ala-ala sinetron

Satu tamparan disusul tamparan berikutnya. Neta bahkan tidak diberi kesempatan untuk membela diri, tubuhnya di dorong menabrak meja. Bahkan kepalanya langsung di siram menggunakan air yang tersaji.

"Kau rubah licik, tak tahu, malu, ******."

Rentetan makian terus berlanjut tanpa ada yang bisa mencegah. Emosi Vita meluap sejadi-jadinya. Pernikahan ini adalah impiannya dan dia harus kehilangan itu di depan mata oleh seorang gadis kecil yang bahkan masih dalam tahap pertumbuhan. Betapa suatu penghinaan bagi dirinya dan ia tak akan membiarkan itu.

Di posisinya, Neta yang masih berusaha mencerna situasi hanya terdiam menerima. Pipinya terasa sakit di tambah sekarang kepalanya basah dan terasa lengket.

Apa-apaan? Pikirnya bingung.

Ia berdiri di bantu sang ibu yang semenit lalu mendatanginya setelah mendorong sang sepupu dan melayangkan sebuah tamparan balasan. Ibunya ikut berteriak memarahi sang sepupu yang mengamuk.

Saat Neta berhasil berdiri di atas kakinya keadaan sangat ramai. Seluruh keluarganya mengelilingi mereka dan Vita yang tiba-tiba mengamuk.

Apa ini? Neta mengerutkan alis. Ia merasa sedang berada dalam sinetron ungkapan perih seorang istri yang suka tayang di stasiun tv ikan terbang. Di mana di sini ia sedang melakoni protagonis utama wanita teraniaya dan menyedihkan.

Neta menggeleng kecil menyadarkan pikirannya yang mulai melantur ke mana-mana. Namun sungguh sulit untuk tidak merasa demikian setelah semuanya. Ia benar-benar ada di posisi orang terzolimi dengan si antagonis yang sedang unjuk gigi.

"Kau, jangan harap aku akan membiarkan ini. Dasar ... Pela.. r. "

Bahkan kata-kata yang diucapkan sang kakak sepupu pun sama. Klise sekali, makian tak berbobot yang hanya menunjukkan di mana kelasnya. Neta gatal sekali ingin mengomentarinya dengan mengatakan setidaknya pilihlah kata kreatif kalau mau marah-marah. Namun situasi tidak mendukung jadi ia hanya menahan keinginan itu dalam pikiran.

"Cukup, Vita. Apa-apaan kau ini?"

Itu sang kakek, berdiri di tengah-tengah. Wajahnya merah oleh emosi dan matanya melotot penuh murka.

"Kau seharusnya malu dengan perbuatanmu. Tidak cukup kabur dari pernikahan sekarang kau malah memukuli adikmu yang sudah menyelamatkan nama baik keluarga? Dasar memalukan."

Dalam diam Neta mengangguk setuju dengan sang kakek. Kakaknya ini bisa jadi lulusan universitas terkenal tapi kelakuan dan tata bahasanya mirip orang baru keluar Gua. Tak berkelas dan selalu mengulang kata yang sama. Persis bayi baru belajar berbicara.

"Tapi kek, dia merebut calon suamiku."

Apa? Siapa yang merebut? Di sini dirinya lah yang direbut, lebih tepatnya masa depannya.

Neta menatap malas pada sang sepupu yang melorot di lantai dengan ekpresi menyedihkan. Vita berantakan dan menangis tersedu-sedu.

Para hadirin yang kebetulan terlibat drama hanya menonton. Beberapa mulai saling berbisik membuat gossip. Sementara itu sang sepupu yang lain hanya terdiam dengan senyum tertahan merasa puas dengan adegan yang terjadi.

Di tempatnya Adrian memandang keributan yang pecah dengan helaan napas lelah tanpa ada niatan melibatkan diri. Ia sudah menduga hal semacam ini akan terjadi tapi tidak menyangkah akan secepat ini. Terlebih baru beberapa jam dari pengesahan pernikahan.

Namun dari semua itu, tanggapan sang istri lah yang membuatnya tertarik. Gadis itu baru di pukuli setelah dengan mulianya menyelamatkan wajah keluarga dari rasa malu tapi alih-alih marah atau merasa teraniaya. Istrinya itu malah bersikap santai dengan pandangan bosan.

