I. b

Selesai menyaksikan akad nikah suamiku dengan wanita pilihannya itu, aku segera keluar ruangan. Dada ini terasa sesak dan sudah tidak dapat tertahankan lagi, rasanya ingin meledak.

kupikir aku akan menangis tersedu-sedu di luar gedung meratapi kebodohan ku, ternyata tidak. Marsel menghampiriku.

"Kenapa keluar? bukankah, seharusnya kalian tengah berfoto, untuk mengabadikan momen penting sekali seumur hidup". Ucapku ketus.

"Aku sudah pernah melakukan hal itu, bersamamu, jika kamu lupa". Ucapnya dengan santai, kemudian meraih tanganku.

"Heh... apa yang kamu lakukan disini? istrimu melihatnya". Ucapku kemudian sembari menepis rengkuhan tangan suamiku.

"Hah? lucu sekali, kenapa kamu takut, kamu itu istriku, wanita yang tengah duduk di pelaminan itu juga kini memang istriku". Ucapnya terlihat terkejut dengan reaksi yang kuberikan, tapi masih terlihat santai karena masih bisa tersenyum menanggapi sapaan dari tamu undangan.

~[Bodoh, benar juga apa yang di katakan nya, ada apa denganku? kenapa seolah-olah aku takut dengannya? dengan wanita yang baru saja menyandang status istri dari suamiku, padahal aku juga istrinya, istri pertamanya].

"Aku keluar memang untuk membawa kamu duduk di atas pelaminan. Tanpa kamu, terpaksa aku juga tidak bisa duduk di pelaminan".

"Heh?... apa kamu sudah tidak waras?". Ucapku kesal.

"Kenapa? karena aku menikah lagi? memang nya aku terlihat tidak waras?". Aku terdiam enggan menjawab pertanyaannya.

"Kamu tahukan syarat menikah? tidak gila. Maka aku sangat waras".

"Heh, waras ? saking waras nya menikah lagi". Cibirku.

"Hm, yaudah sekarang mau kamu apa?". Ucapnya kali ini ucapannya terlihat jengah.

"Hah? mau aku? kamu yakin nanya mau aku apa?".

"Iyah, aku akan melakukan apapun itu mau kamu, kecuali, kamu nyuruh aku pisah dari kamu ataupun dari adik madu mu". Ucapnya tegas.

~[Egois, benar-benar egois]. Lagi ... batinku.

"Kenapa dua hal itu tidak boleh? tapi jika boleh jujur, dua hal itu tidak pernah ada dalam benakku". Ucapku serkas, sembari berlalu pergi menghampiri adik maduku.

***

Meskipun aku memang tidak mencintai suamiku, tapi aku sudah terlanjur memilihnya menjadi suamiku. Sejak kecil aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang Ayah, dan aku berharap kelak setelah menikah aku mendapatkan kasih sayang dari seorang suami. Namun sayangnya kurasa kini itu hanyalah angan-angan belaka, yang tidak akan pernah terjadi.

Meskipun begitu, pemikiran mengakhiri pernikahan yang baru terjalin dalam hitungan hari itu sama sekali tidak pernah ada dalam benakku. Aku meyakini pernikahan itu sakral, yang akan terjadi sekali seumur hidup untukku.

Begitupun rasa benci pada maduku, hal itu tidak pernah ada, bahkan tidak pernah ada sama-sekali, saat kali pertama melihatnya, aku merasa dia bukan sainganku, meskipun tidak akan juga menjadi temanku.

***

Saat aku memutuskan untuk duduk di bangku pelaminan, semua mata tertuju padaku. Tentu saja hal itu tidak dapat di hindari, bisik-bisik yang terdengar jelas di pendengaranku pun tak dapat di abaikan.

Perlahan-lahan rasanya perih dan semakin perih. Aku tak sanggup lagi duduk di atas pelaminan ini. Aku, suamiku dan adik maduku.

Aku memutuskan untuk bangkit dari duduk dan pergi, namun belum sempat aku berdiri tangan suami dan adik maduku menahannya, kini tinggallah adik maduku, Aku dan suamiku.

~[lakon apa yang sebenarnya tengah aku lakukan saat ini, ya Tuhan?]

Aku sangat yakin adik maduku ini orang baik, tapi kenapa dia mau menjadi orang kedua? kenapa juga dia tidak menemui aku sebelum acara ini berlangsung. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk dalam pikiranku.

"Kamu kenapa?". Tanya suamiku.

~[mungkinkah suamiku berharap aku akan berkata, aku baik-baik saja? Hah tidak mungkin].

"Aku mau pulang, sudah cukup orang-orang melihatku dengan tatapan merendahkan dan mengucilkan". Ucapku kemudian berlalu pergi, mengabaikan panggilan dari adik maduku dan suamiku.

