Raditya mundur selangkah dari posisinya sembari mengangkat kedua tangannya. Bukan pertanda menyerah, hanya meyakinkan Riena bahwa dia tidak akan mendekat lagi. Tangis Riena pun kembali pecah. Raditya benar-benar bingung. Bisa saja dia bersikap tegas dan keras, tetapi melihat kondisi Riena sekarang, jelas hal itu bukan pilihan yang tepat.
"Biarkan aku sendiri dulu, Ay," pinta Riena sembari meringis menahan ngilu di badannya diiringi isakan tangis.
"Makan dulu. Setelah itu minum obatnya. Hanya penurun panas biasa. Please, Bee. Jangan buat aku khawatir dan bingung seperti ini. Apa yang kamu rasakan, berbagilah denganku." Raditya kembali berusaha membujuk Riena.
"Aku baik-baik saja."
Raditya tersenyum miris. Lalu dengan emosi yang begitu ditahan, pria tersebut berkata, "Pintar lah sedikit jika ingin berbohong, Bee. Orang bodoh mana yang percaya kamu baik-baik saja? Katakanlah aku buta. Tapi aku tetap bisa mendengar suara isak tangismu dan bicaramu yang bergetar. Katakanlah aku ini tuli. Tapi mataku ini bisa melihat mata dan wajahmu yang sayu, juga tubuhmu yang sesekali gemetaran."
Riena mencoba mengatur napasnya. Perempuan tersebut memalingkan wajah ke sisi kanan tembok. Raditya memang benar. Jika dia tidak sanggup berbicara jujur, tidak seharusnya dia selemah ini. Namun, siapa orangnya yang bisa pura-pura kuat setelah mengalami sebuah tindakan yang begitu keji? Seandainya ada, Riena akan menemui orang itu untuk belajar banyak dalam menyembunyikan luka dan air mata.
"Kalau kamu belum siap cerita sekarang, tidak mengapa. Asal jangan begini. Kamu memintaku tidak mendekat, aku akan jaga jarak kita. Kamu tidak ingin aku menyentuhmu, aku akan menjaga tanganku. Tidak mengapa, Bee. Tapi pastikan kamu memang baik-baik saja." Raditya duduk di sofa single di dekat pintu kamar, sesaat setelah mengatakan hal tersebut pada istrinya.
Inilah yang membuat Riena semakin merasa rendah diri, malu dan tidak pantas lagi mendampingi Raditya. Pria itu memang sangat baik dan memiliki kesabaran yang luar biasa. Menghadapi perempuan mandiri dan keras kepala seperti Riena bukanlah hal yang mudah, tetapi tidak demikian bagi Raditya. Karena bersamanya, Riena tidak setegas dan sekaku seperti saat menghadapi bawahannya.
Setelah tangisnya mereda, perlahan Riena menggeser tubuhnya mendekati meja di samping ranjangnya. Dia pun berusaha untuk duduk tegak seperti biasa. Sakit dan luka seharusnya disembuhkan, bukan hanya dilawan atau disembunyikan. Riena menyadari hal itu sepenuhnya, hanya saja masih belum ada kekuatan untuk melakukan sebuah tindakan nyata. Dia butuh waktu untuk menerima kondisinya sendiri. Menerima bahwa sudah ada makhluk laknat yang menodai kehormatannya dengan brutal.
Riena perlahan memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya. Tidak tahu bagaimana rasanya. Dia langsung menelan tanpa mengunyahnya terlebih dahulu. Tatapan mata Riena semakin kosong. Pikirannya pun kembali melayang pada peristiwa semalam. Meski pikirannya masih keruh, terlintas dibenak Riena bahwa pelakunya pastilah salah satu teman atau relasi sang suami. Siapa dan apa tujuannya? Entahlah, dia masih belum berpikir sejauh itu.
"Jangan dipaksakan kalau memang tidak habis. Yang penting ada makanan yang masuk. Kasih jeda sebentar, baru minum obat." Meski keberadaannya tidak diinginkan, Raditya masih setia menunggui Riena.
Seperti tidak mendengar suara Raditya sama sekali. Riena terus menyuapkan sesendok demi sesendok bubur ke dalam mulutnya hingga mangkok itu bersih tidak berisi. Bahkan Riena terus menyuapkan sendok kosong ke dalam mulutnya.
Hati Raditya mendadak merasakan nyeri luar biasa. Tidak terasa air matanya menetes. "Apa yang terjadi padamu, Bee? Aku takut melihat kondisimu sekarang? Aku tidak sanggup." Raditya bergegas keluar kamar sembari menyeka air matanya.
