I. c

Aku lahir hingga aku lulus sekolah menengah pertama di Bandung bersama Nenek dan Kakek dari Mama, setelah itu Nenek sering sakit-sakitan, kemudian aku melanjutkan sekolah menengah Atas bersama Papa dan Mama di Medan, Singkat cerita beberapa hari sebelum aku menikah, Aku baru tahu bahwa Papa yang selama ini aku panggil Papa, ternyata bukan Papa kandunganku.

meskipun sebenarnya selama ini Papa baik. tapi aku selalu merasa ada jarak yang memisahkan antara aku dan Papa, sekarang terjawab lah sudah, mungkinkah karena darahnya tidak mengalir di tubuhku? aku tidak tahu pasti.

Dan saat aku menikah beberapa hari lalu, yang menjadi waliku adalah adikku sendiri yang masih duduk di bangku sekolah menengah Atas.

Dan itulah alasan sebenarnya, kenapa aku di jodohkan di usia aku yang masih sangat muda. Karena aku ingin kuliah di Jakarta, dan Mama tidak mengijinkan aku tinggal seorang diri di kota metropolitan. Dunia penuh tipu-tipu, dan dunia kejam yang sebenarnya kini tengah aku rasakan.

Jika tahu akan begini? apakah mungkin aku masih menginginkan melanjutkan kuliah? dan mengejar mimpiku sebagai seorang jurnalis.

***

Tiba-tiba saja ada seseorang yang memelukku dari arah belakang, Aku sedikit terhenyak sebab seingatku pintu itu tadi telah di kunci, kenapa bisa seseorang masuk dengan begitu mudahnya.

"Bunda tahu kamu sudah bangun, dan Bunda tahu kamu sedang menangis, maafkan Anak Bunda yah! Maaf". ucapnya dengan suara serak khas tangis yang tertahan.

~[Apa karena aku baru lulus sekolah, kalian dengan mudahnya membodohi ku? hanya aku yang tidak tahu bahwa Marsel ingin dan akan menikah lagi].

"Apa yang bisa Monica lakuin Bun?". Tanyaku dengan putus asa, sembari bangun memposisikan diri untuk duduk dan menghadap Ibu mertuaku.

"Apapun itu sayang, apapun itu, Bunda akan mengabulkannya, kecuali dua hal, kamu tidak boleh meminta di ceraikan oleh Marsel dan ...". Ibu mertuaku tidak sampai hati melanjutkan perkataannya. Namun aku tahu kemana arah pembicaraannya.

"Dan tidak boleh meminta Ka Marsel untuk menceraikan wanita pilihannya juga?!". Kemudian dengan pelan Ibu mertuaku mengangguk.

"Bun aku mau sendiri dulu". Ucapku kemudian dengan sendu.

"Baiklah, Bunda ada di luar, kalau butuh apa-apa panggil Bunda yah?!". Aku hanya mengangguk sembari kembali berbaring, kemudian Ibu mertuaku keluar sembari menutup pintu dengan perlahan.

***

Malam telah tiba, Aku masih enggan untuk keluar kamar, padahal Ibu mertuaku sudah beberapa kali memintaku keluar, hanya sekedar untuk makan malam.

Namun sayangnya aku enggan, aku berusaha menolaknya sehalus mungkin, dengan memberikan alasan enggak nafsu makan, dan memang benar perutku masih terasa sakit akibat tengah datang bulan.

10 menit kemudian Ibu mertuaku kembali datang, dengan nampan yang entah berisi apa.

"Monica, kalau kamu gak mau makan seenggaknya makan buah-buahan yah?!". Pinta Ibu mertuaku dengan sabar.

"Iyah, makasih Bun, nanti Monica makan". Ucapku kekeuh dengan penolakkan ku.

"Hm, yaudah Bunda simpan di meja yah, jangan lupa di makan?!". Ucapnya kali ini ia terlihat pasrah dengan kepetusanku.

"Hm, Iyah Bunda makasih, maaf udah ngerepotin dan bikin Bunda khawatir". Ucapku tulus.

"Iyah, enggak kok, sama sekali enggak ngerepotin". Ucap Bunda Rita sembari mengelus-elus rambutku.

"Em, sebenernya sekalian Bunda mau pamit pulang, Ayah mungkin sudah menunggu Bunda, kasian kalau di tinggal sendirian, maaf yah Bunda gak bisa temenin kamu?!". Ucapnya kembali sendu.

"Hm? It's okay Bun, Ayah pasti khawatir, Monica gak apa-apa kok sendiri di rumah, Bunda pulangnya hati-hati yah". Ucapku sembari memeluk tubuh wanita paruh baya itu yang beberapa hari lalu resmi menjadi Ibu mertuaku.