Ia bahkan menatap tingkah sepupunya itu dengan cemoohan besar. Seolah kakaknya sedang melakukan hal memuakkan yang membuatnya bosan.

"Lo, enggak belain istri Lo?" Dante menyenggolnya pelan.

"Enggak usah, ntar juga kelar sendiri. Lagipula itu hal biasa di drama keluarga. Biarkan saja kita menonton."

Sungguh menantu kurang ajar. Para orang tua akan beranggapan demikian tapi Adrian tidak peduli. Anggota keluarga Baskoro memang tak tahu malu jadi ia pun tidak mau ambil peduli.

Di sebelahnya Dante cengoh tak habis pikir dengan respon sang sahabat. Bagaimana bisa ia menanggapi kejadian seperti itu dengan begitu dingin.

"Ikut aku." Baskoro menarik cucu perempuan tertuanya keluar dari aula. Diikuti para paman, Tante, sepupu, bahkan ayahnya juga.

Vita sempat berontak tapi pengawal sang kakek membuatnya tak berkutik. Ia diseret paksa menjauhi aula.

"Kamu baik-baik aja kan?"

Sang ibu yang sedang menjalankan perannnya bertanya. Neta hampir saja jantungan mendengar pertanyaan itu. Biasanya ibunya hanya menatapnya saja, jangan kan bertanya kadang pedulipun tidak. Namun mungkin karena di sini banyak tamu dan ia harus menjaga image.

"Sedikit sakit, ma."

Neta tidak bohong. Pipinya memang nyut-nyutan. Mungkin juga bengkak mengingat berapa kali Vita melayangkan tangannya tadi.

"Sebentar, mama cari obat dulu."

Neta memegang pipinya dan duduk di bantu sang sama. Sedikit penyesalan dihatinya tadi karena terlambat bereaksi padahal ia bisa saja ikut ambil peran tadi minimal pura-pura menangis. Namun sayang ia masih dilanda shock yang berkepanjangan jadi cuma bisa cengoh diam.

Bicara soal diam, tak jauh darinya sang suami juga tengah melakukan hal serupa. Ia berdiri diam tanpa melakukan apa-apa. Bukannya Neta ingin di bela atau apa tapi minimal pria itu harus membaca kondisi kalau tidak mau di cap jelek. Namun mungkin pria itu juga tidak peduli jika di cap jelek, dia benar-benar tidak peduli pada apa yang terjadi.

Ah, sial, ini akan berbekas besok. Neta mengusap pipinya menatap Adrian yang baru saja terbangun dari kutukan batu. Ia berjalan mendekat melangkah anggun dalam versi laki-laki.

"Kamu baik-baik aja kan? Maaf tadi seharusnya aku enggak ninggalin kamu."

Neta mengerjakan mata, memiringkan kepala. Wah? Apa ini? Kerasukan apa makhluk satu ini? Begitulah isi pikirannya. Ia menatap sang suami takjub sedetik kemudian bergidik ngeri.

"Iya, enggak apa-apa."

Toh cuma tamparan doang, masih amanlah itu. Tadinya Neta pikir akan ada pisau atau pistol dan darah-darah sayangnya cuma adegan klise biasa.

"Sayang banget, kamu enggak ambil peran. Padahal bagus Lo, buat image baik."

Adrian mengerti sindiran sedang dilayangkan padanya, hanya saja ia tidak paham kemana konteksnya. Ia tidak butuh image baik dan bertanya secara murni karena kasian. Gadis itu tidak bersalah tapi harus menerima dampak tak kira-kira.

"Dramanya terlalu biasa. Aku jadi malas gabung."

Adrian menyeringai mendapati eskpresi masam sang istri.

"Ayo, pulang. Kita harus menikmati malam pertama kan?"

Delikan ganas ia dapatkan sebagai jawaban. Neta yang tahu Adrian sedang menggodanya ingin melemparkan sesuatu ke arah wajahnya.

"Tentu saja. Aku tidak boleh membiarkan hal sepele ini merusak semuanya. Mari suamiku."

Menyambut uluran tangan yang tersedia Neta berjalan keluar aula bersama sang suami. Beberapa pasang mata yang tadi menatapnya kasian segera berubah iri.

Neta yang melihat itu hanya bisa mendecih sinis. Benar-benar dangkal, pikirnya prihatin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!