Seperti yang dikatakannya tadi. Dalam keadaan buta atau tuli sekali pun, jelas Raditya bisa merasakan betapa kondisi Riena sedang sangat kacau. Dan parahnya, dia tidak tahu menahu apa yang menyebabkan kondisi istrinya berubah sedrastis itu.
Hidup mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun. Ditambah lagi mereka juga sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selama tiga tahun. Bukan waktu yang singkat untuk memahami satu sama lain. Bahkan tanpa kata-kata, apa yang menjadi maksud dan keinginan Riena pun hampir bisa dimengerti oleh Raditya. Begitu pula sebaliknya.
"Bee, aku harus mulai darimana untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu?" lirih Raditya. Hanya dirinya yang mampu mendengar.
Raditya beranjak berdiri. Pria tersebut melangkahkan kaki mencari pegawai cottage . Dia ingin menanyakan beberapa hal yang mungkin saja bisa menjadi petunjuk untuk mengetahui penyebab istrinya terlihat seperti orang yang mengalami depresi berat. Tetapi sia-sia, hampir semua pegawai yang ditemui Raditya menjawab tidak ada kejadian apa pun yang dilaporkan penghuni cottage dalam tenggang waktu yang ditanyakannya.
"Sepertinya aku harus menunggu sampai kamu yang bercerita langsung, Bee." Raditya akhirnya menyerah dan memilih kembali ke cottage. Dia beristirahat di ruang tengah. Mengabaikan suara cacing diperutnya yang meronta ingin dijejali makanan.
Sampai waktu hampir menunjukkan waktu dhuhur, tidak ada tanda-tanda pintu kamar istrinya dibuka. Raditya yang sempat ketiduran seketika panik saat terbangun. Dia khawatir kalau sampai istrinya itu keluar diam-diam tanpa sepengetahuannya.
"Syukurlah!" ucap Radity begitu membuka pintu kamar, Riena tampak berbaring di atas ranjang dengan posisi terlentang dan tubuh tanpa selimut seperti sebelumnya.
Pria tersebut perlahan mendekati sang istri, berniat memakaikan selimut. Namun, baru beberapa langkah dari ambang pintu, dia melihat darah segar mengalir dari pergelangan tangan Riena. Bahkan seprei dibawah tangan istrinya itu juga sudah bersimbah darah.
Raditya berlari menghampiri Riena. Bibir perempuan itu tampak membiru, begitu juga dengan kulit wajahnya. Kepanikan seketika melanda pria berusia hampir tiga puluh lima tahun itu.
"Bee, bangun, Bee ... jangan begini. Ayo bangun!" Raditya menepuk-nepuk pipi Reina. Tentu saja tidak ada reaksi.
Tanpa berpikir panjang, Raditya segera menggendong tubuh Riena. Pria itu terus berjalan keluar cottage. Seperti tanpa membawa beban, Raditya berjalan begitu cepat sembari berteriak meminta tolong. Tangan kanan Riena yang menggelantung dan terkulai lemas sesekali tampak masih meneteskan darah. Hingga memberikan jejak titik-titik merah dengan jarak tertentu pada lantai yang mereka lewati.
Beberapa penghuni cottage ikut keluar mendengar teriakan Raditya, begitu pun dengan pegawai cottage. Salah seorang dari mereka menghampiri Raditya. Menawarkan bantuan untuk mengantar ke parkiran mobil dengan menggunakan buggy car. Mengingat jarak cottage dengan area parkir atau gerbang keluar masuk dari jalan raya memang jauh, Raditya pun menerima tawaran tersebut. Riena harus dibawa ke rumah sakit secepat mungkin.
Raditya memangku tubuh Riena yang semakin membiru dan lemas terkulai. Istri dari pria yang menawarkan pertolongan tadi juga ikut serta bersama mereka. Kebetulan perempuan tersebut berprofesi sebagai dokter. Dengan sigap dia memeriksa denyut nadi Reina pada bagian tangan yang tidak terluka.
Perempuan itu menghela napas dalam. Lalu menatap Raditya lekat-lekat. Bibirnya sudah sedikit terbuka. Hendak mengucap sesuatu, tetapi masih tertahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
@ℛᎧʂʂᥱᥒᥡᥲrN⃟ʲᵃᵃ࿐
Pasti luka yang Riena buat dalem bgt
2023-02-15
0
@ℛᎧʂʂᥱᥒᥡᥲrN⃟ʲᵃᵃ࿐
Mba Riena 😭😭
2023-02-15
0
@ℛᎧʂʂᥱᥒᥡᥲrN⃟ʲᵃᵃ࿐
😭😭😭😭
2023-02-15
0