Edo berjalan keluar bersama Delon di ikuti Sekretaris Delon yang bernama Jodi.
"Apa perempuan tadi adikmu?" Tanya Delon pada Edo.
"Iya, yang dulu ikut kita belajar taekwondo."
"Jadi dia si gadis kecil yang nakal itu."
"Kamu masih ingat?"
"Tentu."
"Tidak terasa waktu cepat berlalu. Bahkan sekarang kita sudah semakin berumur saja."
"Waktu memang begitu cepat berlalu."
Edo dan Delon memang berteman di tempat pelajaran taekwondo dulu. Begitupun juga dengan Fedi dan Kal yang selalu ikut kedua saydaranya.
"Kami pergi dulu," ucap Delon.
"Ya, hati-hati. Kapan-kapan kita makan bareng, ya?"
"Iya."
Delon masuk mobilnya lalu pergi meninggalkan perusahaan keluarga Edo.
"Masih saja tidak banyak bicara," gumam Edo geleng kepala.
Saat sampai di lobi perusahaan, Edo melihat ayahnya yang menggendong Kal hendak keluar.
"Ayah, mau kemana? Kal, kenapa?" Edo mendekati ayahnya dan memeriksa apa yang terjaid dengan adiknya.
"Ayah, pulang duluan. Adik kamu tidur, jadi mau Ayah bawa pulang."
"Oh, ya sudah."
"Selesaikan sisa pekerjaan, ya?"
"Iya."
Ayah Indra masuk ke dalam mobilnya yang sudah berhenti di depan lobi.
Setelah mobil yang di kendarai ayahnya pergi, barulah Edo masuk ke perusahaan untuk menyelesiakan tugasnya.
Sedangkan di dalam mobil, gadis yang sejak tadi di pangku ayah Indra kini terbangun.
"Kita dimana, Yah?" Tanyanya sembari duduk tegak di samping ayahnya.
"Di mobil."
"Mau kemana?"
"Pulang."
Kal mengangguk lalu kembali memejamkan mata memeluk ayahnya.
"Nanti gendong aku lagi ya, Yah?"
"Iya."
Ayah Indra menepuk-nepuk pundak Kal, tapi gadis itu sudah tidak dapat tidur lagi.
"Ayah!" Panggilnya.
"Ada apa, Nak?"
"Perutku sedikit tidak enak, sedikit begah, tapi lebih ke tidak nyaman."
"Kenapa begitu? Kita kerumah sakit sekarang, ya?"
"Tidak, Ayah. Aku hanya ingin cepat pulang, mungkin nanti bisa sembuh sakitnya."
"Ya sudah. Tapi kalau sakitnya tidak kunjung reda, cepat beritahu Ayah."
"Hm em."
Beberapa saat kemudian, mobil yang di kendalikan supir tiba di rumah mewah keluarga Indra.
Seperti permintaan Kal yang ingin di gendong ayahnya lagi. Saat sudah turun dari mobil, gadis itu mengangkat kedua tangannya minta gendong.
"Astaga, benar-benar gadis kecil Ayah," kekeh ayah Indra.
Kal juga terkekeh mendengar perkataan ayahnya.
Ketika sampai di dalam rumah, terlihat seorang wanita yang merupakan istri sirih ayah Indra datang mendekat. Namun membawa tas mewah di tangan kanannya.
"Ayah, sudah pulang. Kenapa pulang lebih awal?"
Wanita yang terlihat lebih muda tiga tahun dari ayah Indra itu menyembunyikan tasnya kebelakang tubuh.
"Mau kemana kamu?"
Ayah Indra menatap istrinya dari atas hingga bawah. Penampilannya terlihat rapi dan glamor, seperti hendak pergi.
"Ma-mau pergi ke kafe sama Dea."
Suara wanita itu terdengar lirih, bahkan senyumannya pun nampak di paksakan.
"Oh, jangan sampai malam."
"Iya."
Tuti melihat suaminya berjalan menaiki tangga menuju lantai dua ke kemar Kal. Anak tirinya yang paling tidak di sukainya.
Bagaimana bisa suka, jika semua yang di inginkannya malah di miliki oleh anak tirinya itu. Itulah sebabnya, Tuti tidak menyukai Kal dan kedua saudaranya.
Apa lagi Kal mendapatkan semua perhatian dan cinta dari ayah Indra. Sedangkan dirinya yang sudah bertahun-tahun menemani sebagai istri, tidak bisa mendapatkan cinta pria tua itu.
Di lantai atas, Kal minta di turunkan di depan pintu kamarnya saja.
"Terimakasih, Ayah." Kal tersenyum manis pada ayahnya.
"Sama-sama, kalau gitu Ayah turun dulu." Ayah Indra mengelus kepala Kal sejenak sebelum turun ke lantai bawah di mana kamarnya berada.
Sedangkan Tuti segera melangkah keluar dari rumah mewah itu hendak menuju kafe di mana sang putri kandung berada.
