Part five

"Sudahlah! Saya ini seorang dokter, tidak pantas kiranya jika saya memberikan keterangan tanpa disertai data medis yang akurat. Jadi kita tunggu saja pemeriksaan lebih lanjut. Itu pun, jika Anda berkenan dan mengijinkan. Obat penenang yang kami berikan, hanya bekerja sampai delapan jam ke depan. Selebihnya, tergantung tingkat pemulihan kesadaran pasien sendiri." Dokter khusus bagian forensik tersebut memutuskan untuk tidak memberitahukan apa yang menjadi kecurigaannya pada Raditya.

"Baiklah. Saya ikuti saja saran dokter. Lebih cepat lebih baik. Bagaimanapun, kita tidak bisa menyembuhkan atau memberi obat dengan tepat jika penyakitnya saja kita tidak tau." Suara Raditya terdengar pasrah.

"Baiklah ... dibaca dulu prosedur yang akan kami lakukan untuk melakukan visum. Silahkan ditanda tangani jika Anda memang benar-benar yakin. Sebagai catatan, hasil visum yang kami keluarkan tidak berkekuatan hukum. Karena seperti yang sudah kami katakan tadi, seharusnya Visum dilakukan dengan surat pengantar dari penyidik kepolisian. Tapi mengingat tidak semua korban kekerasan, terutama kekerasan yang kami duga dialami oleh istri Anda, mempunyai keberanian untuk melapor ke kepolisian, kami anggap visum ini hanya sebagai petunjuk untuk memulihkan kondisi istri Anda." Dokter menyodorkan map hijau berisi beberapa lembar dokumen pada Raditya.

Tanpa membaca atau meneliti informasi apa yang tercantum dalam dokumen yang diterimanya tadi, Raditya langsung menandatangani bagian terakhir dari lembaran kertas itu dengan cepat. Dia tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Menunggu dalam kekhawatiran atau pun kecemasan akan lebih baik daripada berdiam diri hanya menunggu ketidakpastian.

"Silahkan menunggu dulu. Kami akan menghubungi Anda begitu kami sudah mendapatkan hasil pastinya. Untuk pemeriksaannya sendiri akan memakan waktu minimal dua sampai lima jam. Tergantung kebutuhan analisa kami tentunya." Dokter menerima kembali dokumen yang sudah ditanda tangani oleh Raditya.

***

Meski dokter sudah mengatakan bahwa proses yang akan dijalani masih berjam-jam lamanya, Raditya memilih tetap bertahan di rumah sakit. Hanya sebentar ia keluar dari sana, berjalan kaki untuk membeli kaos di sebuah distro yang kebetulan terletak di samping rumah sakit. Kaos itu langsung dipakainya, karena atasan yang digunakan sebelumnya terkena darah Riena. Setelah itu, Raditya memilih berdiam diri di dalam masjid rumah sakit. Berdzikir dan berserah diri. Memohon kelapangan hati untuk dirinya dan terutama juga untuk sang istri, agar bisa melalui apapun permasalahan yang dihadapi dengan tetap berpegangan pada Iman.

"Ya Allah, Ya Robb, setiap kami yang bernyawa pasti akan Engkau uji dengan rasa sakit dan kesedihan. Tapi aku percaya kuasaMu sepenuhnya. Sakit dan sedihku tidaklah seberapa dibanding dengan segala nikmat yang sudah Kau beri. Kupasrahkan apa yang diluar jangkauanku kepadaMu, ya Robb. Tidak ada hal yang mudah akan menjadi benar-benar mudah tanpa campur tanganMu. Dan tidak ada hal sulit yang benar-benar sulit tanpa seizinMu. Dalam kuasaMu aku berserah."

Lirih rangkaian doa itu diucapkan Raditya dengan sangat khusyu. Matanya memejam dengan menengadahkan tangan setinggi pundak. Hanya dengan cara seperti ini dia bisa mendapatkan ketenangan. Meredam kecemasan membuncah yang masih menunggu dilegakan dengan kepastian akan kondisi sang istri.

Hingga sampai waktu ashar tiba, telepon genggam milik Raditya masih belum menerima panggilan dari pihak rumah sakit. Dia sampai memeriksa jaringan telepon genggamnya berkali-kali. Memastikan ponselnya dalam kondisi stabil untuk menerima panggilan atau pesan dari luar.

