Usai shalat dhuha dan murojaah sembari menunggu waktu duhur, Umar menyiangi rumput di kebun belakang rumah yang mulai tumbuh subur di antara tanaman sawi dan tomat miliknya. Selain sawi dan tomat, terdapat wortel, kentang, bunga kol, seledri dan cabai. Hasil panen dari kebun yang tidak terlalu luas itu biasanya akan diolah untuk dimakan bersama para santri.
Umar juga menanam berbagai buah dan umbi-umbian. Pisang, belimbing, jambu kristal, singkong dan ubi jalar yang hari ini sudah bisa dipanen. Umar akan mencabutnya nanti sore saat matahari tidak terlalu menyengat.
Senin sampai Jumat Umar sudah sibuk dengan kegiatan mengajar di kampus, ia hanya memiliki dua hari untuk merawat kebunnya.
Matahari hampir mencapai atas kepala, keringat menetes di pelipis Umar. Kaos oblong yang Umar kenakan juga basah bermandikan keringat.
"Sudah siang, istirahat dulu." Zaid datang dari pintu belakang rumah yang terhubung langsung dengan kebun.
"Tanggung Bah." Umar mencabut tanaman sawi yang layu dan hampir mati. Ia menabur benih sawi yang baru agar tidak ada lahan kosong lalu menyiramnya dengan sedikit air.
"Kenapa nggak pakai topi, muka kamu bisa gosong kena matahari." Zaid duduk di saung yang berada di pinggir kebun.
Umar terkekeh, ia bahkan tidak memperhatikan itu. Orangtua memang lebih perhatian dari pada diri sendiri. Umar memutuskan untuk istirahat sebentar di saung.
Umar meneguk sebotol air yang dibawanya dari rumah hingga tandas. Ia melempar tatapan pada kebunnya yang sebentar lagi panen. Hal yang paling menyenangkan saat berkebun adalah saat panen. Biasanya Umar akan dibantu oleh beberapa santri laki-laki.
"Kamu tahu Hilya?"
Umar memutar kepala melihat Zaid yang duduk di sampingnya. Ia tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan Zaid.
"Hilya putrinya Kyai Abizar?"
"Benar, besok mereka akan berkunjung kesini, kamu pulang dari kampus jam berapa?"
"Mungkin agak malam Bah karena ada kajian juga di masjid."
"Nggak bisa pulang lebih awal, mungkin mereka akan kesini sebelum magrib."
"Tapi bukannya mereka akan mengunjungi Abah?"
"Iya tapi Kyai Abizar ingin ketemu kamu juga, terakhir kesini kamu masih kuliah beberapa tahun lalu."
"Kalau begitu Umar akan usahakan pulang sebelum mereka datang."
Percakapan mereka terhenti ketika seorang santri putri datang.
"Assalamualaikum Ustadz."
"Waalaikumussalam." Umar menegakkan tubuh, seorang santri putri berdiri di dekat pagar kebun tampak ragu-ragu seperti hendak mengucapkan sesuatu. "Ada apa?" Tanyanya.
"Di depan ada perempuan yang mencari Ustadz."
"Perempuan?" Umar mengerutkan kening, tak pernah ada perempuan yang datang kesini untuk mencarinya.
"Benar Ustadz."
"Siapa?"
"Ah itu saya lupa untuk menanyakan namanya tapi—" ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tapi apa?" Dilihat dari raut wajahnya, santri tersebut hendak menjelaskan sesuatu tapi tak bisa memilih kalimat yang tepat untuk diucapkan.
"Sudahlah Umar, kamu lihat sendiri kesana." Zaid menyentuh bahu Umar.
"Baik Abah." Umar segera turun dari saung sesuai perintah abahnya.
Umar melangkah lebih dulu, ia penasaran siapakah perempuan yang datang mencarinya. Umar yakin ia tidak memiliki janji dengan siapapun terutama perempuan.
Santri putri tampak berkerumun di depan gerbang sedangkan santri laki-laki juga ribut di depan masjid. Umar semakin mempercepat langkah penasaran dengan perempuan yang telah membuat para santri ribut.
Langkah Umar terhenti ketika melihat Ummi nya sudah berada di antara kerumunan santri perempuan. Entah kenapa perasaan Umar tidak enak menyaksikan pemandangan itu.
"Semuanya kembali ke kamar masing-masing ya." Titah Maryam, "kita siap-siap shalat duhur."
Para santri perlahan membubarkan diri sambil berbisik-bisik satu sama lain, bisikan yang tak bisa Umar dengar.
