Penjara Luka
Riena berjuang sekuat tenaga membebaskan dirinya dari kungkungan seorang pria yang menindih tubuhnya. Namun, usahanya sia-sia saja. Tubuh kekar sang pria membuat tubuhnya tidak bergeser sedikit pun. Di tambah lagi cengkraman erat dari tangan pria itu membuat pergelangan tangannya mati rasa. Dia dipaksa terlentang di atas pasir putih, di bawah bentangan langit hitam yang kelam. Bahkan bintang dan bulan tidak menampakkan diri. Seakan ikut malu melihat keadaan Riena.
Perempuan tersebut memekik kencang. Tetapi siapa yang mendengar? Deburan ombak, suara angin berembus dan dentuman musik pesta pantai di sisi lain menenggelamkan suaranya jauh hingga ke dasar laut.
"Menjeritlah semaumu. Raditya dan yang lain tidak akan mendengarnya," ejek sosok pria yang mengungkung tubuh Riena dengan bau alkohol begitu menyengat keluar dari mulutnya. "Teriaklah, Riena! Aku semakin bersemangat ketika mendengar suara perempuan lemah tidak berdaya. Sungguh rintihanmu membuatku semakin bergairah."
Riena seketika terdiam. Sorot mata penuh kebencian dan kemarahan yang bercampur dengan deraian air mata, bias tak terlihat tertutup juntaian anak rambut yang sudah acak-acakan menimpa wajahnya. Tangan perempuan itu mengepal sempurna, tekanan kasar bertubi-tubi pada alat vitalnya semakin mengganas. Menyisakan rasa perih dan panas luar biasa. Bulir-bulir pasir menempel di bagian pinggulnya ke bawah. Celana dallam yang dikenakannya, entah sudah dilempar kemana.
"Jangan pura-pura kesakitan, Riena. Aku yakin kamu diam-diam menikmati. Bagaimana? Pastinya Aku jauh lebih memuaskan ketimbang Raditya, bukan?" Pria di atas tubuh Riena itu semakin semangat menggerakkan pinggulnya. Tidak peduli betapa perempuan dibawahnya benar-benar muak dengan apa yang dia lakukan.
"Rasakan kamu Raditya. Sekarang kita impas." Pria tersebut beranjak bangkit setelah berhasil mencapai puncak birahi laknatnya.
Seringai tawa pria yang sama sekali tidak dikenal oleh Riena itu terdengar bagaikan suara iblis. Ingin rasanya dia meludahi, menjambak, menendang atau memukul sosok yang kini sedang memakai celananya kembali itu dengan brutal. Namun apa daya, badan Riena terasa remuk redam tanpa daya.
"Raditya akan hancur ketika melihatmu gila. Dan Aku tidak sabar menunggu saat itu tiba. Cepatlah menjadi gila, Riena." Pria itu mendekatkan wajahnya lebih dekat. Membuat Riena kali ini bisa merekam wajah iblis itu dengan jelas walaupun pencahayaan amat temaram. Dengan kebencian yang membuncah, Riena mengumpulkan liurnya dan meludahi pria di depannya---tepat mengenai bagian mata pria tersebut.
PLAKKK
Tamparan keras seketika mendarat di pipi kanan Riena. "Dasar jallang! Percuma kamu melawanku sekarang. Ludahmu ini, tidak bisa menghapus kenyataan bahwa aku sudah menyetubuhimu. Kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu sebagai perempuan. Buat apa lagi kamu hidup? Tidak ada guna!"
Sederetan kata-kata tersebut jelas diucapkan untuk memberikan tekanan batin pada Riena. Secara psikologis, jiwanya sudah pasti sangat terguncang. Hal itu memang menjadi tujuan utama dari sosok pria yang benar-benar asing di mata Riena tersebut.
Perlahan, perempuan tersebut berusaha bangkit. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seakan telah meninggalkan lemak dan kulit yang biasa membungkusnya. Pandangan Riena sedikit kabur karena kepalanya masih terasa berat akibat hantaman benda tumpul di tengkuknya tadi. Sungguh dia tidak dalam kondisi kuat untuk berdiri. Ditambah lagi, nyeri luar biasa dirasakan pada bagian sensitifnya.
"Aku harus kuat. Aku bisa," lirih Riena sembari berusaha melangkahkan kakinya dengan gontai menuju cottage tempatnya menginap dua hari belakangan selama di Pulau Dewata.
"Bagus... temui Raditya. Katakan padanya apa yang sudah Aku lakukan padamu. Dia pasti akan membuangmu seperti sampah." teriak pria tadi diikuti tawa menggelegar yang membuat hati Riena semakin hancur.
Baru beberapa langkah berjalan, kaki Riena rasanya sudah tidak kuasa lagi untuk melangkah. Air mata Riena pun tumpah. Dia menjerit dan menangis begitu histeris. Berkali-kali bahkan mungkin sudah ratusan kali dia menjeritkan kata "tolong". Usaha Riena tentu sia-sia belaka.
Tidak mampu lagi menahan rapuh dan laranya jiwa raga, Riena terlihat limbung. Sedetik kemudian, tubuh perempuan itu pun akhirnya luruh menyentuh butiran pasir tanpa aba-aba. Riena terkapar tidak sadarkan diri. Tanpa disadari, sepasang mata yang juga menjadi saksi bisu peristiwa yang baru saja terjadi, malah tersenyum puas dengan apa yang dialami oleh Riena.