Raditya akhirnya memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu di kantin rumah sakit. Kepalanya yang sudah terasa sedikit pusing dan juga perutnya yang semakin merasa melilit, memaksa Raditya untuk mengunyah makanan.

"Loh, Dit, kok bisa kamu di sini? Siapa yang sakit?" sapa seorang laki-laki berwajah tampan seumuran dengan Raditya. Entah darimana datangnya.

"Rino?" tanya sekaligus sapa lirih meluncur dari bibir Raditya. Dari raut wajahnya, jelas sekali pria tersebut sangat terkejut dengan kemunculan sosok lelaki yang sudah lama tidak diketahui keberadaannya itu.

"Apa kabar? Jadi siapa yang sakit?" tanya laki-laki yang memang bernama Rino itu sembari mengulurkan tangannya.

"Aku baik." Raditya membalas uluran tangan itu dengan sedikit ragu. Dia juga tidak berniat menjawab pertanyaan Rino berikutnya.

"Boleh aku duduk di sini?" Belum juga Raditya mengangguk atau mengiyakan, Rino sudah menarik bangku di depannya.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Hampir tujuh tahun sepertinya. Kelihatannya kamu semakin sukses. Makin banyak dong koleksi perempuanmu. Bagi satu dong, dit. Mumpung aku lagi di sini."

Kehadiran Rino ditambah dengan pernyataannya barusan, jelas semakin membuat keinginan Raditya untuk menghabiskan makanannya secepatnya dan pergi.

"Maaf aku sedang buru-buru. Aku tinggal dulu." Raditya memilih langsung pergi ketimbang menanggapi pria yang kini tengah menatapnya dengan sorot mata dan senyuman yang sama sinisnya.

Raditya berjalan dengan langkah kaki lebar tanpa menoleh lagi ke belakang. Sudah lama dia meninggalkan cerita masa lalu yang tadi sedikit disinggung oleh Rino. Terlalu bodoh dan memalukan untuk dikenang---Raditya sudah mengubur kisah itu dalam-dalam.

Langkah kaki Raditya kembali terhenti di depan masjid rumah sakit. Sepertinya, tempat inilah yang bisa membuat hati dan pikirannya lebih tenang sembari menunggu kabar dari pihak rumah sakit yang tidak kunjung menghubunginya.

Sampai pada akhirnya, tepat setelah Raditya menyelesaikan Sholat Maghrib, nomor tidak dikenal dengan kode daerah Denpasar, menghubungi dirinya. Dengan cepat dia pun menerima panggilan tersebut. Karena Raditya yakin nomor tersebut adalah nomor rumah sakit di mana Riena berada. Tidak sampai dua menit pria tersebut berbicara di telepon. Sesaat kemudian, dengan langkah kaki lebar Raditya segera menuju ke ruangan dokter yang menangani istrinya.

"Bagaimana, dok? Apa hasil pemeriksaan istri saya sudah ada?" tanya Raditya begitu dia membuka pintu ruangan dan mendapati sang dokter sedang duduk sembari membolak-balik berkas di tangannya.

"Silahkan duduk dulu. Kita harus membicarakan ini dengan tenang."

Raditya menarik bangku di depan meja dokter. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia sama sekali tidak bisa menebak apa hasil yang di dapat dari visum yang sudah dilakukan dari raut wajah sang dokter. Terlatih menghadapi berbagai karakter keluarga pasien, tentu membuat seorang dokter tidak mudah terbawa perasaan atau pun terpengaruh keadaan.

"Jadi begini ...."

Terpopuler

Comments

Afrilho

Afrilho

Mubgkinkah pelakunya Rino...

2023-03-08

1

@ℛᎧʂʂᥱᥒᥡᥲrN⃟ʲᵃᵃ࿐

@ℛᎧʂʂᥱᥒᥡᥲrN⃟ʲᵃᵃ࿐

apa pelakunya reno, masa lalu apa?

2023-02-21

0

@ℛᎧʂʂᥱᥒᥡᥲrN⃟ʲᵃᵃ࿐

@ℛᎧʂʂᥱᥒᥡᥲrN⃟ʲᵃᵃ࿐

aku tandai si rinooo

2023-02-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!