Umar berusaha melihat seseorang yang berada di depannya beberapa meter tapi terhalang oleh Maryam.
"Ummi." Panggil Umar.
Maryam membalikkan badan hingga Umar bisa melihat sosok perempuan yang katanya datang untuk mencarinya.
Alangkah terkejutnya Umar melihat perempuan itu ternyata Atalie. Umar seperti tersambar petir di tengah terik matahari. Keringat yang menetes di wajahnya mendadak beku begitupun dengan otaknya.
Mungkin Umar tak akan terlalu terkejut jika Atalie datang dengan penampilan seperti yang biasa ia lihat di masjid. Namun beda cerita jika—
"Dia mencari mu." Tukas Maryam.
"Umar tidak mengenalnya Ummi." Umar menunduk melihat tanah yang dipijaknya karena malu.
Penampilan Atalie tentu membuat semua orang terkejut tidak terkecuali Maryam. Namun Maryam berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Atalie mengenakan longsleeve knit biru muda dan celana putih sepaha memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih bersih. Tato berbentuk planet Saturnus di betis Atalie juga tak luput dari penglihatan.
"Dia mau mengembalikan buku yang kamu pinjamkan padanya."
Umar melihat dua buah buku di tangan Atalie, salah satunya adalah buku miliknya. Benar juga, ia memberikan buku itu pada Atalie kemarin. Umar tak menyangka jika Atalie akan mengembalikannya kesini.
Kini Umar menyesal karena menulis alamat rumahnya di setiap buku yang ia beli. Awalnya itu bermaksud agar jika bukunya hilang dan ditemukan oleh seseorang, maka orang itu akan mudah mengembalikan pada pemiliknya. Bahkan Umar mencantumkan nomor teleponnya disana.
Atalie mengembangkan senyum melihat Umar, meski penuh keringat tapi Umar tetap terlihat tampan. Sadar Atalie!
"Berikan buku itu pada Ummi saya lalu segera pergi." Ucap Umar dengan nada dingin.
Senyum di wajah Atalie memudar, mengapa Umar mengusirnya. Ia jika tak akan berlama-lama disini dan pasti pulang tanpa Umar suruh.
Atalie memberikan buku itu pada wanita berpakaian serba hitam dan tertutup yang Umar panggil dengan sebutan Ummi.
"Terimakasih." Ucap Atalie dengan suara pelan hampir tidak terdengar.
"Jangan pergi dulu, karena kamu sudah kesini mari masuk sebentar, Nduk."
"Tidak usah Ummi." Atalie ikut-ikutan memanggil Ummi.
Maryam tersenyum, "tidak apa-apa, mari." Ia menarik Atalie mengajaknya masuk ke dalam rumah sebelum lebih banyak santri yang melihat Atalie.
Atalie duduk di sofa ruang tamu sementara Umar sudah menghilang tidak tahu kemana.
"Nama saya Maryam, Ummi nya Umar."
"Maaf, saya pikir nama anda Ummi." Atalie salah tingkah, bisa-bisanya ia begitu percaya diri memanggil Ummi.
"Ummi sama dengan Mama, kalau boleh tahu nama kamu siapa?"
"Maaf saya lupa memperkenalkan diri, nama saya Atalie, kalau begitu saya akan panggil Tante saja." Atalie mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Maryam.
"Tidak masalah panggil Ummi." Maryam tidak keberatan jika Atalie memanggilnya Ummi seperti para santri disini.
Atalie mengangguk samar.
"Kamu temannya Umar?"
"Bukan, sebenarnya saya belum pernah bicara dengan Umar, saya hanya sering datang ke kajiannya." Atalie ingin berteman dengan Umar tapi sepertinya lelaki itu sudah membangun dinding kokoh di antara mereka.
"Sendirian?"
"Dengan dua teman saya."
"Kamu juga boleh datang ke kajian saya setelah subuh."
"Subuh?" Atalie mendelik, ia biasanya bangun jam 10 itupun kalau tidak ada kuliah atau ibadah pagi. "Subuh itu—"
"Sekitar setengah 5."
"Sebenarnya saya tidak pernah bangun sepagi itu."
Maryam tersenyum mendengar kejujuran Atalie, "sebentar ya." Ia beranjak dari sofa meninggalkan Atalie.
Atalie mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Meski tidak sebesar rumahnya tapi Atalie merasa nyaman disini.
"Kenapa Umar ngusir aku?" Atalie kembali muram mengingat ucapan Umar tadi. "Dia cuma sok baik pinjemin buku, aku juga bisa beli sendiri buku kayak gitu." Gerutunya.