"Iyah. Hm... tenang aja kamu gak sendirian kok, kan ada Marsel, suami kamu!".

"Hah? enggak apa-apa Bun, Kak Marsel biar nganterin Bunda aja".

"Enggak, Bunda udah pesan mobil online kok, kayanya udah di depan deh, Bunda pulang yah".

"Hm yaudah Bun, hati-hati yah, salam buat Ayah". Ucapku yang mendapati anggukkan dari Bunda Rita kemudian mengecup keningku cukup lama.

"Hati-hati yah, kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi Bunda". Kali ini aku yang hanya menjawab dengan anggukan serta senyuman.

***

Setelah Ibu mertuaku pergi, barulah Marsel menemuiku, dia duduk di tepi ranjang sebelah kananku, kemudian di susul olehku yang juga duduk sembari bersandar di kepala ranjang. Sepertinya dia sengaja duduk di sana, karena saat ini aku sedang memandangi jendela kecil yang terletak di sebelah kanan tempat tidurku.

"Kamu, yakin gak mau makan? atau mau ke dokter?". Tanyanya dengan tulus, terlihat dari raut wajahnya ia tengah khawatir.

"Hah? bukannya kamu calon dokter yah?". Ucapku dengan asal, tanpa ada maksud apa-apa.

"Hem? Iyah, yaudah sini mau aku periksa?!". Ucap Marsel sembari mengambil stetoskop yang ada di bawah laci tak jauh dari tempatnya duduk.

"Enggak, gak usah". ucapku acuh dengan cepat, kemudian kembali berbaring dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.

"Hm, kamu masih marah sama aku?". Tanyanya hati-hati.

"Enggak, siapa yang marah".

"Yakin gak marah? kalau gak marah kenapa malah ngumpet gitu?". Kali ini nada bicaranya terdengar mengejek di telingaku.

"Aku kan udah bilang, gak enak badan".

"Yaudah sini?! biar aku periksa".

"Enggak, mau".

"Hm... Monica?! mau ngadep aku gak? selagi aku masih bersikap baik". Ucap Marsel dengan suara yang serak. Entah kenapa aku jadi takut, seketika bulu kudukku meremang mendengar suaranya yang berat.

"Hah? Iyah - iya". Ucapku sembari membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku.

"Gitu dong dari tadi kek". Ucap Marsel sembari mendekatkan tubuhnya dengan tubuhku.

"Eeeh mau ngapain?". Ucapku nyaris teriak.

"Kenapa? kamu mikir aku mau ngapain kamu, Hah?". Ucapnya dan meletakkan stetoskop tepat di detak jantungku.

"Yah, kamu... mukanya mesum sih". Ucapku salah tingkah.

"Hah? muka aku yang mesum? apa otak kamu nya aja yang mesum, heh?". Ucapnya terlihat menahan tawa.

"Yah muka lu". Ucapku sewot.

"Iyah gak apa-apa mesum sama istri sendiri ini kan?!". Ucapnya sembari menyeringai.

"Dih. . . siapa yang mau jadi istri lo sih".

"Yah, kita emang udah suami istri, bukan mau atau gak mau lagi Monica". Ucapnya kemudian membuka alat stetoskop.

"Iyah, tapi di mata gua kita itu dua orang asing yang terpaksa harus tinggal bersama". Ucapku kemudian kembali menutup tubuh dengan selimut.

"Hm, saat ini kamu sedang stres, mungkin penyebabnya aku, sorry!". Ucapnya sembari membenarkan selimut yang tidak menutupi kedua kakiku.

"Tapi ... mau bagaimana pun kamu membenci aku, aku ini tetap suami kamu yang harus kamu hormati dan layani, aku gak suka kamu manggil Gue, Lu, ataupun Lo". Mendengar hal itu aku segera membuka selimut yang sebelumnya sudah menutupi tubuhku.

"Heh? terserah gua dong mau manggil apa aja, ribet banget sih". Ucapku kembali sewot.

"Sekali lagi kamu manggil aku Lu atau Lo, aku gak akan segan-segan buat ngehukum kamu yah!". Seketika tatapannya berubah, aku seperti melihat tubuh Marsel tapi dengan jiwa yang berbeda.

"Haha, hukuman. Heh, kaya anak kecil tau gak? emang lu pikir gua takut?". Cibirku kemudian hendak berbalik, namun belum sempat berbalik tiba-tiba saja, tanpa aba-aba sebuah benda kenyal menempel di bibirku.

"CUP!!".

bersambung...

Terpopuler

Comments

Moms Shinbi

Moms Shinbi

q sakit hati sumpah Monica kasihan sekali

2024-07-12

0

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

suami serakah pingin kedua duanya

2024-03-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!