Kontrak

Alangkah baiknya jika Abdulah segera mengatakan apa yang ia rasakan pada Nayla sebelum terlambat.

Tapi, Nayla masih sibuk dengan bahagianya masuk ke dalam bangku perkuliahan.

Abdulah sedikit bingung bagaimana ia akan mengatakannya.

Nayla tersenyum senang akhirnya ia bisa berkuliah.

Ketika ia menatap Abdulah lalu keluarganya. Seketika ia menatap Abdulah untuk kedua kalinya.

"Kau tak suka apa aku ada salah padamu?" Tanya dengan suara berbisik giginya merapat.

"Itu.. hanya perasaanmu aku hanya santai saja tuh..."

"Sudahlah jika Abdulah tak suka jangan paksa suka." Zoya ikut bicara seketika ayahnya menghela nafasnya.

"Nakk... Nayla.. kau juga jangan cari masalah tak lihat ayahmu itu sakit."

"Aku bahkan tak berbuat masalah yang begitu besar, bu." Zoya mengerlingkan mata malas.

"Alasan." Nayla menatap Zoya yang baru saja berbisik mengganggu telinganya.

"Ya ya.. itu yang kau katakan, Bela saja dirimu."

Nayla pergi ke belakang memilih mencuci tangan dan mengambil air minum dari pada harus terus berdebat dengan ibunya Zoya.

"Istriku, Nayla tidak berbuat salah, Zoya kau itu adiknya jangan seperti itu pada kakakmu... Abdulah bahkan tak membuat hal yang membuat kalian harus bertengkar tanpa alasan."

"Tenanglah... Jangan terlalu keras pada mereka kesehatan anda lebih penting," ujar Abdulah pada ayahnya Zoya dan Nayla agar selalu mementingkan tubuhnya yang begitu lemah.

"Iyaa nak, terimakasih." Tertunduk lesu dan hanya tersenyum dengan ucapan penyemangat dari Abdullah.

*

Di depan kedai abdulah.

Alex menunggu sesuatu di depan kedai didalam mobilnya.

"Abdulah."

Alex seketika mengingat kejadian kelam tentang abdulah pada keluarganya.

Seketika ponselnya bergetar dengan panggilan dari Nenek.

"Halo... sayangku dimana sekarang, bisa kau datang segera ke rumah utama?"

"Iya Nek aku akan segera datang." Segera setelah memutus sambungan telpon Alex melajukan mobilnya pergi dari kedainya Abdulah dan di rumah utama sang nenek berhadapan dengan anaknya paman dari Alex dan Ian.

"Kau sama sekali tak bisa melakukannya Farhan."

"Aku bisa ibu."

Nenek menatap putranya kesal.

"Darimana kau bisa mengatakan kau bisa jika kenyataannya kau selalu ketakutan dengan apa yang Ian dan alex lakukan."

"Apa ibu mau membandingkan lagi, Ibu selalu membandingkan aku dengan kakak ibu juga sengaja melakukannya agar aku selalu salah dimatanya."

Nenek menatap kesal.

"Bagian mananya aku selalu membandingkan kalian, farhan." Paman mendecih.

"Kau terlalu bertele ibu," ucap istri dari Farhan paman Ian dan Alex.

"Kau menantu tak bisa di harapkan apa andilmu dalam hidup putraku, bahkan kau juga mengincar kakaknya kau bisa dekat dengan Farhan itu juga karena kau tak punya pilihan lain, Kayle." Terdiam dan tertohok sekaligus dengan ucapan mertuanya.

Nenek tahu betul bagaimana putra dan menantunya itu.

"Tapi, Nyonya..." Asisten Farhan ikut bicara juga tapi, langsung di hentikan dengan tangan Nenek.

"Bione... Apa yang kau katakan, Apa aku sedang memintamu untuk berpendapat, bilang dengan benar... Bilang sekali lagi kau mau menyela aku akan membuat keluargamu jatuh kedalam jurang kesengsaraan."

"Tidak Nyonya."

Ketiga orang di hadapannya menatap kesal sekaligus malu dengan wajah marahnya mereka tak bisa membalas apa yang nenek katakan.

