Menikahi CEO Tukang Desah
Semilir angin lembut yang membawa aroma manis bunga. Cahaya keemasan matahari pagi yang bersinar hangat. Biru cerah langit melatari hijau dedauan yang berguguran indah. Sungguh defisini musim panas yang sempurna.
Neta sedang berjalan santai menikmati angin yang memainkan rambut panjangnya saat tiba-tiba sebuah mobil metalik mengkilat lewat. Roda depan mobil yang entah bagaimana meniti kubangan air itu otomatis menciprat ke arah seragam putihnya. Neta yang mandi secara tak sengaja itu sesaat terkaget lantas mendumel.
"Semoga Lo kecelakaan. Jahanam."
Dipandanginya mobil merah gelap itu dengan dendam. Dalam hati bersungut-sungut berharap siapapun pemilik mobil itu akan mengalami hal yang lebih buruk dari ia terima.
"Apa Lo, liat-liat," katanya melampiaskan emosi pada kucing malang yang terjebak situasi.
Kucing kecil itu mengeong pelan yang mana dalam pandangan Neta adalah mentertawakan keadannya. Membuat gadis itu berang dan melemparinya dengan batu.
Gadis itu mengusap wajah dan bagian pakaian kotornya seadanya dengan tisu. Berjalan melanjutkan kegiatan tertunda. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih dan jelas ia akan terlambat, juga mungkin akan menerima hukuman gara-gara bajunya. Sialan! Gadis itu terus mengumpat di sepanjang jalan, bahkan ketika memasuki gerbang suaranya semakin terdengar jelas.
Yatno satpan sekolah yang kebetulan berada dalam jarak dengar terkaget mendengar gadis manis yang jadi teladan di sekolah itu mengumpat. Ia menggelengkan kepala kecil menganggapi kelakuan gadis itu. Dasar anak muda pikirnya.
Di koridor seorang gadis berseragam lainnya duduk, kemudian mengerenyit menyaksikan sahabatnya ber-make up kan kubangan lumpur. Wah, trend terbaru tuh, pikirnya menahan tawa.
"Apa ini, mbak Neta? Tutorial make up terbaru?"
Yang di tanya melemparkan pandangan ganas. Berjalan mendekat dengan kecepatan kuda lumping.
"Yah, gitu deh, karya mobil metalik merah," katanya mendelik ganas.
Sementara sang sahabat tertawa lebar tanpa dosa. Orang-orang di koridor yang mendengar percakapan keduanya tak pelak ikut-ikutan tertawa.
"Apa sih?" Neta makin cemberut berjalan di koridor dengan aura ayam sedang fase mengerami.
"Relax, neng. Kita ke toilet dulu, make up Lo terlalu anti mainstream tahu."
"Jangan bahas deh ya." Suara Neta meninggi, mempertimbangkan untuk mendatangi dukun setelah ini. Ia sempat menghapal plat nomor mobilnya tadi jadi tinggal cari tahu siapa sekiranya sang pemilik. Setelah itu baru dia akan merealisasikan rencananya.
Jam pelajaran di mulai saat Neta menatap guru botak yang tengah menjelaskan mengenai tata Krama dalam bermasyarakat. Pria tua itu berbicara dalam nada-nada lemah yang mana membuat para muridnya otomatis bosan dan mengantuk.
Neta menggeleng kecil menyaksikan satu persatu temannya mulai pergi ke alam mimpi. Ada yang telungkup di meja, ada yang memasang buku sebagai tameng, bahkan Deandra temannya sudah kabur keruang UKS.
Neta adalah murid teladan dan ia harus mempertahankan tittlenya sampai akhir. Kalau tidak yang mulia kanjeng eyang Baskoro di rumah akan menceramahi ya berhari-hari.
"Di zaman ini, moral anak muda semakin memprihatikan ... "
Pak Rahmat berbicara pelan, menjelaskan keprihatinannya pada bagaimana kelakuan anak sekarang yang kekurangan moral. Wajahnya sangat kuyuh mencerminkan jika kata-kata itu datang dari hati. Ia tidak perlu melihat jauh-jauh, murid-murid di belakangnya sekarang sudah menunjukkan contoh nyatanya. Mereka sama sekali tidak bisa menghargai usaha orang lain dan kalau ditegur ada aja jawaban nyelenehnya.
Memilih mengabaikan karena menyadari bahwa menegur hanya akan percuma. Pak Rahmat masih terus berbicara sampai Bell berbunyi. Ia meletakkan spidol bersamaan dengan para murid yang mendadak bangun.
******* napas lega terhembus dari segala penjuru yang mana menohok hatinya cukup dalam. Namun ia sudah terlalu sering melihat tingkah menyedihkan itu dan tahu bagaimana mengatasinya.
"Baiklah, anak-anak, jangan lupa tugas rumahnya di kumpul Minggu depan. Di tulis tangan dan dijabarkan."
Pak Rahmat diam-diam mengulum senyum menyaksikan gerutuan pedas keluar dari seluruh siswa. Pembalasan yang manis untuk sisa malas. Ia berlalu menuju ke ruang guru.
Sepeninggalnya kelas menjadi sangat ramai, kacau, dan berantakan. Masing-masing mulut siswa berbicara membahas berbagai macam hal.
"Net ntar malam jadi nontonnya?"
Deandra secara ajaib segar bugar saat jam pelajaran selesai berbicara menggebu. Ia sudah menemukan sebuah flim bagus untuk menghabiskan malam Minggu dan akan memaksa Neta ikut bersamanya.
