Jóias, Berlian terakhir

Deg!

Audina menyentuh bibirnya perlahan. Jantungnya kini berdetak kuat sekali, Audrina juga seakan lupa untuk bernapas. Audrina menggelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri lalu memegang kedua pipinya yang sedikit memanas.

Audina mengedipkan matanya berulang kali dan mencubit lengannya pelan. Rasa sakit yang didapatnya, sudah cukup meyakinkannya bahwa ia tidak sedang bermimpi. Audrina berlari dan menatap dirinya sendiri di cermin.

"We can't call that a kiss! M-mungkin tadi itu jarinya. Iya! Jarinya, hahaha..." tawa Audrina seakan dibuat-buat. Ia berusaha meyakinkan dirinya untuk tidak terlalu berharap.

"Fokus!" kedua tangannya dikepal untuk menyemangati dirinya sendiri.

Audrina mulai mencampurkan warna demi warna dan memolesnya di atas canvas yang berada dihadapannya dengan yakin. Perpaduan warna yang serasi membuat lukisannya tampak lebih nyata. Saat ini ia melukis villa ayahnya yang dulu pernah di kunjunginya. Ia hanya melukis semua yang ada diingatannya, seperti villa coklat itu, halaman dan beberapa tanaman yang tumbuh disana.

Audrina tampak sangat tenang dan menjiwai setiap goresan kuas yang diberikan ke atas canvasnya itu. Setelah memperbaiki warna langit dan pohon, Audrina merasa puas dan yakin bahwa lukisan ini sudah selesai.

"Semoga Professor senang, " gumamnya pelan sambil memandang lukisannya.

Keesokan paginya, Audrina keluar dari ruangan Professornya dan berjalan duduk disalah satu bangku yang menempel ke tembok. Dia tampak membawa tas kulit yang cukup besar untuk tempat dia membawa lukisannya. Tidak seperti ekspektasinya semalam, Professor kurang puas dengan hasil lukisannya, semua terlihat dari raut muka Audrina yang begitu murung.

Flashback on

Audrina berdiri disebelah lukisannya dengan penuh harap. Professor Jeremy, yang merupakan tutornya selama ini melihat lukisannya dengan saksama.

"Seperti ada yang kurang dari lukisan ini, Audrina." ucap Proffesor Jeremy singkat.

"Not that real, Prof?" tanya Audrina memastikan letak kesalahannya.

"Hmm, something missing here. You said that, you never here again until now, right?" Professor Jeremy berjalan membelakangi Audrina.

"Yea,right," ucap Audrina jujur.

Professor Jeremy menoleh kearah Audrina lagi. "Jadi, kenapa tidak kesana lagi untuk menyatakan semua referensi kamu, Audrina? You should go there, again! An artist like you, should've future sight." jelasnya panjang lebar.

"..but, Professor.."

"I knew that you will be miss your mother again, Audrina. Tapi, bukankan ini moment yang baik untuk mengenang kenangan indah disana kembali, Audrina?" Bujuk Professor sambil meyakinkan Audrina

"But, i think my father not allow me to go there again." Celetuk Audrina dengan wajah sedih.

Professor tampak berpikir. "I'll talk to him."

"Sure, Professor." Pasrah Audrina dengan tersenyum simpul.

Flashback off

Audrina menghela napasnya pelan dan beranjak dari duduknya, dia harus masuk kelas sebentar lagi. Audrina mengambil semua barang bawaannya menuju rak lukisan yang sudah disediakan oleh pihak sekolah untuk muridnya.

Rak lukisan sekolah itu bewarna putih dengan ukuran sekitar 2,3 x 0.9 meter. Saat murid ingin menyimpan hasil lukisannya, dengan menempelkan id mereka maka rak atas nama mereka akan bergeser secara otomatis sehingga lokasi penyimpanan tidak tertukar.

Setelah menyimpan lukisan, Audrina berjalan menuju kelas selanjutnya diiringi dengan bel masuk. Audrina duduk disalah satu bangku yang masih kosong, sistem sekolah ini mereka tidak menetapkan tempat duduk untuk murid mereka. Jadi, mereka leluasa memilih akan duduk dimana selagi bangku masih kosong.

Materi hari ini adalah seni urban legend yunani kuno. Slide demi slide dijelaskan oleh speaker. Audrina dengan cermat menuliskan poin-poin penting dari setiap penjelasan yang diberikan.

"..so, the next urban legend. Siren."

Audrina berhenti menulis, ia menatap layar yang menampilkan gambar mitologi siren. Ia mendengarkan penjelasan materi kali ini dengan saksama.

"Siren atau Seirenes . Menurut penduduk yunani kuno yang meyakini urban legend ini, siren adalah kaum Naiad, or something that life under water.."

"..bisa saja di laut ataupun di danau. So, basically they life in the water. Di bawah air mereka memiliki sebuah pulau yang diyakini menjadi tempat tinggal mereka, Sirenum Scopuli .." Pemateri menekan slide selanjunya dan kembali menjelaskan.

"..if you never hear about that, lebih mudahnya kita biasa mengenalnya dengan pulau yang disekitanya terdapat tebing dan karang yang banyak sekali. Itulah mengapa mereka dipercayai memiliki permata dan berlian paling indah dan sangat ajaib.."

"..Siren have a very beautiful voice. Sangat lembut, halus, merdu dan siapa saja yang mendengarnya pasti jatuh cinta. Tetapi, menurut penduduk yunani dulu siren sangat ditakuti. Why? Because they eat human until their bone.."

"..have a beautiful voice don't mean they have a beautiful soul. So, ada yang mau bertemu dengan Siren?" Pemateri itu tersenyum ngeri sambil menutup penjelasannya mengenai Siren.

Audrina dan beberapa murid yang lain menanggapi pertanyaan itu dengan tertawa. Materi berlanjut sampai bel tanda pulang berbunyi.

Baru saja selesai merapikan buku, Audrina merasa ada yang membelai rambutnya. Ia tidak meresponnya dan hanya tersenyum simpul. Andaikan saja dia berbicara dan ada yang melihatnya berbicara sendiri, mereka akan menyangka Audrina ada perempuan tidak waras.

Telinga Audrina saat ini menjadi sasaran Aoi yang merasa kesal karena dicuekin. Seketika ingatan kilas balik Aoi mencium Audrina kembali muncul dibenaknya dan membuat ritme jantungnya berdebar lebih capat dari biasanya.

'Ody..' panggil Aoi.

Audrina yang mendengar itu berusaha mengabaikan panggilan Aoi. Ia masih canggung apabila harus berbicara dengannya saat ini.

'Me agnoeís. tha epistrépso argótera.' Suara Aoi berubah menjadi sedih.

Kemudian tidak ada lagi suara dari Aoi maupun sentuhan dingin yang dirasakan Audrina pada dirinya.

Walau tidak mengerti kalimat yang diucapkan Aoi tadi, Audrina merasakan kesedihan dari suara itu. Ia merasa tidak enak karena telah mengabaikan Aoi. Apalagi Aoi adalah satu-satunya teman Audrina.

Hanya saja, egonya saat ini terlalu tinggi, ia tetap mengabaikan Aoi untuk saat ini dan segera pulang untuk membahas referensi villa dengan ayahnya.

...****************...

Setelah perdebatan yang cukup panjang, akhirnya Key mengizinkan anaknya itu untuk kembali ke villa mereka setelah 11 tahun tidak kesana. Namun, Audrina harus menunggu seminggu lagi karena tempat itu harus dibersihkan dan diperbaiki pada beberapa bagian.

Key sebenarnya merasa tidak tega membiarkan Audrina harus kembali kerumah itu sendiri, hanya saja Key harus pergi ke Thailand untuk dinas kantornya selama 4 bulan penuh.

Hasil diskusi Key, Audrina, Professor Jeremy dan pihak sekolah akhirnya memberikan waktu 8 bulan untuk Audrina dapat tinggal di villa. Melihat akan ada acara dan lomba pertengahan tahun yang diadakan dekat dengan lokasi villa mereka. Setelah mengurus surat izin dan memindahkan semua kelas menjadi daring, Audrina akhirnya diizinkan untuk home schooling dibawah naungan sekolahnya saat ini. Baik itu materi, tugas dan ujian akan dilakukan daring.

Seminggu berlalu, Key mengantarkan Audrina ke villa. Setibanya disana ia langsung menurunkan barang keperluan Audrina selama 8 bulan tinggal disana.

"Kalau butuh sesuatu, telpon saja pak Karni dan bu Wiwit ya, nak." Ucap Key sambil memeluk anaknya itu.

"Iya, pa." Audrina membalas pelukan ayahnya itu.

"Papa cuma 4 bulan, nanti setelah selesai papa pasti nginap disini juga temanin kamu ya." Ucap Key lagi.

"Hati-hati ya, pa." Audrina melambaikan kearah Key yang sudah masuk ke dalam mobil. Key membalas lambaian tangan Audrina sambil tersenyum haru. Ia tidak menyangka anaknya sudah bisa mandiri tanpa dirinya.

Audrina menatap mobil ayahnya yang semakin lama semakin hilang. Ia menghela napasnya lalu beranjak masuk ke dalam mengingat hari sudah sore.

Sudah seminggu Aoi tidak muncul. Audrina yang sibuk karena mengurus berkas-berkasnya dan ketiduran karena lelah menjadi faktor utamanya. Aoi hanya melihat Audrina dari balik cerminnya, memastikan ia baik-baik saja. Ia juga seperti mengerti bahwa Audrina sedang sibuk saat itu jadi ia tidak mengunjungi ataupun menganggunya sama sekali.

Sampai dimana Audrina mengunjungi villa dan akan tinggal selama 8 bulan itu, dia tau. Cermin Aides selalu memberikan informasi dengan lengkap.

Audrina bersimpuh diatas kasur dan membuka jendela kamarnya sambil menatap kearah danau. Kalian pasti tau ia berharap apa. Audrina mengepalkan tangannya dengan gugup.

"Aoi apa kamu disana?" Audrina menatap danau sambil berharap Aoi mendengarnya.

"Aoi. Kamu dengar Ody?" Ulang Audrina sambil menatap lekat kearah danau.

"Aoi?" panggilnya lagi.

Tidak ada yang terjadi. Tidak ada suara lembut ataupun sentuhan tangan halus itu.

"Aoihan!" kesal Audrina.

Tidak ada apa-apa. Hanya terdengar suara angin dan dedaunan yang bersetuhan.

Audrina menyerah.

Sepertinya Aoi tidak mendengarnya kali ini. Mungkin saja dia sibuk, pikirnya. Audrina menarik jendela kamarnya, lalu menguncinya kembali. Saat akan berbalik tiba-tiba angin kencang melewatinya, padahal jendela dan pintunya tidak terbuka.

Audrina menoleh ke belakangnya, ternyata Aoi sedang berdiri di depan pintu kamarnya yang tertutup. Seperti biasa, tidak memakai atasan hingga menampilkan abs dan ototnya yang bisa dipastikan sangat keras jika dipegang. Ia hanya celana hitam yang melekat dan hampir menyatu ke kulitnya.

"Hai, Audrina." Sapa Aoi.

Audrina mengerutkan dahinya. "Kamu marah?" Selidik Audrina.

"Kenapa kamu mikir seperti itu?" Tanya Aoi penasaran.

"Kamu tidak pernah memanggilku Audrina, kecuali memang kamu marah. Kamu selelu memanggilku Ody." Jelas Audrina.

Aoi tertawa hingga menampilkan gigi taringnya yang membuatnya terlihat manis. "Iya, aku marah tadi. Tapi sudah tidak lagi." Akunya.

"Maaf Aoi, apa karena aku mengabaikanmu waktu itu?" Tanya Audrina memastikan dengan wajah yang merasa bersalah.

Aoi mengangguk. "Tidak apa-apa. Aku memang sedikit merasa kesepian saat itu. Mungkin karena lelah juga." Aoi berjalan duduk di kursi meja belajar Audrina. Audrina yang melihat itu juga duduk dikursi riasnya yang besebelahan dengan meja belajarnya.

"Aoi lelah?" tanya Audrina penasaran. "Karena apa?"

Aoi menatap lekat wajah Audrina. Terlihat keraguan diwajah Aoi untuk bercerita. Ia merasa Audrina akan terkena masalah jika Audrina mengetahui apa yang terjadi.

"Tenang saja. Ody bakal jaga rahasia kok, janji!" Audrina mengangkat jari kelikingnya seperti orang yang biasa berjanji.