Maryam mendapati Khawla berada di dapur bersama beberapa santri tengah memotong sayur untuk makan siang.
"Khawla, tolong buatkan teh untuk tamu di depan." Pinta Maryam.
"Baik Ummi, sebentar lagi saya antar ke ruang tamu."
"Terimakasih ya."
"Sama-sama Ummi."
Atalie segera memasang senyum melihat Maryam kembali membawa belimbing yang sudah dipotong-potong.
"Ini belimbing dari kebun belakang rumah, silakan."
Atalie mencomot satu belimbing dan melahapnya. Air dari belimbing yang manis sangat menyegarkan apalagi saat cuaca panas seperti sekarang.
"Manis banget Ummi." Atalie tak pernah memakan buah belimbing sebelumnya. Ternyata rasanya sangat enak.
"Umar yang menanamnya."
Atalie berhenti mengunyah mendengar nama Umar, ia telanjur kesal pada laki-laki itu.
"Ini teh nya Ummi." Khawla meletakkan segelas teh di atas meja.
"Terimakasih Khawla." Ucap Maryam.
Atalie melihat wanita bernama Khawla, ia bertanya-tanya apakah wanita itu istri Umar? Atalie penasaran tapi tak berhak bertanya.
"Maaf saya sudah merepotkan banyak orang." Atalie jadi tidak enak karena kedatangannya sempat membuat heboh. Pertama ia tidak tahu apa itu pondok pesantren, kedua ia tidak tahu jika semua orang di pesantren mengenakan baju tertutup seperti Maryam. Jika tahu, Atalie akan ganti baju dengan yang lebih tertutup sebelum kesini. Pengetahuan umumnya benar-benar sangat sedikit.
Khawla kembali ke dapur setelah mengantarkan teh untuk Atalie. Ia terkejut melihat tamu yang Maryam bicarakan, ia harap tamu itu tidak menyadarinya.
"Ini kewajiban kami menjamu tamu walaupun hanya segelas teh."
"Ini sudah lebih dari cukup, Ummi." Atalie menyesap teh beraroma melati itu. "Ah panas!" Ia terkejut ketika cairan teh itu menyentuh permukaan lidahnya.
Gila Atalie, kamu udah nggak waras ya! Jelas-jelas teh nya masih berasap.
"Pelan-pelan Nduk." Maryam mengusap teh yang tumpah ke paha Atalie.
"Ah iya Ummi." Mata Atalie berair akibat teh panas itu. Ia kembali melahap sepotong belimbing untuk meredakan rasa panas di lidahnya.
"Kamu masih kuliah?"
"Saya semester terakhir program magister manajemen Ummi."
"Ummi, sebentar lagi duhur." Umar muncul dari ruangan lain di rumah itu, ia sudah berganti pakaian. Bukan lagi kaos oblong yang basah oleh keringat.
"Ummi tahu."
"Kalau begitu saya pamit dulu." Atalie ingin segera pergi melihat Umar.
"Kamu belum minum tehnya."
Atalie meneguk teh panas tersebut hingga tandas tak peduli jika itu akan membakar kerongkongannya. Yang penting ia bisa segera pergi dari sini.
Maryam ikut beranjak saat Atalie bangkit dari sofa.
"Ummi tidak usah mengantar saya ke depan, terimakasih teh dan belimbing nya." Atalie melangkah cepat keluar rumah menuju gerbang. Ia juga memarkirkan mobilnya disana.
Maryam melihat punggung Atalie semakin menjauh lalu masuk ke dalam mobil putih yang terparkir di depan gerbang.
"Dia Atalie, yang kamu sebut gadis aneh?" Maryam menatap Umar yang duduk di sofa menggantikan posisi Atalie tadi.
"Maaf Ummi, Umar tidak tahu jika dia akan kesini."
"Kenapa minta maaf, dia datang karena hendak mengembalikan buku yang kamu pinjamkan."
"Mungkin penampilannya membuat Ummi terkejut, lain kali Umar tidak akan mengajaknya bicara apalagi meminjamkan buku."
"Ummi memang terkejut tapi kita tidak boleh membencinya."
Umar terdiam, ia hanya tidak suka melihat penampilan Atalie yang kelewat sexy dan keberaniannya datang kesini. Padahal Atalie bisa saja mengembalikan buku itu saat mereka bertemu di masjid.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
૦ 𝚎 ɏ ꄲ 𝙚 ռ
woohh...jgnkan ustadz Umar.. aku aja kaget lhoh liat penampilan Ka atalie....
2023-01-25
0
Nina
perjalanan kehidupan kak atalie./aisyah sama ka umar
2023-01-09
0