Menaiki mobil yang di bawa seorang supir, Tuti duduk sembari bermain ponsel.
Hingga tak lama ia tiba di tempat yang di janjikan. Masuk ke dalam dan mencari di mana keberadaan putrinya itu.
"Ada apa Mama cari aku? Tumben banget," heran Dea melihat mamanya.
"Mama mau bicara serius sama kamu," ucap Tuti menatap anaknya.
"Bicara apa? Biasanya juga di rumah kalau mau bicara."
"Kali ini beda, Mama mau bicara sesuatu yang sangat penting dan hanya antara kamu dan Mama."
"Ya sudah, ngomong saja. Sebentar lagi aku ada urusan." Dea melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
"Mama mau nanti malam kamu ikut ke acara makan malam di restoran," ucap Tuti.
"Dalam rangka apa dulu nih, makan malamnya?" Tanya Dea.
"Mama, mau jodohin kamu sama anak salah satu teman arisan Mama."
Kedua mata Dea melotot kaget dan spontan saja air di mulutnya yang baru di sedot tersembur keluar.
"Dasar anak kurang ajar." Kesal Tuti karena wajahnya di sembur oleh Dea.
"Maaf, Ma. Habisnya Mama, kalau ngomong tidak di pikir dulu."
"Tidak di pikir bagaimana?" Tanya Tuti sembari mengelap wajahnya dengan tisu.
"Untuk apa Mama mau jodoh-jodohin aku segala. Aku tidak mau, Ma. Aku sudah punya pacar." Tolak Dea.
"Putuskan saja pacarmu itu, teman arisan Mama ini orang yang sangat kaya. Kita akan hidup mewah kalau kamu jadi menantunya."
Tuti tersenyum bahagia menatap anaknya, berharap Dea mau menuruti permintaannya.
"Ya ampun, Ma. Sekalipun mereka kaya raya, kalau anaknya harus di jodohiin. Sudah pasti anaknya itu jelek, atau tidak berkualitas sama sekali. Atau malah karena anaknya tidak laku."
Dea memasnag wajah jutek, tidak setuju dengan perjodohan dari sang mama.
"Iya juga sih, soalnya teman Mama bilang anaknya itu duda."
"Nah, sudah pasti itu anaknya tidak banget. Istrinya yang sebelumnya pasti minta cerai karena dia jelek atau gendut. Iuh ..."
Dea memasang wajah jijik dan tak berminat.
"Jadi gimana dong? Mama harus apa?" Bingung Tuti.
"Ya tolak lah, Ma. Untuk apa Mama pusing-pusing."
"Masalahnya Mama punya hutang sama teman Mama itu."
Dea menatap mamanya tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Mama serius? Untuk apa Mama berhutang? Kalau sampai ayah tahu masalah itu, ayah pasti bakalan marah besar."
"Kamu jangan takut-takuti Mama dong! Bantu cari solusi, soalnya teman Mama bilang harus secepatnya melunasi hutang itu. Seandainya Mama tidak bisa mencarikan jodoh untuk anaknya, habislah Mama."
Tuti memegangi kedua pipinya sedih.
"Memangnya berapa hutang Mama sama orang itu?" Tanya Dea penasaran.
"Satu milyar."
"Apa?" Kaget Dea tanpa sadar berteriak hingga menarik perhatian pengunjung lain.
"Apaan sih kamu? Tidak usah teriak-teriak." Tuti membungkam mulut anaknya dengan kesal.
"Namanya juga kaget, Ma. Untuk apa Mama hutang segitu banyak?" Penasaran Dea.
"Waktu di arisan, Mama tidak sengaja senggol tasnya. Nah, ternyata di dalam tasnya itu ada sepaket perhiasan berlian mewah."
Tuti memegang lengan Dea kuat karena kalut kala mengingat saat di mana ia membuat masalah.
"Jadi maksud Mama tadi, mau aku jadi istri anak temen Mama itu. Untuk gantiin hutang Mama sama dia, alias jadi pelunas hutang Mama." Tuti mengangguk mengiyakan.
"Cuma satu-satunya cara yang paling mudah untuk lunasi hutang Mama, Nak. Temen Mama itu cuma butuh menantu supaya anaknya gak kesepian lagi. Dia juga janji mau kasih Mama uang 3 milyar kalau Mama bisa kasih perempuan itu."
"Ya, bukan aku juga dong Ma. Anak tiri Mama itu ajalah kalau mau di jodohkan. Aku ogah, pacarku ganteng, kaya lagi."
Dea membanggakan pacarnya sekaligus memberi solusi pada Tuti.
"Ah benar, kenapa Mama bisa lupa sama dia?"
Tuti beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan kafe begitu saja.
Dea melongo melihat mamanya yang sudah semangat kembali.
"Lah, si Mama. Main pergi-pergi aja lagi," gerutunya kesal karena di tinggal pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments