Aku sempat melihat Vara melirik sedikit pada orang yang ada di belakangku yaitu Adrian, sebelum menjawab.
"Aku sepupu jauh Adrian," jawabnya dengan tawa kecil dan membuat ketiga orang yang tengah tegang tadi menghembuskan nafas lega.
"Sepupu? " tanyaku memastikan.
Karena setauku mami dan papinya Adrian merupakan anak tunggal dalam keluarga mereka, makanya mereka ingin memiliki lebih dari satu anak. Kalau bisa banyak, itu lebih baik kata mami Sinta. Tapi sayangnya mami Sinta tidak bisa memiliki lebih dari dua anak karena kandungannya yang lemah, beliau saja selalu operasi saat melahirkan bahkan di saat usia kandungannya belum genap 9 bulan.
"A..mmm, sepupu jauh. Maksudnya, Oma Opa kita yang sepupuan langsung, terus aku salah satu cucu dari sepupu Omanya Adrian, gitu.. ya, pokoknya gitu deh. Kamu ngerti 'kan? "
Aku mengernyit mendengar penjelasannya yang berbelit-belit. Begitupun dengan Vero yang berada di belakang Vara.
Ah, terserahlah. Aku tak perduli. Mau kamu itu sepupunya, saudaranya, kakaknya, adeknya, pembantunya. Yang penting kamu bukan istrinya, apalagi selingkuhannya. Batinku abai.
Tapi wajahku tetap menampilkan senyum manis dan menjawab dengan baik pula. Bermuka dia juga ya aku, haha. Biarlah, itu karena dia sendiri yang membuatku seperti ini, membuatku curiga dengan tingkahnya yang aneh.
"Okey, salam kenal ya, Vara.. semoga kita bisa jadi teman baik, "
"Semoga ya.. Oh ya, ini aku ada kado kecil buat kamu sama Adrian. Semoga suka ya.. meski aku belum tau apa yang kamu suka, tapi aku berusaha banget buat cari yang terbaik, " Vara memberikan sebuah kotak kecil padaku.
Adrian mendengus sambil memalingkan wajah melihat hal tersebut.
"Ada apa dengannya? "
"Maksih banyak, Vara. Harusnya kamu gak usah repot-repot sih.. "
"Enggak kok, cuma hadiah kecil aja buat anggota keluarga baru. Di pake ya nanti kalau udah di buka, "
"Emang apa sih isinya? Jadi penasaran deh, " aku bersiap membuka pita yang menghias kotak berwarna kuning tersebut, sebuah warna yang kurang aku suka sebenernya. Tapi Vara segera menghentikanku.
"Bukanya ntar aja, kalau udah di kamar sama Adrian, " bisiknya di samping telingaku.
"Oke deh, "
"Yaudah, aku duluan ya.. masih ada urusan mendesak, " Vara berpamitan padaku, lalu pada yang lainnya juga.
"Vara pamit dulu ya, Mi.. Pi.. Om, Tante, dan kamu, " ia menunjuk Vero, Vero mengangguk dengan ekspresi datar. Ah, anak itu, kenapa dia bersikap sok cool begitu.
"Juga Aditya," lanjutnya, Aditya hanya mendengus malas menanggapinya.
"Mi.. Pi..? " gumamku. Itu panggilan untuk kedua mertuaku 'kan?
Kenapa lagi-lagi aku merasa aneh. Aa.. tidak! Tidak! Mungkin di keluarga mereka memang seperti itu, seakrab itu. Aku tidak boleh mudah terpedaya oleh hasutan setan. Pikirku mencoba sadar.
Tapi baru saja aku menetralkan perasaanku yang dipenuhi oleh kecurigaan, lagi dan lagi, Adrian menunjukkan gelagat aneh.
"Biar aku anterin, Ra, "
Deg.
Ada apalagi dengan suamiku ini.
Bukan hanya aku yang terkejut mendengar perkataannya, melainkan semua orang yang ada di sekitar meja itu. Hanya Aditya yang menampakkan senyum anehnya. Lebih tepatnya bukan senyum, tapi seringai.
Adrian tiba-tiba tergelak ditengah keterkejutan kami, "aku bercanda lagi, jangan pada kaget kayak gitu. Pagi-pagi pada tegang aja, "
Papi Wijaya dan mami Sinta ikut tertawa mendengar perkataan Adrian. Tawa yang menurutku dibuat-buat. Sedangkan papa dan mamaku hanya tersenyum.
Vara? Wanita itu berlalu dengan raut wajah yang sulit kutebak.
Hari senin adalah hari sibuk bagi umat pekerja kantoran, tapi mengingat baru kemarin kami menikah, tidak mungkin'kan bagi kami untuk mulai bekerja, bisa-bisa di pasung sama orang tua kami nanti.
Lain kami, lain pula yang lainnya. Papi mami Adrian langsung kembali ke rumah mereka untuk kemudian papi Wijaya kembali bekerja seperti sebelum hari-hari sibuk mengurus pernikahan kami.
"Mami sama Papi duluan ya, Sayang. Kalian nikmatin aja dulu bulan madu kalian sesuka hati, " ucap mami Sinta.
"Mau sampai bulan depan juga boleh, bebas. Kalau perlu sampai ada kabar baik, " papi Wijaya melanjutkan dengan alis naik turun menggoda Adrian.
Adrian hanya tersenyum terpaksa melihatnya. Sedangkan wajahku mungkin yang malah sudah memerah malu. Malu antara ucapan mertuaku yang menjurus ke arah sana, juga malu karena teringat Adrian yang semalaman mengabaikanku. Semoga mereka tak akan pernah tau akan hal itu.
"Papa sama Mama juga duluan ya, Vit. Jangan lupa, pulangnya kalau udah bawain kita cucu, " gurau papa setengah serius.
"Enak aja, emang kita di suruh tinggal disini selamanya apa, " cebikku.
"Ya kalau kamu mau tinggal disini gakpapa juga, ini 'kan hotel punya kalian. Hadiah dari kami, ya gak, Jay? " penuturan dari papa sangat mengejutkan aku dan Adrian.
Bahkan suamiku itu langsung tersedak buah apel yang sedang disantapnya. Untung aja gak bikin dia mati suri kayak putri salju
Bahkan Aditya saja mengerutkan keningnya hingga matanya membulat mendengar kejutan itu. Pertanda jika dirinya juga tak tahu menahu.
Namun papi mertuaku yang di panggil Jaya oleh papa langsung mengangguk mengiyakan disertai tawa.
"Iya, Papi hampir aja lupa kalau gak diingatkan sama papa kamu, Vit. Hotel ini memang hadiah dari kami untuk pernikahan kalian. Semoga suka ya, " ucap papi Wijaya.
"Dan kalian bisa mengelolanya bersama mulai saat ini, " lanjut mami Sinta.
Aku yang melihat Adrian diam saja memutuskan untuk menjawab ucapan para orangtua dan berterima kasih atas hadiah yang mereka berikan pada kami.
"Makasih banyak-" ternyata aku dan Adrian berucap bersamaan.
"Ciyee ... kompak bener penganten baru ini, " ledek mama.
"Mama ih. Pokoknya makasih banget ya Mih, Pih, Ma, Pa, buat hadiahnya yang gak aku sangka-sangka banget, " ucapku sembari memeluk mamaku dan mami Sinta secara bergantian.
"Pantesan aja namanya ... apa sih tadi? " aku menoleh melihat tulisan yang merupakan identitas dari hotel yang kami tempati saat ini.
"AdVita Hotel & Resto. Kalu kalian gak cocok sama namanya, bisa kalian ganti saja sendiri sesuai dengan kemauan kalian, "
"Gak usah, Pi. Kami suka kok. Ya 'kan, Hubby? " Adrian menoleh dan mengangguk seraya tersenyum. Entah senyum macam apa itu.
"Ciye ... ciye ... manis bener panggilannya, " goda mamaku dan mami Sinta.
"Yaudah kalian nikmatin aja masa-masa indah kalian, papa sama mama juga Vero mau balik dulu, kalian have fun ya, " pamit papa mewakili mama dan Vero sekaligus.
Begitupun mama dan papa, alasannya mau mengontrol keadaan perusahaan aja, tapi apa mungkin mengingat watak papa yang gigih itu.
Vero adikku langsung bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Hanya tinggal kami berdua serta Aditya yang masih menikmati hidangan penutupnya yang berupa puding.
"Apa seenak itu, Dit? " tanyaku pada adik iparku yang nampak asyik dengan puding coklatnya tanpa memperdulikan sekitar.
Daripada aku dikacangin sama Adrian, mending sedikit ngobrol aja sama Aditya, pikirku.
Lelaki itu menoleh kearahku dengan sedikit terkejut, rupanya ia setengah melamun tadi.
"Iya, kamu mau? " tawarnya padaku.
Aku mengangkat piring kecil di hadapanku, sebagai jawaban kalau aku juga memiliki puding yang sama.
"Aku duluan deh. Kalian balik lagi ke kamar aja sana! Bikinin aku keponakan yang cantik dan cakep, " Aditya berkata sambil beranjak dari duduknya.
"Assiyaap, " balas ku yang langsung mendapatkan lirikan dari Adrian.
"Kenapa? " tanyaku.
Lelaki itu hanya diam dan malah berdiri dari kursinya lalu berlalu meninggalkanku sambil melihat ponselnya.
Aku hanya mampu mendesah pelan menatap punggung suamiku yang semakin jauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
kaya Adrian bukan tipe suami idola, ada pelakor yg pinter nikung nih, harus waspada nih Vit😔
2025-01-13
0
Risky Titi sarlinda
tanda tanda suami pir aun ni
2023-06-03
1
Restviani
sampai sini dulu ya vita...entar Ambu balik lagi
2023-02-16
1