Bab 2. Lembaran baru di Bali

Entah apa sebutan yang cocok untuk Mikha saat ini. Kabur dari masalah, atau memilih untuk mengalah dan mundur.

Tak pernah terbayangkan olehnya, akan mengakhiri hubungan percintaannya dengan cara seperti ini. Namun, ia merasa ini adalah hal terbaik untuk mereka. Dirinya dan Devan, selamanya tak akan pernah bisa bersama.

Sesampainya di Bali. Mikha dan Widya mengontrak sebuah kamar yang sangat kecil. Karena memang keuangan mereka sedang buruk saat ini.

“Tante, lebih baik biar aku saja yang kerja. Tante di rumah saja. Sekarang saatnya aku yang mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari kita. Karena dulu Tante sudah berjuang untuk aku. Sekarang biar aku yang membalas semuanya,” ujar Mikha sambil tersenyum.

Keduanya saat ini tengah duduk di ranjang kecil yang hanya muat untuk satu orang. “Kamu jangan berpikiran seperti itu. Tante ikhlas sudah merawat dan membesarkan kamu. Karena hanya kamu yang Tante miliki di dunia ini. Walaupun Ibumu telah tiada. Tapi dia meninggalkan seorang gadis yang cantik dan baik sepertimu.” Widya memeluk keponakannya dengan sayang.

Mikha juga membalas pelukan hangat tantenya. “Iya Tante. Mikha janji akan membahagiakan Tante. Mikha akan bekerja keras untuk bisa memberikan sebuah rumah yang bagus buat Tante, “ janji Mikha pada tantenya.

Ya, kehidupan akan terus berputar. Mikha tak mungkin hanya terus meratapi kisah cintanya yang kandas di tengah jalan bersama Devan. Sudah seharusnya ia bangkit dan memperbaiki kehidupannya.

Berbekal ijasah dan pengalamannya saat bekerja di perusahaan Devan. Mikha mencoba melamar pekerjaan di beberapa perusahaan yang ada di Bali.

Akan tetapi, mencari pekerjaan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh usaha yang keras dan tekad kuat untuk itu.

Sembari menunggu jawaban dari lamaran yang ia ajukan di beberapa perusahaan. Mikha bekerja di toko kelontong yang ada di dekat kontrakannya. Setidaknya, upahnya masih cukup untuk makan sehari-hari bersama tantenya.

Widya juga tidak mau hanya berpaku tangan saja di rumah. Widya bekerja sebagai buruh cuci di kontrakannya yang memang rata-rata adalah para pekerja pabrik. Meskipun tidak banyak, namun cukup untuk membantu Mikha dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Dua bulan sudah Mikha dan tantenya tinggal di Bali. Karena usianya tak lagi muda, Widya sering sekali sakit. Apalagi pekerjaannya yang sebagai buruh cuci memang sangat melelahkan. Sebab tanpa menggunakan mesin cuci. Yakni dengan tenaga manual, kedua tangannya.

“Tante, Ya ampun apa yang terjadi! Tante bangun, Mikha mohon buka mata Tante,” teriak Mikha yang panik saat menemukan tantenya yang pingsan di dalam kamar kontrakan mereka. Saat ia baru saja pulang dari bekerja.

“Tolong...tolong...” Mikha berteriak keras untuk meminta bantuan kepada para tetangganya.

Dengan segera Widya di bawa ke rumah sakit oleh tetangga sekitarnya. Selama perjalanan menuju ke rumah sakit. Mikha terus berdoa agar tantenya baik-baik saja.

Mikha tak akan sanggup jika harus kehilangan lagi. Sudah cukup ia kehilangan kedua orang tuanya saat masih kecil, lalu Devan yang juga tidak bisa ia miliki.

Tante Widya segera di periksa begitu sampai di rumah sakit. Mikha menunggu di depan ruangannya dengan cemas. Ia sungguh takut jika terjadi sesuatu terhadap tantenya.

“Dokter bagaimana keadaan Tante saya?” cecar Mikha begitu melihat dokter keluar dari ruangan tantenya.