****
Beberapa waktu berlalu, Riena merasakan belaian angin pada kulit kakinya. Begitu dingin. Sekuat tenaga, perempuan tersebut berusaha untuk membuka kedua bola matanya. Dengan pandangan yang masih sedikit kabur, dia mencoba memperhatikan keadaan sekeliling.
"Siapa yang membawaku ke sini?" Riena bertanya pada diri sendiri begitu menyadari dia sudah berada di beranda cottage yang ia tinggali selama beberapa hari ini di Bali.
Riena lalu berusaha bangkit berdiri, ingatannya kembali dipenuhi dengan kejadian keji yang baru saja menimpanya. Setelah berhasil berdiri dengan susah payah, dia berjalan tertatih masuk ke dalam cottagenya dan terus menuju kamar mandi dengan gontai. Dilepaskannya dres yang melekat ditubuhnya dengan gerakan kasar. Tanpa membuka kancing depannya satu per satu, Riena menarik paksa dres yang memang sudah terkoyak tersebut dengan mata yang masih berlinangan bulir bening. Tidak sengaja menatap pantulan wajahnya di depan cermin, Riena serasa sedang melihat benda yang menjijikkan sekaligus menakutkan. Perempuan itu bergidik dan berteriak histeris dengan tangan yang terus berusaha merobek-robek kain dresnya.
"Aku kotor! Aku menjijikkan!" Riena melemparkan bajunya ke tempat sampah kamar mandi. Tidak cukup sekali itu saja, dia terus mengucapkan kata-kata itu hingga berulang-ulang.
Setelah tidak mengenakan sehelai benang pun, Riena mengguyur dirinya dengan air dingin di bawah pancuran shower. Perih dan sakit tidak lagi dipedulikan. Bahkan Riena berkali-kali menggosok bagian kemaluaannya dengan sabun berbusa-busa. Berharap jejak si pria laknat itu tidak membekas dan tertinggal di sekujur tubuhnya.
Hampir satu jam Riena berada di dalam sana. Membasuh, mengusap, memberi sabun, menggosok, lalu dibasuh lagi hingga berulang kali. Meski tersamarkan dengan guyuran air shower, deraian air mata tak kunjung mereda keluar dari pelupuk mata Riena.
Seharusnya besok dia dan Raditya akan merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima tahun. Raditya yang masih menyelesaikan pekerjaannya di negeri gajah putih, baru mendapatkan jadwal penerbangan ke Bali dini hari nanti. Sementara Riena yang berangkat terlebih dahulu karena harus menghadiri pernikahan salah satu relasi, malah mengalami peristiwa luar biasa menyakitkan.
"Aku tidak mungkin mengecewakan Mas Raditya. Tapi aku tidak pantas lagi untuknya, ya Allah. Aku kotor, Aku menjijikkan. Menjaga kehormatan seorang istri saja aku tidak bisa. Istri macam apa aku ini? Aku tidak berguna." Riena kembali berteriak histeris. Tangannya terus bergerak menggosok-gosok kulit putihnya yang mulus hingga memerah. Akibat perbuatan pria laknat tidak dikenal tadi, beberapa bagian tubuhnya juga tampak memar dan lecet.
Terlalu lama berada di dalam kamar mandi, membuat tubuh Riena yang memang sudah tidak baik-baik saja semakin memburuk. Suhu tubuhnya semakin tinggi dengan kondisi menggigil. Seharusnya Riena memeriksakan diri ke dokter, tetapi dia tidak mungkin melakukannya karena rasa malu dan ketakutannya bertemu dengan orang lain.
"Ya Allah, ampuni semua dosa-dosaku, ya Allah." Riena beristighfar sembari melangkah gontai keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk kimono. Perempuan itu lalu mengenakan sweater hangat dan segera berbaring di atas ranjang. Meringkuk kedinginan dengan kondisi yang benar-benar lemah dan memprihatinkan.
Riena tidak hentinya menangis. Kini dia harus menanggung semua sendiri. Belum sanggup rasanya untuk berbagi cerita atau mengandalkan orang lain untuk membantu dirinya keluar dari permasalahan yang baru saja dihadapi. Selain rasa malu dan rendah diri, segala hal tentang Radityalah yang kini menjadi pertimbangan tersendiri.
Terlalu lelah dalam tangis dan kesedihan, Riena pun tertidur. Sesekali masih terdengar isak dan rintih dari bibir perempuan itu. Apa yang baru saja dilalui sangat berat, hingga terbawa ke alam bawah sadarnya. Dalam keadaan tidur saja, pelupuk matanya masih mengeluarkan bulir bening.
"Bee," suara lirih seorang laki-laki diikuti sentuhan lembut di pundak Riena, membuat perempuan itu seketika berteriak histeris.
"Jangan sentuh Aku! Tolong!" Riena langsung meringkuk di ujung ranjang. Memeluk kedua lututnya dengan tubuh yang gemetaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
dsifadian
Semangat Reina, kamu pasti kuat
2023-02-11
0
Ig :@kak_karma
Udah trauma kamu Rie 😶
2023-02-11
0
Ig :@kak_karma
Uhm, malah ngeri bagian ini 😶
2023-02-11
0