Aoi mengerutkan dahinya sambil menghela napasnya lelah. "Ody janji?"

Audrina mengangguk mantap sambil menarik tangan kanan Aoi yang berselaput dan menyatukan kelingking mereka, membuat ikatan. "Janji!"

Aoi sedikit terkekeh lalu mengarahkan telunjuknya ke arah dahi Audrina. "Aoi tidak akan mengatakannya, tapi akan menunjukkannya secara langsung. Seperti itu akan lebih aman buat Ody maupun Aoi."

Audrina memejamkan matanya perlahan. Kilasan demi kilasan mulai muncul. Ia bisa melihat ada beberapa siren merah yang sangat buruk rupa. Mereka memiliki taring yang sangat panjang hingga ke dagu dan sedang bertarung dengan sekelompok siren yang mirip sekali dengan Aoi.

Beberapa dari kelompok Aoi terlihat ada yang terluka bahkan gugur setelah mendapat cakaran langsung ke jantung mereka yang mengakibatkan bolong di dadanya. Audrina juga bisa melihat Aoi yang sangat marah disana. Aoi sangat menakutkan saat marah. Matanya sampai memutih sempurna dan terlihat sirip punggungnya yang menajam menyerang siren merah itu hingga mereka mundur. Satu hempasan ekornya bisa melumpuhkan tiga siren merah itu sekaligus.

Aoi menjauhkan jarinya. Perlahan Audrina membuka matanya dan memberikan tatapan bertanya kepada Aoi tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Aoi yang mengerti kemudian memasukkan tangannya kedalam dadanya hingga tembus. Anehnya tidak ada darah atau luka disana, tangannya benar-benar tembus masuk kedalam dadanya. Audrina sedikit panik.

"Tenang. Aku tidak apa-apa." Ucap Aoi menenangkan Audrina yang terlihat panik.

Aoi menarik keluar tangannya dari dalam dadanya dan memegang sesuatu seperti batu kristal bulat bewarna biru cerah yang sangat indah sekali.

"Apa itu? Cantik sekali," ucap Audrina dengan takjub.

"Ini adalah jóias. Salah satu berlian paling penting bagi kaumku. Mereka ingin mengambil ini dari kami." Jelas Aoi.

"Siren merah itu?" Tanya Audrina.

Aoi mengangguk. "Mereka adalah siren jenis sarkofágo ekstrim dari tenggara, lebih tepatnya pemakan manusia. Mereka sangat jahat dan juga sangat-sangat berbahaya."

"Kenapa mereka mau mengambil ini dari kalian?"

"Jóias adalah benda yang sangat netral. Ia mengikuti hati dan pikiran tuannya. Jika jatuh ketangan kaum merah atau hitam, mereka akan memusnahkan kami dan dengan mudah mengeksploitasi manusi. Kami juga sangat bergantung pada jóias, mereka bisa menjaga tubuh kami dan ekosistem kami." Aoi menatap lekat jóais yang ada ditangannya dengan sedih.

Audrina mengangguk paham, lalu bertanya kembali. "Berarti setiap kaum kalian memiliki satu jóais?"

Aoi menatap Audrina sendu. "Seharusnya iya. Tapi, ini adalah jóais terakhir yang kami punya."

"Jóais terakhir? Bagaimana mungkin?" tanya Audrina sedikit tidak percaya.

Aoi menatap lekat ke manik mata Audrina dengan sendu, iris hijaunya mulai mengecil. Seketika ia menundukkan kepalanya lalu tiba-tiba ia menangis.

Isakan Aoi sangat menyakitkan untuk didengar saat ini.

...-----...

Terpopuler

Comments

Ryzen Mikása

Ryzen Mikása

coba aja tanyakan dan izin baik baik Na

2023-04-09

0

վմղíα | HV💕

վմղíα | HV💕

cerita nya bagus

2023-03-28

0

Shan Ge 🔱

Shan Ge 🔱

Diksinya bangus, pembaca jadi mudah menggambar Susana + latar belakang cerita. Cuma saran aja, Kak. Kan ada banyak kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, itu sebaiknya dikasih arti. Soalnya nggak semua readers bisa bahasa Inggris kayak aku ☺️🙏🏻

2023-02-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!