“Tante kamu terkena kanker paru-paru. Kondisinya sangat lemah saat ini. Jadi harus di rawat dulu selama beberapa hari. Sambil melihat kondisi paru-parunya dan apa yang sebaiknya di lakukan nanti. Karena kita masih memantau keadaannya, setelah beliau sadar nanti. Saya pamit dulu, semoga Tante kamu bisa segera pulih.” Dokter tersebut pergi meninggalkan Mikha yang tercengang mendengar penjelasan dari dokter.

Ia sungguh tak menyangka. Jika tantenya yang selalu terlihat baik-baik saja. Nyatanya mengidap kanker paru-paru. Sebab selama ini, tantenya tak pernah menceritakan keluh-kesahnya kepada Mikha sedikit pun.

“Dari mana aku mendapatkan uang untuk perawatan Tante?” gumam Mikha sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

Tak lama terlihat bahunya bergetar. Mikha menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Di saat ia membutuhkan biaya untuk pengobatan tantenya. Mikha malah sama sekali tidak mempunyai uang.

Lantas dari mana ia bisa mendapatkan uang? Meminjam ke bos tempatnya bekerja pun. Rasanya mustahil. Karena bosnya bukan orang yang kaya.

Lalu ke mana Mikha harus mencari biayanya? Tak ada yang bisa ia harapkan saat ini. Selain bantuan dari Tuhan tentunya.

Mikha berjalan pulang ke rumah dengan pikiran kosong. Ia bingung harus mencari biaya pengobatan tantenya. Hingga tak sadar jika ia berjalan di tengah jalan.

Decit ban yang beradu dengan aspal jalanan. Membuat Mikha terjingkat kaget. Mikha yang shock, segera berjongkok ketakutan, hanya diam mendengar amarah dari pengendara mobil tersebut yang memarahinya karena tidak hati-hati.

Pikirannya seketika ‘blank’ saat ini. Ada ketakutan yang menderanya. Berbagai kemungkinan buruk pun mulai menguasai dirinya. Mikha hanya memikirkan bagaimana dengan tantenya, jika ia tertabrak tadi.

Mikha mulai terisak sambil berjongkok. Tak peduli pada orang-orang yang menyaksikannya. Ketakutannya lebih besar dari rasa malunya. Ia tak bisa berpikiran jernih saat ini.

“Hei! Kenapa kau malah menangis?” tanya pria yang nyaris saja menabraknya.

Bunyi klakson mobil saling bersahut-sahutan di belakang mobil Arvin. Karena menghalangi jalan.

“Cepat pinggirkan mobilnya? Nanti saja bermesraannya,” seru pengendara mobil yang tepat berada di belakang mobil Arvin, pria yang nyaris saja menabrak Mikha.

“Hei, ayo bangun! Kamu nggak dengar apa, mereka minta kita untuk menepi,” jelas Arvin yang mencoba untuk membujuk Mikha agar mau berdiri.

Namun gadis tersebut masih tetap menangis. Seolah-olah tidak mendengar apa yang Arvin katakan. Mau tak mau, Arvin yang harus bertindak.

Pria tersebut langsung saja menggendong Mikha yang tampak terkejut. Lalu memasukkannya ke dalam mobilnya dan membawa Mikha pergi.

Arvin membawa Mikha ke sebuah cafe yang tak jauh dari tempat kejadian barusan.

Dengan perasaan kesal, Arvin bergegas turun dan membukakan pintu penumpang. “Cepat turun! Kita perlu bicara,” titah Arvin tegas.

Mikha yang masih shock hanya patuh saat Arvin membawanya masuk ke dalam cafe. Memesan dua gelas minuman untuk mengurangi ketegangan yang baru saja terjadi.

Mikha baru saja duduk setelah dari toilet. Saat pertanyaan Arvin membuatnya kembali teringat akan masalahnya.

“Lain kali kalau mau bunuh diri jangan di jalan ramai. Loncat saja di sungai yang arusnya deras. Pasti langsung mati, nggak menyusahkan orang lain juga,” sindir Arin seraya menyesap kopinya.

Mikha menundukkan kepalanya sambil bergumam, “Maaf, Tuan. Saya bukan berniat untuk bunuh diri. Tetapi karena sedang memiliki masalah yang pelik saja,” jelas Mikha masih menunduk.

Mendengar penjelasan gadis di hadapannya, entah mengapa Arvin merasa iba. Padahal sebelumnya, ia tak mudah mempercayai ucapan orang lain.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!