*

Sampai di rumah utama Garendra. Alex segera melangkah turun dari mobil sambil menenteng jasnya.

Dengan tegas langkahnya terus melangkah maju dan membuka pintu besar dengan ruangan didalamnya yang layaknya ruang kerja namun juga memiliki akses menatap keluar balkon yang besar pemandangan pantai yang masih sangat asri dan belum pernah di jamah manusia.

Tapi, empat orang disana terdiam menatap kearahnya datang dan tatapan Alex bisa merubah suasana yang tadinya menyudutkannya kini menjadi yang paling di segani.

"Alex.. kau urus mereka bertiga nenek ingin beristirahat. Nenek lelah dengan ocehan yang selalu mengungkit."

Alex menatap sang nenek yang langsung pergi setelah mengatakan apa yang sudah didengar mereka di dalam ruangan ini.

Alex meletakkan jasnya dan meminta keduanya duduk dan sang paman menatap sang keponakan dengan wajah yang sangat kencang.

"Kau datang?"

"Apa? Paman mulai ragu dengan ku?"

Tidak semua Pamannya bersalah tantenya juga bersalah.

Tatapan mata Alex membuat ketiga orang di hadapannya menciut.

"Tante membuat permainan sogokan dengan Adikku? Tidak tertarik? Atau malah mendapat ceramah nasehat darinya?"

"Alex!" Istri Farhan tertekan terus berada di ruangan ini.

"Aku mau keluar."

Alex mempersilakan jalan keluar nya dan dengan wajah kesalnya, tante terus berjalan keluar tanpa menoleh ke belakang lagi.

"Tinggal kita bertiga."

"Kau tak bisa melakukannya Alex Kau belum menikah dan hak tahta Garendra itu harus menikah sebagai syarat tapi, karena kau yang tertulis dalam hak waris itu belum menikah. Waktumu tak lama untuk mencari pasangan hidup."

Alex terdiam.

Wajahnya tiba-tiba kesal.

"Kenapa? Kau belum punya? Jika sampai kau belum menikah? Tentu tak bermasalah tentang surat waris itu, jangan tenang dulu karena aku akan merebut nya bagaimanapun caranya," ujarnya dengan wajah yang begitu angkuh.

Alex tersenyum miring seketika.

"Kalo kau berniat mengambilnya berarti aku harus menjaganya. Aku akan menikah besok dan kau tak bisa melakukan apapun dengan mudah selamat memutar otak mu, paman." Seketika berbalik mendekati pintu keluar.

"Tapi, kau tidak akan pernah bisa melupakan kejadian dimana ibumu mati tertembak dan itu karena ulahmu yang ceroboh juga karna mu ayahmu meninggal ikut dengan ibumu," ujarnya dengan wajah licik dan tak bisa terlihat sedikitpun memikirkan perasaan Alex.

Alex terdiam di tempat dengan kaki yang sejajar lurus kedepan.

"Kenapa? Gak bisa kan melupakan peritiwa buruk dan kelam." Bernada jika itu sangat menyenangkan untuk di bahas.

Alex menahan marahnya di kepalan tangannya.

"Oh iya." Berbalik menghadap Farhan dan asistennya.

"Membahas hal itu, Aku sudah dewasa bukan anak umur sepuluh tahun yang langsung menangis mengingat kejadian menyedihkan itu, Jangan gunakan cara itu untuk memancing emosi orang, kekanakan, Ingat umur?"

Lalu pergi dan hilang di balik pintu. Farhan di balik ucapannya oleh Alex dan kini ia yang marah yang tidak terima dengan apa yang di katakan Alex juga tentang kepayahannya tak bisa membuat Alex marah ataupun mengamuk.

Di luar kini di teras rumah utama sampai langkahnya menuju ke mobil dan masuk lalu duduk diam di dalam.

Tiba-tiba Alex melampiaskan emosinya pada kemudi dan memukul kemudi sampai tangannya memerah.

*

Pagi yang cerah tapi, tidak dengan suasana hati Abdulah yang tiba-tiba pagi ini di datangi orang asing yang tidak tahu dari kapan mereka ada di sana.

