bencana di malam acara

Adrian admaja, pebisnis muda wajahnya sering menghiasi sampul majalah bisnis, berparas rupawan, jago bela diri, dan segudang skill lainnya. Sala satu the most wanted di Indonesia. Neta nyaris muntah ketika pikirannya diisi dengan semua tulisan yang pernah dibacanya mengenai pria itu.

"Percuma banyak skill kalo kelakuan moral minus."

Sorot kemarahan berkobar laksana api berharap itu akan mencapai sang pria dan membakarnya hidup-hidup.

"Mbak jadi beli?" Tukang es cendol bertanya ragu-ragu menyadari uap panas imajiner yang keluar dari tubuh sang gadis muda.

"Yah, satu aja."

Neta langsung menyedot es tanpa basa-basi menghabiskannya dalam dua menit. Di sebelah tukan es cendol mendadak cengo, ampun dah, pikirnya, anak muda sekarang. Makan aja enggak sabaran.

Melempar es ke tong sampah terdekat Neta memasuki lagi butik hanya untuk mendapati keadaan ramai. Para sepupunya yang berhenti ria kendati sang calon pengantin perempuan berada di tempat. Neta tidak akan heran jika suatu saat nanti ada gonjang-ganjing perselingkuhan. Sekarang saja mereka sudah mulai memberi tanda-tanda.

"Neta, kok belum nyoba bajunya?"

Vita sang calon pengantin berbicara sengaja meninggikan nada suaranya guna menghentikan tingkah tak tahu malu saudaranya yang lain. Ia tersenyum lebar menatap bungsu perempuan dalam keluarga Baskoro itu.

"Eh, nanti aja kak, kayaknya itu udah pas."

Semua pandangan mengarah pada Neta dengan sorot beragam. Kebanyakan adalah marah karena kedatangannya tak tahu waktu telah mengganggu. Di tempatnya Neta meringis kecil merasakan beberapa pandangan menusuk itu.

Ia melangkah pelan merasa kikuk terutama ketika pandangan Adrian sedang menatap padanya. Itu bukan yang pertama tapi tetap saja ia merasa tidak nyaman. Pandangan pria itu selalu begitu sejak dulu. Tatapan tak berminat yang merendahkan.

Sayang sekali saudaranya yang lain tak menyadari itu. Mereka masih saja tergila-gila dan saling berlomba untuk menjadi pasangannya. Padahal pria itu selalu mengabaikan mereka bahkan pernah sekali Neta mendapati pria itu dan komplotannya tengah mengatakan hal buruk tentang para saudaranya itu.

"Ga usah malu, coba aja, nanti enggak pas Lo."

Vita bersikeras, menarik lembut sang sepupu. Gita yang melihat itu mendengus sinis, mulai deh cari muka, pikiranku kesal. Vita selalu tahu bagaimana mengambil kesempatan untuk mencuri perhatian Adrian, menunjukkan betapa berkelas dirinya, bahwa dirinya bukan hanya cantik tapi juga baik.

Wita pun sama, ia memandangnya pandangan itu muak. Di belakang Vita sering kali menghina sepupu bungsunya itu, mengatakan hal-hal buruk, hanya karena dia terlahir dari mantan kupu-kupu malam.

"Aku coba diruang itu aja kak."

Neta memasuki ruang ganti memakai baju yang dijejalkan padanya. Sebuah gaun cantik dengan berbagai aksesoris cantik sebagai hiasannya. Gaun berwarna ungu itu tampak pas di badannya tapi ia tetap menolak menunjukkan diri dan segera mengganti pakaian begitu keluar.

Begitu keluar matanya langsung berhadapan dengan Adrian yang kebetulan baru mendongkak. Padangan keduanya bertemu dan Neta memalingkan padangan cepat. Sisi kesal dalam dirinya tiba-tiba bangkit mengingat kejadian padi tadi. Ingin rasanya ia melemparkan sesuatu pada wajah songong itu.

"Kok enggak di pake?"

Vita mendekatinya, tersenyum lembut.

"Bajunya pas kok. Udah kucoba lagi."

Neta buru-buru menjauh, mendapati mata-mata sepupu yang lain menatapnya tajam. Ia seperti dikuliti. Memilih kursi terjauh Neta menantikan dengan bosan ketika para sepupunya satu persatu unjuk diri. Mereka bahkan memilih gaun terbuka guna menarik perhatian sang pengantin pria, yang mana sia-sia. Pria itu hanya sibuk dengan gadgetnya tanpa sekalipun memberikan perhatian. Sepupu yang malang.

Proses mencoba gaun berlangsung cukup lama. Neta bahkan sampai terlelap saking bosannya.

Malam acara berlangsung meriah. Hotel bintang lima yang keluarnya sewa penuh oleh tamu-tamu bisnis kakeknya. Neta tidak mengenal satu pun dari mereka dan hanya memandang bosan. Para sepupunya entah kemana, Wita meminta izin datang terlambat, para tantenya sibuk saling menyombongkan diri pada para ibu-ibu sosialita lainnya. Ibunya sendiri sedang bersama sang ayah menjual senyum pada siapapun yang ditemuinya.

Acara utama akan dimulai satu jam lagi tapi ruangan sudah sesak oleh para tamu.

Neta sedang menikmati hidangan yang tersaji saat tiba-tiba seorang pengawal setia sang kakek masuk. Ia berjalan tergesa-gesa dengan wajah berkeringat dan pucat. Ia berbisik pelan yang mana membuat ekspresi sang kakek berubah drastis. Pria tua yang beberapa detik tersenyum hangat menjadi marah. Ia berjalan cepat keluar dari aula.

Para pamannya pun ikut keluar dengan wajah serupa. Mereka seperti para preman tanah Abang yang mendapat berita kalau tanah kekuasaannya di serang. Oke, itu berlebihan.