"Enggak, ada acara penting." Neta menyahut pendek, menopang dagu. Matanya memperhatikan Deandra yang cemberut dan tersenyum.
"Acara apaan?"
"Keluarga."
Deandra tahu keluarga Neta itu seperti apa, tapi ia tidak benar-benar mengira kalau hal semacam itu ada. Pikirnya itu cuma di dalam sinetron dari negeri Hindustan. Bayangkan saja, beberapa keluarga tinggal dalam satu rumah, pasti sangat berisik. Deandra bergidik keluarga Neta itu aneh.
"Ada ritual wajib baru?"
Deandra tahu bahwa keluarga besar Neta itu punya semacam ritual wajib yang mesti dijalani oleh setiap anggota dan yang menolak akan di hapus dari daftar keluarga dan otomatis tidak mendapat kan jatah warisan. Secara mereka keluarga kaya.
"Yah gitu."
Neta cemberut lagi, yang mana membuat alis Deandra terangkat heran. Pasti berat pikiranya dalam hati. Neta jarang memasang ekpresi seperti itu jadi pasti bukan hal yang bagus untuknya.
"Apaan?"
"Ada deh, kapan-kapan gue ceritain ya. Gue mau ke ruang guru dulu."
Deandra menatap kepergian sahabatnya sampai lenyap dari pandangan kemudian mengalihkan atensi pada buku novel bertuliskan 86 di tangannya.
"Siapa lagi ya yang mati kali ini," gumannya kecil.
Pada saat bersamaan di koridor. Neta berjalan lunglai kesal membaca pesan yang barusan dikirimkan sang sepupu. Bodoh amat, Neta mendumel mengaktifkan mode capung di handphonenya.
Jam pelajaran memakan waktu lebih lama dari seharusnya membuat Neta yang terlambat jadi sasaran empuk ocehan para sepupu dan tante-tantenya. Gadis itu membungkuk mengucap maaf berkali-kali. Ibunya belum datang jadi otomatis dirinya sendirian harus menangani penghinaan untuk kali ini.
Mereka sedang mencoba baju seragam untuk acara pernikahan nanti malam. Setiap orang punya gaya masing-masing yang mana semuanya berwarna sama. Itu merupakan ketentuan dari yang mulia kanjeng Baskoro, semua orang dilarang menolak.
"Seharusnya aku yang di sana." Gita sepupu perempuan nomor tiganya yang baru saja lulus kuliah mendecak sinis. Memandang pada sepupu lainnya yang sedang memakai baju pengantin, Vita.
"Udah, ikhlasin aja, apalah arti kita dibanding tuan putri satu itu." Sepupu lainnya menimpali, Wita. Menatap tak kalah sinis.
Menyaksikan pemandangan biasa itu Neta hanya bisa menghela napas lelah. Mereka sejatinya sepupu tapi entah bagaimana bersikap seolah musuh bebuyutan. Satu sama lain tidak pernah akur dan hanya saling mengatai sinis setiap kali perkumpulan.
"Tahu dia bisa aja nikmatin baju pengantinnya, baju doang." Setelah mengibaskan rambutnya Gita menjauh tampak menghubungi seseorang. Wajahnya sesekali marah lalu tersenyum di akhir.
Dia pasti sedang merencanakan sesuatu, pikir Neta. Mengalihkan mata pada sepupunya yang akan menikah. Avita merlia Baskoro, dia yang paling tua di antara cucu-cucu perempuan Baskoro, dokter umum di sala satu rumah sakit terkenal. Ia cantik, anggun, berbakat, dan segudang prestasi lainnya. Cucu kesayangan Baskoro dalam versi perempuan yang laki-laki beda lagi.
Di sebelahnya Dewita Andara Baskoro, cucu perempuan nomor dua, cantik sih cuma ... Neta menggeleng membuka aib saudara itu tidak baik. Wita masih cemberut menatap iri pada kecantikan Vita juga keberuntungannya karena berhasil memenangkan hati CEO muda nan tampan Adrian.
Omong-omong soal Adrian, Neta belum melihatnya sama sekali dari tadi. Seharusnya pria itu sudah ada di sini menemani sang calon istri, tapi mungkin dia sibuk. Orang itu hanya tahu bagaimana mencari duit dan menghabiskannya untuk mendesah di ranjang.
Neta terkikik sendiri.
"Lo, kerasukan?"
Gita yang baru masuk kembali menegurnya. Melemparkan pandangan aneh.
"Enggak," Neta menggeleng, memilih keluar dari butik. Dirinya merasa pengap berada di antara orang-orang yang sedang berperang dingin.
Neta baru saja akan mendekati penjual es cendol saat matanya menangkap sebuah mobil familiar. Mobil metalik merah gelap berlflat yang di hapalnya memasuki halaman parkir butik. Ia menghentikan langkah menunggu untuk melihat si pemilik mobil, orang yang ingin ia hukum menggunakan jasa dukun pagi tadi.
Pintu terbuka di detik berikutnya, seseorang pun keluar. Setelan jas mahal di tambah penampilan memukaunya membuat Neta silau, lalu tersadar ketika pria itu membalik badan.
Dia ... Adrian admaja tunangan sang kakak sepupu sekaligus pelaku penyiraman air kubangan pagi tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Desnisa Sitorus
judulnya out of the box😅
2023-02-06
1