"Kenapa lama sekali buka kedai mu." Perintahnya layaknya atasan dan pemilik.

Padahal Abdulah adalah pemiliknya.

"Siapa kalian, Aku pemiliknya disini."

"Cepat buka apa kami akan merusaknya." Segera Abdulah membukanya dan membiarkan mereka masuk seketika itu mereka memesan seperti pelanggan.

"Cepat buatkan jangan membuat kami menunggu," ujarnya setelah memesan.

Abdulah bingung dan masih belum bisa mengerti kondisi apa ini.

Mereka ini pelanggan atau pereman.

"Iyaa aku akan membuatkannya."

Sibuk membuat pesanan. Tiba-tiba orang tua Nayla datang dan terkejut dengan wajah senang.

"Pagi begini sudah ada pelanggan hebat juga."

"Kak Abdulah memang beruntung," ujar Zoya dengan bangga.

Tapi, ayah Nayla menyadari sesuatu dari beberapa orang-orang itu.

"Kenapa kalian kemari? Urusan kalian..."

"Diam atau kami akan merusak." Seketika suasana menjadi berubah saat ayah Nayla bicara nada tinggi dan salah satu dari mereka menjawab.

Tegang suasana itu tak lama pintu kedai terbuka dengan suara lonceng.

"Selamat pagi.. apa yang...Wah ramai sekali." Senangnya Nayla dengan banyaknya pelanggan seketika Nayla mendekat ke ayahnya tapi, berhenti saat dua orang memegangnya.

"Heey.. lepas apa yang terjadi ini," ibu tirinya melindungi Zoya.

"Kalian bawa saja dia jangan buat kami terluka."

"Ibu! Apa yang ibu lakukan." Teriak Nayla.

"Amela dia putrimu," ujar ayah Nayla dengan marah juga kaget.

"Kau berteriak padaku! Apa yang harus kulakukan hah, Aku tak mau kehilangan Zoya dan dirimu jika Nayla itu tak masalah."

Nayla seketika menangis.

"Ibu."

Abdulah keluar dari dapur terkejut dengan apa yang ia lihat.

"Lepaskan dia!"

"Abdulah jangan!" Cegah ibu Zoya seketika abdulah akan mendekat.

"Tapi,"

"Kalian semua jangan membuat kami sulit dan kau... jangan pernah menemuinya lagi," ujar salah satu dari mereka.

Tiba-tiba Abdulah mengambil pistol dan menodongkan pada mereka semua. Ayah Nayla jatuh lemas memegangi jantungnya dadanya terasa di tusuk wajahnya semakin pucat.

"Ayah!" Teriak Zoya dan Nayla bersamaan.

"Tidak.. Jangan-jangan!" Panik sekali Amela yang cepat menyanggah tubuh suaminya sebelum benar benar jatuh kelantai.

"Kau bawahlah Nayla pergi karena ia adalah beban, cepat."

Dengan senang hati mereka menurut membawa Nayla pergi sisa dari mereka yang membawa Nayla masih menodongkan pistol pada Abdullah.

"Kau.. lepaskan atau.. "

"Jangan gunakan pistolmu untuk sembarangan, Kau siapa? Orang tuanya saja mengizinkan." Abdulah terdiam.

"Abdulah." Panggil Ayah Nayla.

*

Di bawa Nayla kekandang kuda dan di minta berdiri di dekat kandang Tonic tapi, kakinya sengaja di jegal sampai terjatuh.

Dari depan saat Nayla terjatuh seseorang baru mendekat dan berdiri dengan tegap.

Dengan kasar Alex menariknya untuk segera berdiri.

"Kau kabur? Kau sudah bisa lari dari tanggung jawabmu?"

"Aku bahkan tak tahu siapa kau? Tanggung jawab apa yang kau bicarakan? Menjauh dariku!" Mendorong Alex dengan kasar berharap bisa pergi tapi malah lengan atasnya di cengkram kuat oleh Alex

"Menikah Kontrak denganku, Sekarang."

"Kau gila!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!