Para sepupunya pasti berbuat sesuatu lagi. Neta menggeleng meneruskan kegiatannya menyantap makanan. Lagipula ia memang lapas dan urusan orang dewasa bukanlah masalahnya.

Membuka gadget Neta mendapati puluhan panggilan sang sahabat, Deandra. Ia baru mengetik pesan untuk membalasnya ketika sang adik tiba-tiba memanggilnya.

"Di suruh keluar sama kakek."

Adiknya hanya berbicara dalam kalimat pendek dan ekpresi polos. Neta mengangkat alis bertanya-tanya apakah gerangan. Mengusap mulut dengan tisu cepat Neta mengikuti sang adik menuju ruangan yang seharusnya digunakan calon mempelai.

Di sana semua anggota tua keluarga berkumpul, termasuk sang ayah. Mereka semua memasang wajah mengerikan yang membuat Neta bergidik. Firasatnya berkata bahwa masalah yang menimpa bukanlah sepele.

"Ada apa kek?"

Neta meneguk luda, menciut di tempat saat semua mata memandangnya. Sang kakek mendekatinya cepat memegang bahunya kasar.

"Ganti pakaianmu."

Ha! Neta blank, tidak mengerti maksud sang kakek. Mengapa dirinya tiba-tiba diminta berganti pakaian. Apakah ia salah memakai baju? Sepertinya tidak itu seragam yang sama dengan para sepupunya.

"Ada apa ini kek?"

"Neta, untuk kali ini tolong bantu kakek. Ganti pakaianmu dan menikahlah dengan Adrian."

Hah? Neta berjengit mendengar permintaan sang kakek. Apa-apaan itu.

"Bukannya harusnya yang menikah itu, kak Vita, kek?"

Apa yang terjadi? Di mana sang kakak? Baru Neta sadari bahwa ruangan mempelai wanita kosong.

"Jangan bahas anak kurang ajar itu. Cepat ganti pakaianmu, kita tidak punya waktu."

"Tapi, kek? Mengapa harus Neta bukannya ada kak Wita? Kak Gita?"

Oke, ini buruk, sangat buruk.

"Gita entah di mana, dan Wita belum datang. Kita enggak punya waktu. Kamu satu-satunya cucu kakek di sini. Kalo pernikahan ini batal kita akan rugi besar dan menjadi gelandangan."

"Pa?"

Sang ayah memalingkan muka, wajahnya dipenuhi kerutan dalam.

"Jangan khawatir, kamu hanya perlu jalan di altar malam ini saja. Sisahnya kakek yang urus."

"Wah, enggak bisa gitu dong kek. Neta masih sekolah."

Neta tak habis pikir, kakeknya datang tanpa memberi pilihan. Ia hanya memaksakan kehendak ekstrim, memintanya menikah dengan pria tua menyebalkan itu? Tidak! Tidak! Neta menggeleng, memikirkan sepanjang hari akan dipandang merendahkan dan naik darah.

"Kita akan habis nak, tolong kakek. Kamu enggak kasian sama adekmu kalau dia jadi gelandangan."

Neta melirik sang adik. Wajah polosnya balik memandang diam.

"Kamu bisa bercerai setelah sebulan. Kakek janji akan usahakan. Enggak bakal ada yang tahu kamu sudah menikah."

Bagus, sekarang kakeknya benar-benar kehilangan akal sehat. Setelah memaksa menikah ia akan menjadi janda dalam sebulan. Hebat! Itu jalan cerita menyedihkan dan tragis dan harus dijalaninya.

"Kalo ini saja. Kakek janji kamu bebas melakukan apa saja setelah ini. Kali ini saja selamatkan wajah keluarga Baskoro."

Neta tahu tidak punya waktu untuk mempertimbangkan. Nasib tragis bisa dipikirkan nanti tapi rasa malu itu sangat tidak menyenangkan.

"Oke, tapi janji aku bebas setelah itu."

Jadi janda diusia muda itu terdengar memalukan, tapi jika setelahnya bisa bebas dari kerumitan aturan keluarga Baskoro? Rasanya sepadan toh hanya sebulan. Ini juga demi sang adik dan ibunya.

Neta pada akhirnya setuju dan berjalan di altar bersama sang ayah. Di depan sana, Adrian sudah menunggu diam, terlihat menawan dalam balutan jas hitam mengkilat berhiaskan mawar putih di saku dada.

Neta tak jadi terpukau penampilan Adrian tidak mirip seorang pengantin lebih cocok untuk acara pemakaman.

Selagi berpikir mereka sudah sampai di altar berdiri dihadapan sang pendeta.

Tudung jubah masihlah menutupi wajah sang calon istri tapi dari siapa yang berdiri menuntunnya di atas. Adrian tahu ada yang tidak beres bukan orang itu seharusnya. Apa yang sedang terjadi? Adrian bisa mencari tahu nanti prioritas sekarang adalah menyelesaikan ritual. Lagipula ia tidak peduli siapa yang akan menjadi istrinya toh itu hanya pernikahan politik, mereka akan berpisah pada waktunya. Hanya saja Adrian tidak berharap itu akan menjadi si bungsu. Gadis itu masih terlalu kecil.

Namun semua pikiran itu lenyap ketika tudung pengantin di buka. Adrian disuguhkan wajah cantik sang istri tapi yang membuat Adrian terkejut adalah tatapan darinya. Alih-alih wajah malu-malu sebagaimana biasanya pengantin yang dihadapannya malah memasang wajah permusuhan seolah Adrian telah melakukan kesalahan besar dan patut dihukum.

Oke, ini benar-benar diluar dugaan, Adrian tanpa sadar menyeringai. Baiklah gadis kecil kau mencari masalah dengan orang yang salah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!