Aku masih tidak percaya akan yang terjadi padaku saat ini, ingin rasanya marah, meskipun entah harus pada siapa.

Tiba-tiba saja tangan yang sebelumnya memegangi tanganku hadir kembali, ia mengulurkan tangannya dan berharap aku mau menerima uluran tangannya untuk bangkit berdiri dan pergi bersamanya.

Namun, sayangnya... aku si keras kepala tidak semudah itu mau menerima uluran tangannya, butuh waktu sejenak, untuk merenungkan ini semua, terlebih aku takut tindakanku ini salah.

Niat awal kenapa aku mau menikah dengan dia itu karena aku mau kuliah, tapi kenapa aku di hadapkan dengan masalah serumit ini?

"Aku mau pulang". Ucapku dengan tangisan yang sudah tak dapat aku sembunyikan lagi darinya. Kemudian aku bangkit berdiri sembari berlari kecil menuju mobilnya.

***

Di sepanjang perjalanan aku terdiam sama-sekali tidak bergeming, begitupun dengan dia. kita sibuk dengan pemikiran-pemikiran kita masing-masing.

Hingga kita sampai di depan pekarangan rumah, aku segera berlari menuju kamar tidur yang beberapa hari ini kita tempati, dan segera menguncinya. Karena kulihat Marsel tengah mengejar ku.

"Monica?" Ucapnya sendu, kemudian hening, dia tidak memanggil namaku lagi, pun dia tidak berusaha membujuk aku untuk keluar.

Dan entah kenapa, hal itu membuat hatiku semakin sakit, aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sembari menangis dalam diam. Hingga aku tidak tahu pasti kapan aku tertidur.

***

Aku terusik oleh pertengkaran yang tengah terjadi, samar-samar aku mendengar suara Bunda Rita, Ibu mertuaku yang tengah memarahi anaknya, yaitu suamiku.

Hah. . . rasanya Aku enggan bangkit dari tempat tidur ini, akhirnya aku memutuskan untuk kembali menutup mata, meskipun pendengaranku tidak dapat di tutup. Alhasil aku mendengar semua pembicaraan antara suami dan Ibu mertuaku.

(kamu benar-benar menikahi wanita itu?). Ucap Ibu mertuaku, dengan nada suaranya yang meninggi.

(Marsel udah bilangkan, satu Minggu sebelum pernikahan Marsel sama Monica berlangsung, Marsel meminta pernikahan Marsel dan Monica di batalkan saja, tapi Bunda sama Ayah masih ngotot ingin melanjutkan dan mempersiapkan pernikahan itu). Ucapnya dengan tenang namun terkesan tegas.

~[Jadi Kamu ingin membatalkan pernikahan itu, kenapa tidak bicara denganku? andai saja kamu bicara padaku, mungkin aku akan menyetujuinya, ketimbang sekarang... harus menghadapi hal menyakitkan dan serumit ini]. Batinku.

(Hm, karena Mami pikir kamu gak akan senekat ini. Terus gimana reaksi Monica?). ucap ibu mertuaku, kali ini suaranya terdengar sendu.

(Hm, seperti yang Mami lihat?!). Ucapnya kali ini tidak kalah sendu dengan suara Ibu mertuaku.

(Terus kamu mau bilang apa sama kedua orang tua Monica?). Suara Ibu mertuaku kali ini terdengar khawatir.

(Aku udah bilang kok Bun, tiga hari yang lalu).

~[Apa? tiga hari yang lalu? itu artinya Mama dan Papa sudah tahu bahwa aku akan di madu dan mereka diam saja. tidak bertindak selayaknya orang tua yang menyanyi anak perempuannya?].

~[Aku benar-benar tidak habis pikir. Aku berusaha menahan isak tangis sekuat tenaga dengan kedua tanganku, yang hampir saja lolos].

Lagi, batinku menangis, mendengar perkataan Marsel, jadi hanya aku... satu-satunya orang yang terakhir mengetahui rencana Marsel akan menikah lagi.

(Apa? lalu reaksinya gimana?). Suara Ibu mertuaku terdengar terkejut tak kalah terkejutnya dengan aku.

(Awalnya mereka kaget, dan tidak menerima, tapi, setelah Marsel menjelaskan semuanya, akhirnya Ibu nya menerima, tapi anehnya Ayahnya Monica sedari awal ia terlihat setuju-setuju saja ).

(Hah? Hm ... syukurlah). Meskipun mungkin reaksi kedua orang tuaku itu agak membingungkan untuk Ibu mertuaku, tapi suaranya terdengar lega.

Iyah, jika kebanyakan orang, anak wanita cenderung lebih dekat dengan Ayahnya, maka hal itu tidak berlaku untukku.

bersambung...

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

masih mnyimak

2024-03-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!