimas. Ia tidak akan pernah bosan menikmati waktu bersama dengan Dimas, walaupun hal sederhana seperti ini.

Kesibukan Dimas dan Alora membuat mereka sangat jarang ketemu. Tetapi hal itu sama sekali bukan suatu masalah.

Dimas mengecup kening Alora yang bersandar di bahunya. Ia mencoba untuk memilih kata yang akan keluar dari mulutnya mengenai pertanyaan yang sering berseliweran di kepalanya.

"Jadi kapan keluarga aku bisa ketemu sama keluarga kamu?" tanya Dimas. Ia sudah sering bertanya kepada Alora mengenai hal ini. Tetapi selalu saja Alora mengalihkan pembicaraan mengenai masalah ini.

"Kenapa sih, kamu kebelet nikah banget sama aku ya?" tanya balik Alora.

Sebenarnya Alora sangat senang mendengar pertanyaan itu dari Dimas. Tandanya Dimas serius dengan hubungan mereka. Tetapi Alora masih belum bisa menjawab pertanyaan Dimas itu. Ia masih harus meyakinkan kedua orang tuanya, terlebih lagi perihal perjodohannya masih belum selesai.

"Aku gak mau kita pacaran terus, Lora. Aku mau kamu jadi istri aku. Udah hampir lima tahun kita pacaran dan aku yakin kamu itu pilihan yang tepat untuk aku dan ibu dari anak-anak kita nantinya. Aku gak tau alasan kamu kenapa terus mengundur waktu yang baik ini. Atau ada pria lain?" Mendengar pertanyaan itu, Alora langsung menegakkan badannya. Ia menatap wajah Dimas dalam. Detik berikutnya Alora mengelus pipi Dimas dengan lembut sembari memberikan senyuman tipisnya.

"Enggak ada dan enggak akan pernah ada, Dimas. Dari dulu aku enggak pernah bisa berpaling dari kamu. Aku tau aku terus mengundur itikad baik kamu itu, tapi aku memang harus melakukan itu. Kamu tau sendiri bagaimana orang tua aku, terlebih lagi papa. Tapi kamu gak perlu khawatir, aku akan segera kasih tau kamu kapan waktu yang tepat untuk membicarakan itikad baik kamu itu."

Dimas berusaha untuk tersenyum kepada Alora. Ini adalah hal yang terus menghantui pikiran Dimas. Memiliki hubungan dengan wanita yang ekonominya lebih jauh dibanding dirinya akan terasa sulit. Dimas sudah lama memikirkan apakah hubungannya dengan Alora akan berjalan dengan lancar atau tidak. Sesuai dengan dugannya, hubungan mereka memang lancar tetapi tidak dengan keluarga Alora.

Mungkin Dimas masih harus menuggu lagi. Menunggu agar keluarga Alora merestui hubungan dirinya dan putri tunggal mereka.

***

Senyuman Alora masih belum bisa ia hentikan. Pertemuannya dengan Dimas tadi masih terus ia igat sampai sekarang. Alora mencoba untuk menghentikan pikirannya tentang Dimas untuk saat ini karena ia akan masuk ke dalam rumah dan tentu saja akan bertemu dengan mama dan papanya.

"Terimakasih pak," ucap Alora ketika supirnya membukakkan pintu mobil untuk dirinya. Alora pun keluar dari mobil dan berjalan memasuki rumah. Alora berusaha berjalan dengan sangat pelan agar suara langkah kakinya tidak terdengar oleh kedua orang tuanya. Tetapi sepertinya niatnya itu tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Alora!"

Panggilan keras itu membuat Alora seketika menoleh ke sumber suara. Ia dapat melihat mama dan papanya yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Melihat dari raut wajah papa, Alora sangat yakin ia akan segera mendapatkan masalah.

Alora pun berjalan mendekat ke arah papa dan mamanya. Papa Alora segera berdiri ketika Alora sudah berada di depannya.

PLAK.

Suara keras dari tamparan papa Alora terdengar di ruangan itu. Rasa sakit menjalar di pipi kiri Alora. Ia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi sekarang.

"Anak tidak tau diuntung!"

Perlahan air mata Alora membasahi kedua pipinya. Ia menoleh ke arah mamanya agar mamanya dapat membantunya  untuk meredahkan amarah papanya. Tetapi malah sebaliknya, mamanya terlihat sedang meredahkan amarahnya sendiri. Melihat suasana seperti ini, Alora yakin ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!